Negeri Para Pemburu
Aku tiba di tempat itu ketika matahari hampir tumbang. Cahayanya tak menyilaukan mata lagi seperti ketika hari telah matang siang tadi. Angin dingin menikam mulai menyergap ke sela-sela antara baju dan kulit tubuh. Aku pegang kemudi beserta rombongan berkendaraan roda empat melewati jalan terbuat dari beton cor-coran. Seolah-olah jalan tol menuju gerbang tol masuk kota. Beton cor-coran tidak seluruhnya menyelimuti permukaan jalan, tetapi hanya mengalasi bagian yang dijejaki roda mobil. Tidak ada kekhawatiran kejeblos melewati jalan ini. Mulus dan lancar.
Sesekali kendaraanku, bertemu kendaraan roda dua 'matic'. "Wuusssh," kencang sekali karena mulusnya jalan. Entahlah apa yang sedang diburu.
"Assalamu'alaikum," lontarku memberi salam. Aku hanya bertemu satu anak tanggung memakai baju gamis, pakaian khas muslim.
Di awal sebagian kiri-kanan sepanjang jalan berdiri dengan mantap toko-toko kecil menyongsong masa depan dengan kesejahteraan yang terjamin.
Masih terpampang jelas seperti rekaman video dipelupuk mataku, Aku pernah 'nyusruk' di pinggir jalan ini ke dalam sawah karena jalan itu tanah berbatu. Ketika itu, aku menaiki sepeda tua ayahku merek 'Gazelle' yang sangat tinggi tempat duduknya. Jalan yang tidak rata dan tempat duduk yang tinggi itu membuat sepeda liar kesana kemari. Akhirnya terjun bebas ke sawah. Anakku duduk di boncengan sepeda. Ya, ikut terjerembab, tentunya.
Sesekali kendaraanku, bertemu kendaraan roda dua 'matic'. "Wuusssh," kencang sekali karena mulusnya jalan. Entahlah apa yang sedang diburu.
"Assalamu'alaikum," lontarku memberi salam. Aku hanya bertemu satu anak tanggung memakai baju gamis, pakaian khas muslim.
Di awal sebagian kiri-kanan sepanjang jalan berdiri dengan mantap toko-toko kecil menyongsong masa depan dengan kesejahteraan yang terjamin.
Masih terpampang jelas seperti rekaman video dipelupuk mataku, Aku pernah 'nyusruk' di pinggir jalan ini ke dalam sawah karena jalan itu tanah berbatu. Ketika itu, aku menaiki sepeda tua ayahku merek 'Gazelle' yang sangat tinggi tempat duduknya. Jalan yang tidak rata dan tempat duduk yang tinggi itu membuat sepeda liar kesana kemari. Akhirnya terjun bebas ke sawah. Anakku duduk di boncengan sepeda. Ya, ikut terjerembab, tentunya.
Kendaraan yang lalu lalang, kebanyakan sepeda 'onthel', orang membawa pikulan hasil tani, dan sepeda motor tua terkentut-kentut berbunyi "tung-tung". Mobil? Sangat jarang, jika bisa dikatakan tidak pernah lewat seharian penuh. Mengapa? Jelas, karena jalan berbatu rusak membuat setiap kendaraan roda empat malas plesir lewat jalan ini.
Yang sering terlihat bahkan, para penuntut ilmu agama Islam berjalan kaki dengan berbaju ghamis. Mereka membawa tas kecil atau kitab materi pelajaran. Mereka bergegas seperti penumpang takut ketinggalan kereta api. Yang sesungguhnya mereka takut ketinggalan 'ngaji' dan akhirnya tidak mendapat hikmah-hikmah kehidupan. Mereka haus akan itu.
Namun, lihatlah sekarang dimana mereka? Dimana rombongan orang-orang berghamis bergegas dan membawa kitab-kitab dan alat tulis yang sesekali melintas di jalan ini? Sepuluh tahun yang lalu, ya sepuluh tahun yang lalu! Namun, yang aku lihat kini hanya lalu-lalang beberapa sepeda motor matic dengan kencang. Mereka tidak membawa kitab-kitab, tapi bawaan-bawaan besar di samping kiri-kanan boncengan. Mereka terlihat terburu-buru. Apa yang sedang mereka kejar?
Yang sering terlihat bahkan, para penuntut ilmu agama Islam berjalan kaki dengan berbaju ghamis. Mereka membawa tas kecil atau kitab materi pelajaran. Mereka bergegas seperti penumpang takut ketinggalan kereta api. Yang sesungguhnya mereka takut ketinggalan 'ngaji' dan akhirnya tidak mendapat hikmah-hikmah kehidupan. Mereka haus akan itu.
