Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Badai Menerpa Lambung

            Pagi ini di lingkungan pondok pesantren udara terasa tidak dingin. Hari ini hari Jum'at. Bulan Agustus dan September adalah bulan transisi cuaca. Bulan-bulan sebelumnya adalah musim kemarau, udara kering namun dingin menggigit. Sedangkan bulan-bulan sesudahnya musim hujan, udara lembap dan panas berkeringat. Masa-masa perubahan cuaca, menjadikan udara kering tidak, lembap juga tidak namun panasnya mulai terasa menyergap.

            Aku masih memelototi monitor komputer laptop sambil menggerak-gerakkan 'mouse'. Pandangan dan konsentrasiku senantiasa pada gambar detail jendela rumah yang sedang aku gambar. Berulang-ulang aku bersendawa. Perutku mual, karena ada angin berkecamuk di dalam lambungku. Rupanya ada entah badai entah puting beliung di dalam sana, karena ruang lambung itu memang belum di isi benda padat sejak tadi pagi. Sejak tadi pagi, aku hanya mengisi rongga perutku dengan rebusan daun 'kersen' dan minuman 'yoghurt kefir' sebagai terapi kesehatan. Lalu, istriku menghidangkan minuman kopi asli Temanggung dicampur parutan jahe sebagai pemicu pikiran agar lancar bekerja.

            Pukul sembilan. Aku masih dalam keadaanku yang selalu bersendawa sambil tetap melanjutkan pekerjaan menggambar. Aku memang sengaja tidak sarapan dulu, karena menunggu anakku Ngadilan untuk sarapan bersama. Di rumahku, memang aku sengaja menetapkan peraturan bahwa kegiatan makan harus dilakukan bersama-sama. Dalam pandanganku kegiatan makan bersama itu adalah sangat penting dalam suatu keluarga. Kegiatan makan bersama, bukan hanya makan saja, akan tetapi disitulah kesempatan bagi sesama anggota keluarga saling berbincang-bincang. Banyak hal yang bisa diobrolkan ketika di meja makan. Mereka bisa mengetahui keadaan masing-masing anggota keluarga. Apa yang telah dikerjakan. Apakah ada kesulitan-kesulitan, sehingga bisa saling berbagi bagaimana menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang di hadapi. Lebih dari itu, momen makan bersama dapat dimanfaatkan saling menasehati jika diantara anggota keluarga melakukan kesalahan-kesalahan dalam menjalani kehidupan. Mungkin tentang pertemanan, tentang muamalah dengan tetangga, tentang ibadah-ibadah kita, dan tentang-tentang lainnya. Bahkan waktu makan bersamalah mereka bisa melakukan canda untuk mengakrabkan suasana kekeluargaan.

            Pukul setengah sebelas, baru terdengar pintu belakang rumah dibuka seseorang. Pasti si Dilan anakku.

            "Assalamu'alaikum", suara Dilan bersamaan dengan suara berdebam tertutupnya pintu belakang rumah. Benar saja.

            "Wa alaykumussalam", jawabku sambil masih selalu bersendawa. Kemudian aku turun dari ruang kerjaku yang terletak di loteng (ruang atap) rumah.

            "Ayo kita sarapan", aku mengeraskan suara agar anggota keluarga yang lain mendengar. Maka keluarlah anakku yang satu lagi dari kamar untuk makan bersama. Sedangkan istriku juga ikut hadir bersama dalam makan pagi yang nyaris bisa disebut makan menjelang siang itu. Istriku sudah sarapan sejak tadi pagi. Dia tadi pagi amat lapar. Tetapi, aku memang menganjurkan jika ada anggota keluarga sudah makan harus tetap hadir ketika ada momen makan bersama. Mengapa? Ya, untuk ikut mendengarkan obrolan dan jika perlu ikut berbincang-bincang memberi masukan-masukan.

            "Dilan,  kamu mbok mikirin orang lain yang menunggu makan, Abimu sampai masuk angin menunggumu", protes istriku memulai percakapan dalam makan pagi kesiangan itu.

            Ngadilan diam saja sambil menyendok nasi yang sudah tidak hangat dan mengepul lagi dari tempat nasi. Mungkin dia sedang berpikir alasan apa yang tepat untuk keterlambatannya.

