Sengsaranya Dendam
Sore itu, seperti biasa aku berangkat menuju ke tempat latihan.
Aku berjalan agak tertatih-tatih karena beratnya tas yang aku bawa. Tasku berisi beban untuk latihan. Beban beladiri silat berupa beton cor berlubang-lubang. Lubang-lubang sebesar jari itu untuk memasukkan jari-jari tangan lalu beban itu diangkat dengan kekuatan jari tangan itu.
Hari ini, hari Kamis. Tempat latihan yang aku tuju ada dua. Pertama, sore hari di Universitas Nasional, Pejaten, yang kedua di Gelanggang Olah Raga Komplek Perumahan Bank Indonesia, Pancoran.
Semangatku berkobar, aku tetap melangkah kaki dengan berat walau beban yang kubawa sangat sarat.
Masih teringat jelas dalam ingatanku, perkelahian itu atau tepatnya penganiayaan itu.
Aku berjalan pulang sekolah bersama teman SMP ku, Kris. Siang itu sangat terik matahari menerpa bumi kota Bengkulu. Kami berjalan terengah-engah di atas jalan aspal yang kami telusuri mendaki dengan kemiringan kurang lebih 30 derajat. Kami sangat letih, lebih-lebih dengan panas matahari yang menyengat. Jalan itu tak terlalu jauh, sekitar lima rumah selepas melewati gerbang sekolah. Di kanan-kiri jalan ada tebing dengan tumbuhan semak-semak. Jalan menanjak itu sekitar sepelemparan batu panjangnya. Setelah itu, jalan agak mendatar. Ketika jalan sudah mulai mendatar kami agak lega dan nafas kami sudah tidak memburu.
Tiba-tiba, dari balik semak-semak pepohonan keluarlah dua sosok orang. Satu orang, aku mengenalnya, bernama Hendrik. Hendrik masih satu sekolah dan satu tingkatan sekolah dengan kami. Satu lagi bercelana panjang, yang belakangan kami tahu ternyata satu sekolah dengan kami, hanya saja dia sudah tingkat SMA. Hendrik menghampiri Kris dengan cepat, sedang yang satu orang lagi, yang bercelana panjang meluruku. Gerakan kedua orang tersebut setengah berlari dan sangat cepat.
"Plak!, plak! ...", tiba-tiba kudengar suara tamparan. Tak berapa lama, pipiku terasa panas. Aku baru sadar kemudian, kalau aku yang ditampar oleh orang yang bercelana panjang itu. Lalu, dengan gerakan yang cepat, kerah bajuku ditarik, diangkat. Aku tak tahu bagaimana nasib Kris waktu itu, karena aku sedang dalam keadaan terkejut dan "shock" sekali.
"Awas ya kamu macam-macam!!" gertak orang itu. Biji matanya seperti akan meloncat keluar dari kelopaknya ke arahku.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, sebab sangat terkejut. Aku juga, bukan anak yang pandai berkelahi waktu itu. Yang aku rasakan hanya takut dan takut. Aku "mengkeret" seperti baju belum disetrika.
Namun, sejak itulah aku mempunyai dendam yang membara. Mengapa waktu itu aku tak bisa melawan? Aku punya keinginan kuat untuk bisa berkelahi. Jika aku bisa berlaga, dan ada yang macam-macam, tentu hanya ada satu kata, "Lawan!"
Latihan pertama di Unas, Universitas Nasional, Pejaten. Latihan aku lewati dengan lancar. Lanjut, menuju ke Pancoran, kali ini aku bersyukur, karena latihan berlangsung setelah Maghrib. Aku bisa shalat dahulu.
"Ngadiman! Maju !.." panggil pelatih untuk mewasiti 'fight' latihan malam itu.
Aku tersentak, terkejut tak mengira aku yang ditunjuk untuk duel berikutnya.
Memang, kebiasaan di akhir latihan yang dilakukan perguruan beladiri ini adalah 'fight'. Fight adalah latihan duel antar murid perguruan yang dilakukan "full contact body" yaitu tanpa pelindung badan.
Akupun maju ke depan menuju arena duel. Aku maju melangkah sembari membujuk diri setegap-tegapnya. Padahal, jantung ini terasa akan meledak. Detak jantungku berdegup keras seraya semakin cepat. Baru kali ini aku akan duel. Selama ini aku belum pernah dipanggil maju untuk duel.
"Doni! Maju!..." pelatih memanggil murid lainnya sebagai lawanku.