Namun, lihatlah sekarang dimana mereka? Dimana rombongan orang-orang berghamis bergegas dan membawa kitab-kitab dan alat tulis yang sesekali melintas di jalan ini? Sepuluh tahun yang lalu, ya sepuluh tahun yang lalu! Namun, yang aku lihat kini hanya lalu-lalang beberapa sepeda motor matic dengan kencang. Mereka tidak membawa kitab-kitab, tapi bawaan-bawaan besar di samping kiri-kanan boncengan. Mereka terlihat terburu-buru. Apa yang sedang mereka kejar?
Tanpa rombongan sadari, mobil telah sampai dan parkir di depan salah satu rumah. Aku mematikan mesin mobil. Lalu, kami turun dari mobil, melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Angin dingin semakin menelusup ke pori-pori kulit, sang surya semakin redup.
Rombongan berjalan pada jalan setapak yang dilapisi batu paving 'conblock'. Batu paving itu tersusun rapi seakan menghantar kami ke negeri antah berantah. Di sisi-sisi kanan jalan terdapat tutup-tutup selokan dari beton cor-coran berjajar rapi sepanjang jalan. Jalan setapak itu selebar dua sepeda motor bertemu. Kontur jalan agak menanjak. Menurutku, jalan ini bisa dilalui mobil. Akan tetapi, ada larangan terpampang dari spanduk digital di awal masuk jalan tadi. Sejatinya jalan setapak itu selebar satu meter, karena semakin banyaknya orang yang ber 'migrasi' ke tempat ini, maka jalan setapak dilebarkan. Tidak ada jalan lain kecuali menutup selokan kecil pada salah satu sisi jalan setapak itu. Kerapian paving block dan tutup-tutup selokan sepanjang seratus meteran lebih itu, menunjukkan suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh ahlinya. Dan, tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Jalan itu terkadang bercabang ke kanan dan ke kiri. Cabang-cabang jalan itu menuju cluster-cluster pemukiman sederhana berdinding tembok batu bata tapi tertata rapi. Harga tanah dipemukiman itu sekarang sudah sepuluh kali lipat dari harga tanah sepuluh tahun yang lalu. Subhanallah.
Dahulu, aku sering melintas di jalan setapak ini, yang sebetulnya bukan jalan, tapi merupakan pematang sawah saja. Tanah-tanah sekitarnya hanyalah petak-petak sawah diselingi rumah-rumah yang sangat sederhana. Dinding-dinding rumah ada yang dari papan pohon sengon, batubata yang belum diplaster, dan seng bekas. Harga tanah waktu itu masih sepuluh ribu rupiah setiap meter persegi bidang tanah.
Terkadang pematang sawah yang berubah menjadi jalan setapak tersebut runtuh akibat sering dilewati orang. Akhirnya, mendadaklah orang-orang bekerja bakti memperbaiki pematang sawah tersebut. Gotong royong segera dilakukan sebelum pemilik sawah yang dilewati jalan itu sempat bersungut-sungut memikirkan tanaman padinya yang rusak akibat runtuhan pematang. Tidak butuh ahli khusus. Cukup pengumuman di masjid setelah sholat subuh (waktu itu belum ada media grup chatting, atau apalah) maka mereka langsung berkumpul 'guyup' kerja bakti. Kudapan dan minuman seadanya sepontanitas dibawa serta bagi yang longgar rizkinya. Tanpa himbauan, tanpa instruksi.
Aku berharap, momen-momen itu masih ada, kini.
Tak berapa lama, rombongan telah sampai di kelokan jalan (baca : trotoar) lingkungan. Jalan berkelok ke kiri, akan tetapi ada yang lurus. Di situ terpampang petunjuk arah ke kiri dengan tulisan "JALAN SATU ARAH". Oi! Subhanallah begitu teraturnya pemukiman ini bagaikan kota besar. Jalan-jalan yang searah. Orang berjalan saja musti diatur. Aku tahu mengapa ditertibkan seperti itu. Jalan searah berguna agar tidak terjadi pertemuan muka dengan muka, wajah dengan wajah, mata dengan mata antara penduduk pria dan wanita. Penjagaan hijab yang sempurna.