            "Lembutkan hati kalian dengan kebaikan-kebaikan. Berbuatlah selalu dengan kejujuran. Hati ini akan sensitif, jika terbiasa dengan kebaikan-kebaikan. Sehingga hati ini lunak, mudah merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Sedangkan jika kita membiarkan kita terbiasa dengan hanya perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan kita, ego kita akan membuat keras hati ini. Apalagi jika kita terbiasa tidak jujur dalam hidup kita, maka kita tidak akan punya hati yang sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain", akhirnya aku lengkapkan protes istrinya dengan penjelasanku kepada anak-anak.

            "Aku tadi kerja bakti Bi ...", Ngadilan membela diri. Suaranya menggantung di langit-langit. Tetapi pembelaannya setengah hati. Sehari yang lalu dia juga terlambat untuk makan siang. Keterlambatannya menyebabkan ibunya masuk angin berat. Sampai malam hari istriku mual dan tidak bisa tidur. Lengkap sudah Ngadilan merasa bersalah.

            "Kamu khan bisa memberi tahu dulu ke rumah, " sergahku memberi solusi pada anakku. Ngadilan terdiam, masih sibuk dengan sendoknya.

            Selanjutnya kami bincang-bincang masalah lain. Tentang kerja baktinya Ngadilan, tentang pekerjaanku, tentang anakku yang satu lagi, dan tentang ibunya anak-anak masak apa hari ini. Masih banyak sisa daging setelah Idul Adha kemarin.

            Memang aturan makan bersama ini, baru seminggu berjalan. Sehingga jalannya kegiatan tersebut masih tersendat-sendat. Aturan itu aku buat karena, semakin besar anak-anak semakin padat kegiatan mereka. Ada yang belajar, mengajar, memasak, mencuci, berberes rumah, bekerja, dan sebagainya. Dengan padatnya kegiatan, maka terkadang sesama anggota keluarga kurang terjadi interaksi. Sibuk sendiri-sendiri. Kurang dekat dan akrab. Sehingga momen makan bersamalah kesempatan yang harus dipertahankan dan tetap diadakan.

           Akhir-akhir inipun, kami mengadakan momen satu lagi, yaitu minum sore bersama. Waktunya berkisar pukul lima sore sampai menjelang waktu Maghrib. Kami minum teh atau kopi bareng ditemani kudapan-kudapan yang istriku buat khusus hari itu. Hal itu kami lakukan sepekan sekali, pada hari Jum'at. Bertepatan dengan hari raya pekanan umat Islam, ya hari Jum'at itu. Momen yang paling tepat. Kami musti hadir, mau tidak mau.

            Makan dan minum sore bersama adalah momen penghabisan kami agar terjaga keharmonisan keluarga. Betapa pentingnya itu, sehingga aku perjuangkan walaupun badai taufan mengamuk di dalam lambungku, meskipun!

***

Nama-nama pada tulisan di atas adalah nama samaran, untuk menjaga privasi masing-masing pribadi.

2 komentar untuk "Badai Menerpa Lambung"

  1. sangat menginsoirasi, betapa pentingnya makan bersama dalam satu keluarga.in Sya Allah tidak terjadi kesalah pahaman dan tidak ada dusta dalam satu keluarga.

    BalasHapus
Menjadi Penulis Terampil
Hanya dari kebiasaan menulis sederhana
Motivasi Menulis

Gimana nih! memulai menulis

Motivasi Menulis
Kejutan dulu,
lalu Keteraturan

Bahasa Indonesia
Belajar
tentang Kalimat

Motivasi Menulis

Merekam objek ide tulisan

Bahasa Indonesia
Belajar
Menulis Artikel

Bahasa Indonesia
Belajar
tentang Kata

Motivasi Menulis
Agar Menulis
tidak Lumpuh

Bahasa Indonesia
Belajar
Gaya Bahasa

menulis.sketsarumah.com
Seputar #sejarahislam #biografi #salafushshalih #caramenulis #deskripsi , #eksposisi , #artikel , #essay , #feature , #ceritanyata , #cerpen nonfiksi , #novel nonfiksi , #kisah inspiratif , #biografi inspiratif di studio www.sketsarumah.com.

Ikuti yuk!
Telegram: t.me/menulissketsarumah_com
Twitter: twitter.com/menulisketsarmh

Simpan yuk!
WhatsApp: wa.me/+6285100138746 dengan nama: www.sketsarumah.com