Semakin keras detak-detak jantungku mendengar nama Doni. Doni murid dengan badan yang besar, tegap dan mempunyai kaki-kaki yang besar dan kokoh. Aku tidak mengira pelatih memilih Doni sebagai lawanku. Memang, aku lebih tinggi dari pada Doni, tapi aku yakin, berat badan Doni lebih berat dari padaku. Mungkin, pertimbangan pelatih walaupun aku lebih kurus dari pada Doni, tetapi aku lebih tinggi. Walau demikian kondisi tersebut tidak mengurangi rasa was-wasku karena ini pengalaman pertamaku duel di arena fight.
Semakin keras detak-detak jantungku mendengar nama Doni. Doni murid dengan badan yang besar, tegap dan mempunyai kaki-kaki yang besar dan kokoh. Aku tidak mengira pelatih memilih Doni sebagai lawanku. Memang, aku lebih tinggi dari pada Doni, tapi aku yakin, berat badan Doni lebih berat dari padaku. Mungkin, pertimbangan pelatih walaupun aku lebih kurus dari pada Doni, tetapi aku lebih tinggi. Walau demikian kondisi tersebut tidak mengurangi rasa was-wasku karena ini pengalaman pertamaku duel di arena fight.
Doni maju ke arena.
Kami berhadapan. Bersalaman.
"Siaaap!!" komando pelatih mewasiti.
Aku pasang kuda-kuda fight. Kaki kananku maju sejauh dua telapak kaki. Kemudian, kaki kanan itu aku angkat tumitnya. Aku agak condong ke belakang. Berat badanku bertumpu pada kaki kiriku.Telapak kaki kiriku melintang ke samping arah kiri dan kanan. Badanku menghadap ke samping kiri membuat sempit pandangan lawan terhadap titik lemah badanku di sekitar perut dan dada.
Aku tarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan, lalu aku buang nafas perlahan-lahan melalui mulutku. Aku bagaikan harimau yang sangat waspada terhadap musuh. Kakiku ringan siap untuk menyerang setiap saat. Kaki kananku hanya bertumpu pada jari-jari. Berat badanku murni bertumpu hanya pada kaki kiriku. Tangan kananku mengepal terangkat setinggi dada, begitu pula tangan kiriku. Konsentrasi penuh.
Doni berdiri tegap bagai gunung tertancap di kedalaman bumi. Bergeming. Tetapi, aku tahu Doni sangat awas dan konsentrasi. Aku menatap mata Doni, mata Doni pun menatap mataku. Mata Doni bagaikan mata elang. Seorang petarung sejati, walaupun matanya melihat mata lawan akan tetapi sebetulnya mata itu mempunyai ekor. Ekor matalah yang melihat tangan dan kaki lawan. Setiap gerakan tangan lawan dan kaki lawan akan terpantau dengan ketatnya. Dan, gerakan anggota tubuh sebetulnya mampu dilihat dari gerakan bola mata. Jika seorang petarung emosinya tidak stabil maka gerakan tubuhnya terlihat dari gerakan bola matanya. Lain halnya seorang petarung sejati, tatapannya akan terpantau dingin, bola matanya tenang, walaupun kaki dan tangannya melakukan serangan.
Aku bergerak sedikit, maka Doni pun bergerak mengikuti arah gerakanku. Aku bergeser sedikit ke kiri, Donipun bergeser ke kiri. Aku bergeser ke kanan, Donipun bergeser ke kanan. Gerakan-gerakan itu membuat kami semakin fokus, waspada dan konsentrasi. Dan gerakan-gerakan itu pun membuat jarak duel kami makin jauh. Ibarat mobil yang mengikuti mobil lainnya dari belakang, semakin kencang mobil maka semakin jauh pulah jaraknya. Karena, apabila mobil di depan melambatkan lajunya atau menghentikan lajunya maka akan bahaya sekali bagi mobil belakang jika jaraknya terlalu dekat.
Demikian pula dalam pertarungan, semakin banyak bergerak semakin waspada, semakin jauh pula jarak antar petarung. Keadaan ini terjadi tanpa aku sadari. Sehingga jarak serang pun semakin jauh.
Tiba-tiba aku tatap Doni terdiam, tidak bergerak. Pikiranku cepat merekam momen itu. Target sasaranku telah terlihat di sekitar pertengahan perutnya. Badan Doni tidak miring ke kanan atau ke kiri. Perutnya menghadap ke arah diriku. Target sasaranku terfokus di perut Doni. Target sasaranku sudah terkunci, bagaikan target sasaran tembak roket pesawat F-16 yang telah merah menyala, akibat telah terkunci dalam sasaran tembak dalam pertempuran 'dogfight', "perkelahian" antar pesawat tempur di medan angkasa raya. Setelah duel ini berakhir, aku baru sadar bahwa ini jebakan. Akhir yang tak sesuai harapan.