Aku teringat kembali masa-masa itu. Sempitnya jalan membuat kikuk jika bertemu dengan lawan jenis dari arah yang berlawanan. Tapi, maa syaa Allah itu semua ada hikmahnya. Para wanita berhijab adalah sosok-sosok dengan balutan busana yang sangat tertutup seolah berkata bahwa mereka adalah makhluq-makhluq yang paling tahu malu. Mereka ketika bertemu dengan para pria di lintasan yang sempit, maka mereka berhenti dan memalingkan seluruh tubuhnya menghadap ke tepi jalan. Mengarahkan pandangan dan badannya ke hamparan petak sawah tepi jalan.
Dengan 'jalan satu arah' ini, masih adakah amalan berhenti, memalingkan wajah dan tubuh para muslimah ke tepi jalan? Sebagai wujud dan contoh bagi puteri-puteri mereka bagaimana melakukan perbuatan pada kata 'malu' yang sering digembar-gemborkan dalam kajian-kajian mereka. Semoga masih ada. Masih ada jalan-jalan yang tidak satu arah.
Rombongan berjalan di antara rumah-rumah pemukiman. Rumah-rumah sederhana tetapi teratur dan rapi. Angin senja menggigilkan badan bertiup malas. Angin itu sayup-sayup membawa getaran-getaran pita suara orang-orang. Terdengar teriakan-teriakan. Ada apa gerangan? Hatiku bertanya-tanya.
Tak lama kemudian, lambat laun terpampang di hadapan rombongan kami jaring-jaring besar. Di balik jaring-jaring itu terlihat orang-orang sedang berlari-lari kesana kemari menyisakan kepulan-kepulan debu.Teriakan-teriakan. Kejar-mengejar. Saling menjegal. Sepak bola. Subhanallah, lingkungan ini sudah berlapangan bola. Lengkap dengan jaring-jaring pengaman agar bola tidak 'tersesat' menghantam rumah yang "mepet" lapangan. Di dekatnya juga ada tempat-tempat duduk penonton yang beratap. Sederhana, namun menunjukkan pengelolaan lingkungan yang tertata dan terkoordinir.
"Assalamu'alaykum," aku melempar salam. Aku sekilas melihat ada salah seorang pemain bola yang kukenal.
Rombongan berjalan pada jalan setapak yang dilapisi batu paving 'conblock'. Batu paving itu tersusun rapi seakan menghantar kami ke negeri antah berantah. Di sisi-sisi kanan jalan terdapat tutup-tutup selokan dari beton cor-coran berjajar rapi sepanjang jalan. Jalan setapak itu selebar dua sepeda motor bertemu. Kontur jalan agak menanjak. Menurutku, jalan ini bisa dilalui mobil. Akan tetapi, ada larangan terpampang dari spanduk digital di awal masuk jalan tadi. Sejatinya jalan setapak itu selebar satu meter, karena semakin banyaknya orang yang ber 'migrasi' ke tempat ini, maka jalan setapak dilebarkan. Tidak ada jalan lain kecuali menutup selokan kecil pada salah satu sisi jalan setapak itu. Kerapian paving block dan tutup-tutup selokan sepanjang seratus meteran lebih itu, menunjukkan suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh ahlinya. Dan, tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Jalan itu terkadang bercabang ke kanan dan ke kiri. Cabang-cabang jalan itu menuju cluster-cluster pemukiman sederhana berdinding tembok batu bata tapi tertata rapi. Harga tanah dipemukiman itu sekarang sudah sepuluh kali lipat dari harga tanah sepuluh tahun yang lalu. Subhanallah.
Dahulu, aku sering melintas di jalan setapak ini, yang sebetulnya bukan jalan, tapi merupakan pematang sawah saja. Tanah-tanah sekitarnya hanyalah petak-petak sawah diselingi rumah-rumah yang sangat sederhana. Dinding-dinding rumah ada yang dari papan pohon sengon, batubata yang belum diplaster, dan seng bekas. Harga tanah waktu itu masih sepuluh ribu rupiah setiap meter persegi bidang tanah.
Terkadang pematang sawah yang berubah menjadi jalan setapak tersebut runtuh akibat sering dilewati orang. Akhirnya, mendadaklah orang-orang bekerja bakti memperbaiki pematang sawah tersebut. Gotong royong segera dilakukan sebelum pemilik sawah yang dilewati jalan itu sempat bersungut-sungut memikirkan tanaman padinya yang rusak akibat runtuhan pematang. Tidak butuh ahli khusus. Cukup pengumuman di masjid setelah sholat subuh (waktu itu belum ada media grup chatting, atau apalah) maka mereka langsung berkumpul 'guyup' kerja bakti. Kudapan dan minuman seadanya sepontanitas dibawa serta bagi yang longgar rizkinya. Tanpa himbauan, tanpa instruksi.