Inilah saatnya! Aku tarik nafas dalam-dalam melalui hidungku, kemudian aku tahan. Aku regangkan tubuhku, dan nafas yang aku tahan beserta regangnya tubuhku aku salurkan ke kaki kananku, ke ujung telapak kaki sekitar jempol dan jari-jari kakiku yang aku tekuk ke atas. Kaki kananku masih berada di depan setengah "jinjit". Sekonyong-konyong kaki kiri kurendahkan, dan tak sekedar merendah, tapi juga melontarkan dengan kekuatan penuh tubuhku ke arah atas dan depan. Bersamaan itu pula, kaki kananku aku angkat dan menjadi lurus ke depan bagai lembing yang meluncur dengan kecepatan pol!
Kami berhadapan. Bersalaman.
"Siaaap!!" komando pelatih mewasiti.
Aku pasang kuda-kuda fight. Kaki kananku maju sejauh dua telapak kaki. Kemudian, kaki kanan itu aku angkat tumitnya. Aku agak condong ke belakang. Berat badanku bertumpu pada kaki kiriku.Telapak kaki kiriku melintang ke samping arah kiri dan kanan. Badanku menghadap ke samping kiri membuat sempit pandangan lawan terhadap titik lemah badanku di sekitar perut dan dada.
Aku tarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan, lalu aku buang nafas perlahan-lahan melalui mulutku. Aku bagaikan harimau yang sangat waspada terhadap musuh. Kakiku ringan siap untuk menyerang setiap saat. Kaki kananku hanya bertumpu pada jari-jari. Berat badanku murni bertumpu hanya pada kaki kiriku. Tangan kananku mengepal terangkat setinggi dada, begitu pula tangan kiriku. Konsentrasi penuh.
Doni berdiri tegap bagai gunung tertancap di kedalaman bumi. Bergeming. Tetapi, aku tahu Doni sangat awas dan konsentrasi. Aku menatap mata Doni, mata Doni pun menatap mataku. Mata Doni bagaikan mata elang. Seorang petarung sejati, walaupun matanya melihat mata lawan akan tetapi sebetulnya mata itu mempunyai ekor. Ekor matalah yang melihat tangan dan kaki lawan. Setiap gerakan tangan lawan dan kaki lawan akan terpantau dengan ketatnya. Dan, gerakan anggota tubuh sebetulnya mampu dilihat dari gerakan bola mata. Jika seorang petarung emosinya tidak stabil maka gerakan tubuhnya terlihat dari gerakan bola matanya. Lain halnya seorang petarung sejati, tatapannya akan terpantau dingin, bola matanya tenang, walaupun kaki dan tangannya melakukan serangan.
Aku bergerak sedikit, maka Doni pun bergerak mengikuti arah gerakanku. Aku bergeser sedikit ke kiri, Donipun bergeser ke kiri. Aku bergeser ke kanan, Donipun bergeser ke kanan. Gerakan-gerakan itu membuat kami semakin fokus, waspada dan konsentrasi. Dan gerakan-gerakan itu pun membuat jarak duel kami makin jauh. Ibarat mobil yang mengikuti mobil lainnya dari belakang, semakin kencang mobil maka semakin jauh pulah jaraknya. Karena, apabila mobil di depan melambatkan lajunya atau menghentikan lajunya maka akan bahaya sekali bagi mobil belakang jika jaraknya terlalu dekat.
Demikian pula dalam pertarungan, semakin banyak bergerak semakin waspada, semakin jauh pula jarak antar petarung. Keadaan ini terjadi tanpa aku sadari. Sehingga jarak serang pun semakin jauh.
Tiba-tiba aku tatap Doni terdiam, tidak bergerak. Pikiranku cepat merekam momen itu. Target sasaranku telah terlihat di sekitar pertengahan perutnya. Badan Doni tidak miring ke kanan atau ke kiri. Perutnya menghadap ke arah diriku. Target sasaranku terfokus di perut Doni. Target sasaranku sudah terkunci, bagaikan target sasaran tembak roket pesawat F-16 yang telah merah menyala, akibat telah terkunci dalam sasaran tembak dalam pertempuran 'dogfight', "perkelahian" antar pesawat tempur di medan angkasa raya. Setelah duel ini berakhir, aku baru sadar bahwa ini jebakan. Akhir yang tak sesuai harapan.
Inilah saatnya! Aku tarik nafas dalam-dalam melalui hidungku, kemudian aku tahan. Aku regangkan tubuhku, dan nafas yang aku tahan beserta regangnya tubuhku aku salurkan ke kaki kananku, ke ujung telapak kaki sekitar jempol dan jari-jari kakiku yang aku tekuk ke atas. Kaki kananku masih berada di depan setengah "jinjit". Sekonyong-konyong kaki kiri kurendahkan, dan tak sekedar merendah, tapi juga melontarkan dengan kekuatan penuh tubuhku ke arah atas dan depan. Bersamaan itu pula, kaki kananku aku angkat dan menjadi lurus ke depan bagai lembing yang meluncur dengan kecepatan pol!
Telah terbayang di benakku, Doni akan terjengkang. Doni akan terlontar sejauh-jauhnya akibat tendanganku yang menghunjam lurus ke depan menusuk tepat di titik lemah perutnya yang lunak dan terbuka itu.
Dan, "Heeeeeghh....!!!"
Suaraku tercekat, itu suaraku. Bukan suara Doni. Suaraku seakan mengganjal, tersendat di tenggorokan. Nafasku tertahan. Terhenti sesaat.
Mendadak, terasa perutku mulas. Seperti ada yang menusuk frontal. Lemas badanku. Aku terlempar. Aku terkejut. Mengapa aku yang terlontar? Dan, aku pula yang merasa perutku di aduk-aduk.
Suaraku tercekat, itu suaraku. Bukan suara Doni. Suaraku seakan mengganjal, tersendat di tenggorokan. Nafasku tertahan. Terhenti sesaat.
Mendadak, terasa perutku mulas. Seperti ada yang menusuk frontal. Lemas badanku. Aku terlempar. Aku terkejut. Mengapa aku yang terlontar? Dan, aku pula yang merasa perutku di aduk-aduk.
Aku berusaha bangun. Apa yang terjadi? Aku melirik ke arah Doni, ternyata kaki kanannya baru saja turun dari posisi menusuk ke depan ke arah aku menendang tadi.
Aku baru sadar bahwa perutku telah meluru kaki musuhku. Ketika aku mernyerang dengan tendangan depan kaki kananku, rupanya Doni bergeming, dengan tenang dia hanya mengangkat kaki kanannya lurus ke depan ke arah pusat perutku. Doni telah melakukan tindakan yang tepat hanya seper sekian detik setelah menyadari seranganku. Dia cukup membuat kuda-kuda "fight" yang kuat, meregangkan kaki kanannya sekeras mungkin, lalu mengangkatnya. Cukup itu saja. Sedangkan kecepatan tendangannya tentu saja telah diperoleh dari kecepatan perutku melesat menuju ujung kaki kanannya yang aku lakukan dengan sekuat tenaga ketika melakukan serangan.
Melihat aku tersungkur, wasit langsung menghentikan duel. Kemudian menanyakan kepadaku apakah siap bertanding lagi. Aku mengangguk. Aku merasa "gengsi" dan kehormatanku jatuh bila tidak meneruskan duel ini. Padahal rasa mulas pada perutku belum kunjung hilang. Rupanya tendangan Doni betul-betul telak, tepat sasaran pada titik lemah otot perutku.
Duel dimulai lagi.
Dalam keadaan perut masih mulas, aku tarik nafas dalam-dalam lalu aku keluarkan melalui hidungku perlahan-lahan agar sakitku lama-kelamaan berkurang. Dan untuk menunjukkan bahwa aku tidak merasakan kesakitan, aku melakukan "kembangan-kembangan" silat, sambil mengulur waktu agar Doni tidak menyerangku lagi. Tapi, mulas perutku tak kunjung berhenti.
Aku lihat Doni siap menyerangku lagi, karena sepertinya naluri petarung dia mendeteksi gelagat kelemahanku. Kembangan-kembangan silatku tak bisa menipunya. Doni cepat bergerak maju, akan melakukan serangan secepatnya dan menuntaskan pertarungan ini. Mulas masih menusuk-nusuk perutku. Bahaya.
Dalam keadaan perut masih mulas, aku tarik nafas dalam-dalam lalu aku keluarkan melalui hidungku perlahan-lahan agar sakitku lama-kelamaan berkurang. Dan untuk menunjukkan bahwa aku tidak merasakan kesakitan, aku melakukan "kembangan-kembangan" silat, sambil mengulur waktu agar Doni tidak menyerangku lagi. Tapi, mulas perutku tak kunjung berhenti.