Aku berharap, momen-momen itu masih ada, kini.
Tak berapa lama, rombongan telah sampai di kelokan jalan (baca : trotoar) lingkungan. Jalan berkelok ke kiri, akan tetapi ada yang lurus. Di situ terpampang petunjuk arah ke kiri dengan tulisan "JALAN SATU ARAH". Oi! Subhanallah begitu teraturnya pemukiman ini bagaikan kota besar. Jalan-jalan yang searah. Orang berjalan saja musti diatur. Aku tahu mengapa ditertibkan seperti itu. Jalan searah berguna agar tidak terjadi pertemuan muka dengan muka, wajah dengan wajah, mata dengan mata antara penduduk pria dan wanita. Penjagaan hijab yang sempurna.
Aku teringat kembali masa-masa itu. Sempitnya jalan membuat kikuk jika bertemu dengan lawan jenis dari arah yang berlawanan. Tapi, maa syaa Allah itu semua ada hikmahnya. Para wanita berhijab adalah sosok-sosok dengan balutan busana yang sangat tertutup seolah berkata bahwa mereka adalah makhluq-makhluq yang paling tahu malu. Mereka ketika bertemu dengan para pria di lintasan yang sempit, maka mereka berhenti dan memalingkan seluruh tubuhnya menghadap ke tepi jalan. Mengarahkan pandangan dan badannya ke hamparan petak sawah tepi jalan.
Dengan 'jalan satu arah' ini, masih adakah amalan berhenti, memalingkan wajah dan tubuh para muslimah ke tepi jalan? Sebagai wujud dan contoh bagi puteri-puteri mereka bagaimana melakukan perbuatan pada kata 'malu' yang sering digembar-gemborkan dalam kajian-kajian mereka. Semoga masih ada. Masih ada jalan-jalan yang tidak satu arah.
Rombongan berjalan di antara rumah-rumah pemukiman. Rumah-rumah sederhana tetapi teratur dan rapi. Angin senja menggigilkan badan bertiup malas. Angin itu sayup-sayup membawa getaran-getaran pita suara orang-orang. Terdengar teriakan-teriakan. Ada apa gerangan? Hatiku bertanya-tanya.
Tak lama kemudian, lambat laun terpampang di hadapan rombongan kami jaring-jaring besar. Di balik jaring-jaring itu terlihat orang-orang sedang berlari-lari kesana kemari menyisakan kepulan-kepulan debu.Teriakan-teriakan. Kejar-mengejar. Saling menjegal. Sepak bola. Subhanallah, lingkungan ini sudah berlapangan bola. Lengkap dengan jaring-jaring pengaman agar bola tidak 'tersesat' menghantam rumah yang "mepet" lapangan. Di dekatnya juga ada tempat-tempat duduk penonton yang beratap. Sederhana, namun menunjukkan pengelolaan lingkungan yang tertata dan terkoordinir.
"Assalamu'alaykum," aku melempar salam. Aku sekilas melihat ada salah seorang pemain bola yang kukenal.
"Wa alaykumussalam, mau kemana?" sahut orang yang mengenalku juga.
Kusebut nama seseorang.
"O iya, terus, rumahnya paling pojok," orang itu memberi petunjuk tanpa diminta sambil terus lari kesana kemari menunggu 'operan' si bulat yang selalu jadi rebutan.
Setelah melintasi lapangan 'futsal' yang beratap langit itu, rombongan berkelok ke kanan. Dan, setelah melewati satu-dua rumah maka sampailah rombongan kami ditujuan. Rumah seorang kawan lama.
"O iya, terus, rumahnya paling pojok," orang itu memberi petunjuk tanpa diminta sambil terus lari kesana kemari menunggu 'operan' si bulat yang selalu jadi rebutan.
Setelah melintasi lapangan 'futsal' yang beratap langit itu, rombongan berkelok ke kanan. Dan, setelah melewati satu-dua rumah maka sampailah rombongan kami ditujuan. Rumah seorang kawan lama.
"Assalamu'alaykum," aku memberi salam bersamaan mengetok pintu rumah yang berada di pojok jalan buntu itu. Tak terdengar jawaban. Salam kembali. Tak lama kemudian, keluarlah anak kecil.
"Abi sedang mandi," anak kecil itu seolah mengerti rombongan ingin bertemu dengan siapa. Baiklah rombongan menunggu.