Aku lihat Doni siap menyerangku lagi, karena sepertinya naluri petarung dia mendeteksi gelagat kelemahanku. Kembangan-kembangan silatku tak bisa menipunya. Doni cepat bergerak maju, akan melakukan serangan secepatnya dan menuntaskan pertarungan ini. Mulas masih menusuk-nusuk perutku. Bahaya.
"Cukup ..!" aku berteriak lirih, sambil mengangkat tanganku menyerah. Nalarku mendahului kehormatanku.Tubuhku lebih penting diselamatkan dari pada gengsiku.
Doni serta merta menghambat serangannya. Doni membatalkan serangannya. Wasitpun memisahkan kami. Dan, duelpun dimenangkan Doni.
Doni serta merta menghambat serangannya. Doni membatalkan serangannya. Wasitpun memisahkan kami. Dan, duelpun dimenangkan Doni.
Dendamku semakin membara.
Latihan demi latihan, aku jalani dengan tekun. Tanpa terasa masa telah berlalu empat tahun. Sabuk pakaian beladiriku yang tadinya tanpa warna, sudah berganti-ganti warna setiap tahunnya. Makin banyak yang kudapat dari ilmu beladiri yang aku tekuni. Tempat latihanpun berpindah, yang semula di Pancoran, sekarang lokasi latihan di bilangan Tebet.
Di suatu kesempatan latihan.
"Ngadiman ..!! Maju ..!!" perintah pelatih agar aku maju ke arena duel.
Aku maju ke tengah arena. Pikiranku melayang pada masa-masa SMA. Dua kali aku mengalami hal yang sama ketika aku di SMP. Pertama di kelas satu SMA, tanpa sebab yang jelas aku dipukul dan diangkat kerah bajuku oleh Coki anak "dobelan" kelas satu. Istilah "dobelan" adalah istilah yang disangkutkan kepada anak yang tidak naik kelas.
Kejadian kedua adalah ketika kelas tiga SMA, tanpa sebab jelas pula aku "digampar" oleh Indra "Gepeng" pada acara Camping Bersama SMA ku. Memang dari dulu aku adalah anak yang kurus, berkacamata dan terkesan lemah. Mungkin keadaan fisikku yang seperti itu, akhirnya selalu menjadi bulan-bulanan "preman-preman" yang "sok jago" dimana aku sekolah. "Preman" mengapa beraninya kepada anak yang "cungkring"? Aneh, seharusnya kalau "preman sejati" yang diajak "duel" ya ...yang "preman" juga. Maka dari itu predikat "sok jago" lah yang paling tepat disematkan pada mereka.
"Sutimin ..!! Maju !!" lamunanku buyar oleh suara pelatih yang memanggil calon lawanku.
Lamunanku membuat dendamku bukan lagi membara, tetapi lebih dari itu, terbakar. Aku dan lawanku telah bersalaman, berhadapan, tanda pertarungan segera dimulai.
Latihan demi latihan, aku jalani dengan tekun. Tanpa terasa masa telah berlalu empat tahun. Sabuk pakaian beladiriku yang tadinya tanpa warna, sudah berganti-ganti warna setiap tahunnya. Makin banyak yang kudapat dari ilmu beladiri yang aku tekuni. Tempat latihanpun berpindah, yang semula di Pancoran, sekarang lokasi latihan di bilangan Tebet.
Di suatu kesempatan latihan.
"Ngadiman ..!! Maju ..!!" perintah pelatih agar aku maju ke arena duel.
Aku maju ke tengah arena. Pikiranku melayang pada masa-masa SMA. Dua kali aku mengalami hal yang sama ketika aku di SMP. Pertama di kelas satu SMA, tanpa sebab yang jelas aku dipukul dan diangkat kerah bajuku oleh Coki anak "dobelan" kelas satu. Istilah "dobelan" adalah istilah yang disangkutkan kepada anak yang tidak naik kelas.
Kejadian kedua adalah ketika kelas tiga SMA, tanpa sebab jelas pula aku "digampar" oleh Indra "Gepeng" pada acara Camping Bersama SMA ku. Memang dari dulu aku adalah anak yang kurus, berkacamata dan terkesan lemah. Mungkin keadaan fisikku yang seperti itu, akhirnya selalu menjadi bulan-bulanan "preman-preman" yang "sok jago" dimana aku sekolah. "Preman" mengapa beraninya kepada anak yang "cungkring"? Aneh, seharusnya kalau "preman sejati" yang diajak "duel" ya ...yang "preman" juga. Maka dari itu predikat "sok jago" lah yang paling tepat disematkan pada mereka.