Sambil menunggu, pikiranku menerawang. Aku ingat pada lapangan bola tadi. Dahulu, jika kami ingin main bola, kami berjalan dahulu sekitar setengah kilometer menuju lapangan sepak bola masyarakat setempat. Lapangan bola berupa hamparan rumput begitu saja dengan bentuk yang tidak beraturan. Air menggenang dimana-mana jika hujan. Lapangan itu berada diluar lingkungan pemukiman ini.
Pikiranku melayang sambil menyapu pandangan jalan di depan rumah kawan lama. Ketika pandanganku ke arah kanan, oi, apa itu? Bangunan tinggi. Seperti kantor. Aku pernah tahu di dekat sini akan dibangun sekolah khusus untuk anak perempuan. Suasana sepi. Mungkin sudah tidak ada kegiatan belajar mengajar, telah sore. Aku penasaran dan menuju bangunan itu. Yang pertama kujumpai adalah pintu gerbang besi terbuat dari plat besi setinggi sekitar 2,5 meter. Aku mengira tak bisa masuk, karena pintu itu tertutup. Setelah mendekat, ternyata hanya setengah tertutup. Aku bisa masuk ke dalam halaman sekolah khusus perempuan itu.
Subhanallah, lihatlah, aku takjub dengan bangunan itu. Bangunan dua lantai tetapi dipersiapkan akan menjadi tiga lantai. Terlihat pada puncak gedung, besi-besi beton menjulang siap menyongsong pembangunan berlanjut.
Maa syaa Allah, sejak kapan disini akan ada bangunan tiga lantai seperti perkantoran? Memang beberapa bulan yang lalu aku beserta penduduk lingkungan tempat tinggalnya pernah diundang untuk gotong royong melakukan pengecoran gedung itu. Tapi, aku tak mengira gedung itu menjadi semegah ini. Di teras-teras bangunan itu tertata rapi meja-meja belajar 'lesehan' dengan warna cat yang sama. Di dalam pekarangan gedung itu juga ada semacam kantin. Sepertinya toko untuk memenuhi kebutuhan belajar dan jajanan anak-anak sekolah. Suatu sekolah yang ideal. Berapa milyarkah untuk semua itu?
Angin gunung semakin menderu-deru. Cahaya matahari semakin suram. Teriakan-teriakan orang bermain bola telah menguap. Tentu mereka bergegas pulang untuk persiapan ibadah menyongsong adzan Maghrib.
Aku kembali menuju depan rumah kawan lama. Sebagian rombongan yang terdiri kaum wanita sudah dipersilahkan masuk. Yang tersisa temanku satu rombongan, Bahrun menunggu tuan rumah selesai mandi dan keluar rumah.Aku ikut bergabung berdiri bersama Bahrun. Menunggu.
"Semakin banyak yang tinggal di daerah sini ya?" Bahrun memulai percakapan untuk membuang rasa bosan menunggu. Bahrun bertanya, dengan wajah seakan berharap ingin tinggal di lingkungan yang semakin ramai saja.
Aku diam saja menatap Bahrun. Ada yang berkecamuk di rongga hatiku. Buat apa dijawab, sudah terpampang dari tadi begitu banyak rumah yang telah kami lewati. Ya, tentu saja semakin banyak yang tinggal disini.
"Berapa kepala keluarga yang telah tinggal disini?" Bahrun kembali bertanya dengan pertanyaan yang lebih mudah dijawab.
"Eng ... mungkin seratus, atau bahkan ratusan," jawabku sekenanya. Tapi aku ingat sepuluh tahun yang lalu disini sekitar seratusan lebih kepala keluarga. Dan, jumlah rumah di pemukiman ini tidak sampai setengahnya kala itu, dibanding dari sekarang. Berarti benar, sekarang jumlahnya sudah ratusan kepala keluarga.
"Tapi, ... kawan-kawan lama banyak yang ingin pindah dari sini. Mereka selalu bertanya-tanya masih adakah kavlingan di tempat daerah kita tinggal." Aku menyampaikan berita yang mungkin tak disangka-sangka oleh Bahrun. Aku lamat-lamat menatap air tenang di sawah samping rumah kawan lama tersebut. Aku tahu benar mengapa kawan-kawan lamaku ingin migrasi dari daerah itu. Kenangan sepuluh tahun yang lalu berjejal-jejal memenuhi layar air genangan sawah yang kutatap.
Sambil menunggu, pikiranku menerawang. Aku ingat pada lapangan bola tadi. Dahulu, jika kami ingin main bola, kami berjalan dahulu sekitar setengah kilometer menuju lapangan sepak bola masyarakat setempat. Lapangan bola berupa hamparan rumput begitu saja dengan bentuk yang tidak beraturan. Air menggenang dimana-mana jika hujan. Lapangan itu berada diluar lingkungan pemukiman ini.
Pikiranku melayang sambil menyapu pandangan jalan di depan rumah kawan lama. Ketika pandanganku ke arah kanan, oi, apa itu? Bangunan tinggi. Seperti kantor. Aku pernah tahu di dekat sini akan dibangun sekolah khusus untuk anak perempuan. Suasana sepi. Mungkin sudah tidak ada kegiatan belajar mengajar, telah sore. Aku penasaran dan menuju bangunan itu. Yang pertama kujumpai adalah pintu gerbang besi terbuat dari plat besi setinggi sekitar 2,5 meter. Aku mengira tak bisa masuk, karena pintu itu tertutup. Setelah mendekat, ternyata hanya setengah tertutup. Aku bisa masuk ke dalam halaman sekolah khusus perempuan itu.
Subhanallah, lihatlah, aku takjub dengan bangunan itu. Bangunan dua lantai tetapi dipersiapkan akan menjadi tiga lantai. Terlihat pada puncak gedung, besi-besi beton menjulang siap menyongsong pembangunan berlanjut.
Maa syaa Allah, sejak kapan disini akan ada bangunan tiga lantai seperti perkantoran? Memang beberapa bulan yang lalu aku beserta penduduk lingkungan tempat tinggalnya pernah diundang untuk gotong royong melakukan pengecoran gedung itu. Tapi, aku tak mengira gedung itu menjadi semegah ini. Di teras-teras bangunan itu tertata rapi meja-meja belajar 'lesehan' dengan warna cat yang sama. Di dalam pekarangan gedung itu juga ada semacam kantin. Sepertinya toko untuk memenuhi kebutuhan belajar dan jajanan anak-anak sekolah. Suatu sekolah yang ideal. Berapa milyarkah untuk semua itu?
Angin gunung semakin menderu-deru. Cahaya matahari semakin suram. Teriakan-teriakan orang bermain bola telah menguap. Tentu mereka bergegas pulang untuk persiapan ibadah menyongsong adzan Maghrib.
Aku kembali menuju depan rumah kawan lama. Sebagian rombongan yang terdiri kaum wanita sudah dipersilahkan masuk. Yang tersisa temanku satu rombongan, Bahrun menunggu tuan rumah selesai mandi dan keluar rumah.Aku ikut bergabung berdiri bersama Bahrun. Menunggu.
"Semakin banyak yang tinggal di daerah sini ya?" Bahrun memulai percakapan untuk membuang rasa bosan menunggu. Bahrun bertanya, dengan wajah seakan berharap ingin tinggal di lingkungan yang semakin ramai saja.
Aku diam saja menatap Bahrun. Ada yang berkecamuk di rongga hatiku. Buat apa dijawab, sudah terpampang dari tadi begitu banyak rumah yang telah kami lewati. Ya, tentu saja semakin banyak yang tinggal disini.
"Berapa kepala keluarga yang telah tinggal disini?" Bahrun kembali bertanya dengan pertanyaan yang lebih mudah dijawab.
"Eng ... mungkin seratus, atau bahkan ratusan," jawabku sekenanya. Tapi aku ingat sepuluh tahun yang lalu disini sekitar seratusan lebih kepala keluarga. Dan, jumlah rumah di pemukiman ini tidak sampai setengahnya kala itu, dibanding dari sekarang. Berarti benar, sekarang jumlahnya sudah ratusan kepala keluarga.
"Tapi, ... kawan-kawan lama banyak yang ingin pindah dari sini. Mereka selalu bertanya-tanya masih adakah kavlingan di tempat daerah kita tinggal." Aku menyampaikan berita yang mungkin tak disangka-sangka oleh Bahrun. Aku lamat-lamat menatap air tenang di sawah samping rumah kawan lama tersebut. Aku tahu benar mengapa kawan-kawan lamaku ingin migrasi dari daerah itu. Kenangan sepuluh tahun yang lalu berjejal-jejal memenuhi layar air genangan sawah yang kutatap.
"O iya?" kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bahrun sambil melotot. Betul-betul heran. (ibman).
***
- mungkin bersambung -
Posting Komentar untuk "Negeri Para Pemburu"