"Sutimin ..!! Maju !!" lamunanku buyar oleh suara pelatih yang memanggil calon lawanku.
Lamunanku membuat dendamku bukan lagi membara, tetapi lebih dari itu, terbakar. Aku dan lawanku telah bersalaman, berhadapan, tanda pertarungan segera dimulai.
"Siaap !!? " tanya pelatih sekaligus sebagai wasit. Kamipun mengangguk.
Kali ini aku harus menang. Banyak trik yang sudah diajarkan pelatih selama empat tahun latihan berjalan. Sambil konsentrasi penuh mengawasi dengan "ekor mata" ku kemana Sutimin bergerak, aku ingat-ingat kembali apa yang sudah diajarkan para pelatih. Ya! Aku ingat salah satu triknya. Trik itu belum pernah aku praktekan dalam duel. Aku harus mencobanya.
Aku ingat bahwa serangan itu sejatinya adalah membuka titik-titik target kelemahan kita sendiri. Dengan kita menyerang, sebetulnya kita telah memberi peluang bagi lawan untuk menyerang titik yang terbuka tersebut. Nah, bagaimana lawan agar menyerang kita, yang itu akan menjadi titik kelemahan dia sendiri. Satu-satunya jalan kita pancing dengan serangan tipuan, maka dia akan melihat titik terbuka diri kita dan ia pasti akan menyerang. Lantas sebaliknya, dengan dia menyerang maka terbukalah titik lemah lawan. Itulah saatnya kita menyerang. lawan tidak akan sempat mengelak dengan posisi tersebut, karena serangan kita berkesinambungan dengan serangan tipuan kita, selisih sepersekian detik.
Eits, Tunggu dulu! Bukankah dengan menyerang dahulu justru titik lemah kita lebih dahulu terbuka? Betul, khan udah dibilangin tadi, bahwa serangan pertama kita berupa serangan tipuan. Serangan pancingan, agar lawan bergerak menyerang kita. Pada saat itulah, saat lawan menyerang kita adalah saat yang tepat bagi kita melancarkan serangan pada bagian tubuh lawan yang terbuka.
Ya! Harus dicoba! Resiko gagal? Malahan, kita diserang dengan telak, ya ... semua tindakan pasti mengundang resiko. Akan tetapi, orang yang takut akan resiko akan selamanya menjadi pecundang dalam hidup ini. Aku pikir ini hanya masalah kecepatan saja antara serangan tipuan dengan serangan sesungguhnya. Ya, jeda waktu harus sesingkat mungkin. Seper sekian detik!
Sambil mengawasi Sutimin terus, aku melakukan "kembangan-kembangan" silat. Kuda-kuda "fight" selalu aku jaga, dengan menjaga kaki kanan selalu di depan dalam kondisi "jinjit". Aku awasi mata Sutimin terus. Tiba-tiba aku lihat matanya seakan lengah. Entah apa yang sedang dipikir Sutimin. Mungkin karena waktu yang cukup lama kami berdua tidak saling serang, hanya saling melakukan "kembangan-kembangan", sehingga timbul kebosanan dan akhirnya lengah. Jarak serangan juga sudah tercapai.Aku berpikir sigap, sekaranglah saatnya.
Kaki kananku yang selalu "jinjit" itu akhirnya aku pakai untuk tumpuan. Telapak kaki kanan yang "jinjit" aku gunakan seperti pegas. Pertama kali aku tekan dan berfungsi seperti pegas sebagai tumpuan untuk melontarkan kaki kiriku yang berada di belakang melakukan serangan. Simultan dengan itu, ketika kaki kiriku mulai terlontar ke depan. Sutimin mengira aku akan menyarangkan tendangan kepadanya dengan kaki kiriku.
Kali ini aku harus menang. Banyak trik yang sudah diajarkan pelatih selama empat tahun latihan berjalan. Sambil konsentrasi penuh mengawasi dengan "ekor mata" ku kemana Sutimin bergerak, aku ingat-ingat kembali apa yang sudah diajarkan para pelatih. Ya! Aku ingat salah satu triknya. Trik itu belum pernah aku praktekan dalam duel. Aku harus mencobanya.
Aku ingat bahwa serangan itu sejatinya adalah membuka titik-titik target kelemahan kita sendiri. Dengan kita menyerang, sebetulnya kita telah memberi peluang bagi lawan untuk menyerang titik yang terbuka tersebut. Nah, bagaimana lawan agar menyerang kita, yang itu akan menjadi titik kelemahan dia sendiri. Satu-satunya jalan kita pancing dengan serangan tipuan, maka dia akan melihat titik terbuka diri kita dan ia pasti akan menyerang. Lantas sebaliknya, dengan dia menyerang maka terbukalah titik lemah lawan. Itulah saatnya kita menyerang. lawan tidak akan sempat mengelak dengan posisi tersebut, karena serangan kita berkesinambungan dengan serangan tipuan kita, selisih sepersekian detik.
Eits, Tunggu dulu! Bukankah dengan menyerang dahulu justru titik lemah kita lebih dahulu terbuka? Betul, khan udah dibilangin tadi, bahwa serangan pertama kita berupa serangan tipuan. Serangan pancingan, agar lawan bergerak menyerang kita. Pada saat itulah, saat lawan menyerang kita adalah saat yang tepat bagi kita melancarkan serangan pada bagian tubuh lawan yang terbuka.
Ya! Harus dicoba! Resiko gagal? Malahan, kita diserang dengan telak, ya ... semua tindakan pasti mengundang resiko. Akan tetapi, orang yang takut akan resiko akan selamanya menjadi pecundang dalam hidup ini. Aku pikir ini hanya masalah kecepatan saja antara serangan tipuan dengan serangan sesungguhnya. Ya, jeda waktu harus sesingkat mungkin. Seper sekian detik!
Sambil mengawasi Sutimin terus, aku melakukan "kembangan-kembangan" silat. Kuda-kuda "fight" selalu aku jaga, dengan menjaga kaki kanan selalu di depan dalam kondisi "jinjit". Aku awasi mata Sutimin terus. Tiba-tiba aku lihat matanya seakan lengah. Entah apa yang sedang dipikir Sutimin. Mungkin karena waktu yang cukup lama kami berdua tidak saling serang, hanya saling melakukan "kembangan-kembangan", sehingga timbul kebosanan dan akhirnya lengah. Jarak serangan juga sudah tercapai.Aku berpikir sigap, sekaranglah saatnya.
Kaki kananku yang selalu "jinjit" itu akhirnya aku pakai untuk tumpuan. Telapak kaki kanan yang "jinjit" aku gunakan seperti pegas. Pertama kali aku tekan dan berfungsi seperti pegas sebagai tumpuan untuk melontarkan kaki kiriku yang berada di belakang melakukan serangan. Simultan dengan itu, ketika kaki kiriku mulai terlontar ke depan. Sutimin mengira aku akan menyarangkan tendangan kepadanya dengan kaki kiriku.
Ya! itu yang aku harapkan.
Sehingga, dia sedikit mengelak, dan dia pikir inilah kesempatan untuk menyerangku, karena titik lemahku terbuka. Maka mulailah dia akan menyerangku. Muslihatku berhasil!
Maka, sebetulnya itu kaki kiriku itu bukan serangan, tetapi dengan cepat aku daratkan kaki kiriku itu di permukaan lantai arena duel, dan sekarang kaki kiriku sebagai tumpuan. Sekelebat aku lihat wajah Sutimin gugup. Sutimin kehilangan orientasi. Dia bingung kenapa aku tidak jadi menyerangnya. Tentu dalam pikirannya ada apa gerangan? Apa yang dilakukan oleh aku berikutnya. Seperti ada yang tak beres. Pasti dia bingung. Sutimin "ilfeel" alias "ilang feeling". Iya, hilang naluri petarungnya untuk beberapa saat. Tetapi, beberapa saat itu sangat berarti bagiku.
Bersamaan kaki kiriku sebagai tumpuan - yang sebenarnya kaki kiriku itu sebagai tumpuan putar - maka aku putar pinggangku, ke arah kanan sekuat tenaga. Dan putaran pinggang inilah, kunci gerakan dari seluruh gerakan tangan dan kaki perguruan silat ini. Pinggangku yang sudah terlatih selama empat tahun melakukan putaran, maka pinggang dan perutku itu seperti poros "gasing" yang anggota badan yang lain yaitu tangan dan kaki akan mengikuti putaran poros itu. Dalam hal ini, aku fokuskan pada kaki kananku. Kaki kananku aku angkat seiring dengan mengikuti poros putaran pinggangku ke arah kanan, berputar ke arah belakang tubuhku. Tubuhku juga ikut berputar. Wajahku ikut berputar ke kanan. Pada saat itulah aku tak bisa melihat wajah Sutimin kembali, karena wajahku berputar terus ke kanan dan ke belakang. Namun imajinasi dan ingatanku telah menakar tepat posisi kepala Sutimin, meskipun tak terlihat.
Ya! Aku melakukan tendangan putar ke kanan dengan kaki kananku, dan tumpuannya kaki kiriku.
Tubuhku berputar terus, makin kuat dan kaki kananku pun terlontar bak cambuk. Akhirnya posisi badanku telah menghadap ke depan lagi. Aku terkejut, Sutimin tidak ada di posisinya. Dia tidak ada di hadapanku.
Hanya saja, memang tadi terasa kaki kananku menyentuh sesuatu.
Bersamaan kaki kiriku sebagai tumpuan - yang sebenarnya kaki kiriku itu sebagai tumpuan putar - maka aku putar pinggangku, ke arah kanan sekuat tenaga. Dan putaran pinggang inilah, kunci gerakan dari seluruh gerakan tangan dan kaki perguruan silat ini. Pinggangku yang sudah terlatih selama empat tahun melakukan putaran, maka pinggang dan perutku itu seperti poros "gasing" yang anggota badan yang lain yaitu tangan dan kaki akan mengikuti putaran poros itu. Dalam hal ini, aku fokuskan pada kaki kananku. Kaki kananku aku angkat seiring dengan mengikuti poros putaran pinggangku ke arah kanan, berputar ke arah belakang tubuhku. Tubuhku juga ikut berputar. Wajahku ikut berputar ke kanan. Pada saat itulah aku tak bisa melihat wajah Sutimin kembali, karena wajahku berputar terus ke kanan dan ke belakang. Namun imajinasi dan ingatanku telah menakar tepat posisi kepala Sutimin, meskipun tak terlihat.
Ya! Aku melakukan tendangan putar ke kanan dengan kaki kananku, dan tumpuannya kaki kiriku.
Tubuhku berputar terus, makin kuat dan kaki kananku pun terlontar bak cambuk. Akhirnya posisi badanku telah menghadap ke depan lagi. Aku terkejut, Sutimin tidak ada di posisinya. Dia tidak ada di hadapanku.
Hanya saja, memang tadi terasa kaki kananku menyentuh sesuatu.
Aku arahkan pandanganku agak ke arah kanan, ternyata Sutimin telah terkapar. Sutimin terjengkang, menggelepar. Hidungnya mengeluarkan darah! Rupanya tendangan putarku ke arah kanan itu mengenai tepat pangkal hidung Sutimin. Tumit kananku itulah yang bersarang pada pangkal hidungnya.
Pelatih langsung saja memisahkan kami, dan cepat menghampiri Sutimin yang telah tersungkur. Pelatih mengangkat kepala Sutimin, sementara darah mengalir deras melalui salah satu lubang hidungnya.
Pelatih langsung saja memisahkan kami, dan cepat menghampiri Sutimin yang telah tersungkur. Pelatih mengangkat kepala Sutimin, sementara darah mengalir deras melalui salah satu lubang hidungnya.
"Es! Es batu! Cari Es batu!" teriak pelatih.
Sontak aku cepat menyadari keadaan, aku langsung saat itu juga lari keluar ke warung depan gedung latihan untuk mencari es batu. Alhamdulillah ada, aku bawa es dengan berlari kembali ke arena latihan. Lalu, es batu segera di tempelkan di hidung Sutimin. Darah itu lambat laun berhenti. Dan, aku minta maaf kepada Sutimin.
Dendamku yang terbakar, kini terhenti, beku seperti es itu. Dendam membawa kesengsaraan. Aku menyesal.
Sontak aku cepat menyadari keadaan, aku langsung saat itu juga lari keluar ke warung depan gedung latihan untuk mencari es batu. Alhamdulillah ada, aku bawa es dengan berlari kembali ke arena latihan. Lalu, es batu segera di tempelkan di hidung Sutimin. Darah itu lambat laun berhenti. Dan, aku minta maaf kepada Sutimin.
Dendamku yang terbakar, kini terhenti, beku seperti es itu. Dendam membawa kesengsaraan. Aku menyesal.
***
Kisah nyata dan nama-nama Ngadiman, Doni dan Sutimin hanyalah nama samaran untuk menjaga "privacy" masing-masing pribadi.
KEREN ...
BalasHapus