#02 Wujud Visual Berita dan Cerita
Langsung ke contoh :
Si John Periang adalah seorang pesuruh di Pasar Petani dan tinggal di bukit Babilonia di sebuah gubuk yang tak bernomor.
Pada suatu malam ia pergi ke Warung Dua Puluh November
Ia minum
Ia menyanyi
Ia menari
Kemudian ia menceburkan diri ke dalam Telaga Rodrigo de Frietas dan tenggelam
Itu sebuah sajak. Ah, masa? Lho iya betul!
Di dalamnya dikisahkan, seorang pesuruh yang bekerja di Pasar Petani. Tentunya dia melarat karena tinggal di sebuah gubuk. Diberitakan bahwa pada suatu malam ia pergi ke sebuah warung, minum-minum sampai mabuk, menari-nari dalam kemabukannya itu dan akhirnya tenggelam di sebuah telaga. Kemudian tidak diceritakan lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Judul sajak tersebut "Sajak Berdasarkan sebuah Berita di Koran". Kita boleh membayangkan bahwa sajak itu mula-mulanya adalah berita yang kemudian disusun menjadi sajak oleh penyair. Tampaknya penyair tidak menambahkan apa-apa, berita itu ditulis kembali begitu saja. Lalu, apa bedanya antara berita dan sajak?
Di dalamnya dikisahkan, seorang pesuruh yang bekerja di Pasar Petani. Tentunya dia melarat karena tinggal di sebuah gubuk. Diberitakan bahwa pada suatu malam ia pergi ke sebuah warung, minum-minum sampai mabuk, menari-nari dalam kemabukannya itu dan akhirnya tenggelam di sebuah telaga. Kemudian tidak diceritakan lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Judul sajak tersebut "Sajak Berdasarkan sebuah Berita di Koran". Kita boleh membayangkan bahwa sajak itu mula-mulanya adalah berita yang kemudian disusun menjadi sajak oleh penyair. Tampaknya penyair tidak menambahkan apa-apa, berita itu ditulis kembali begitu saja. Lalu, apa bedanya antara berita dan sajak?
Sekarang sajak itu kita tulis begini :
Si John Periang adalah seorang pesuruh di Pasar Petani, tinggal di Bukit Babilonia dalam sebuah gubuk yang tak bernomor. Pada suatu malam ia pergi ke Warung Dua Puluh November. Ia minum, ia menyanyi, ia menari, kemudian ia menceburkan diri ke dalam Telaga Rodrigo de Frietas dan tenggelam.
Penulis hanya menambahkan sejumlah tanda baca seperti titik dan koma. Membaca karangan yang seperti berita tersebut tentu kita tidak akan mengira bahwa asalnya itu sebuah sajak dan kita akan menganggap itu sebuah berita yang biasa kita baca di koran.
Namun, jika kita telisik lebih cermat, ternyata ada perbedaan mencolok antara sajak tersebut dengan berita yang biasa kita baca sehari-hari di koran.
Si John Periang adalah seorang pesuruh di Pasar Petani, tinggal di Bukit Babilonia dalam sebuah gubuk yang tak bernomor. Pada suatu malam ia pergi ke Warung Dua Puluh November. Ia minum, ia menyanyi, ia menari, kemudian ia menceburkan diri ke dalam Telaga Rodrigo de Frietas dan tenggelam.
Penulis hanya menambahkan sejumlah tanda baca seperti titik dan koma. Membaca karangan yang seperti berita tersebut tentu kita tidak akan mengira bahwa asalnya itu sebuah sajak dan kita akan menganggap itu sebuah berita yang biasa kita baca di koran.
Namun, jika kita telisik lebih cermat, ternyata ada perbedaan mencolok antara sajak tersebut dengan berita yang biasa kita baca sehari-hari di koran.
Perbedaan pertama, adalah tanda baca. Berita di koran harus ditulis dengan tanda baca yang benar, agar berita atau laporan bisa dibaca dengan mudah. Nah, bedanya dengan penyair adalah, penyair boleh dan bebas mengatur tanda bacanya sendiri meskipun tidak sesuai dengan tata cara bahasa yang umum. Penyair bisa memilih kata-kata dan menyusunnya sedemikian rupa agar bisa menimbulkan perasaan tertentu bagi yang membacanya.
Ia menyusun "beritanya" itu dengan cara yang tidak begitu lugas. Dia menulis,"Ia minum ia menyanyi ia menari". Tiga kali kata "ia", diulang-ulang, suatu hal yang dalam berita pasti "dilarang", setidaknya dianggap tidak wajar. Sajak diatas memang mengungkapkan dengan lugas, tapi koran tentu menyampaikannya akan lebih lugas lagi, yakni tanpa mengadakan pengulangan yang tidak efektif, sehingga dapat dipadatkan lagi dan tidak memakan tempat pada lembaran koran.
Di samping itu, berita tentunya tidak disusun dalam larik-larik seperti dalam sebuah sajak, karena akan memakan tempat. Sajak menjadi beda dengan berita karena susunan larik-larik tersebut.
Dalam sajak di atas pun ada keistimewaannya, yaitu ada larik-larik yang panjang, ada juga yang sangat pendek. Perbedaan panjang pendek larik-larik itu pula yang menjadi tanda, bahwa penyair menyusun "berita" menjadi suatu "cerita yang berbeda" (sajak) dibanding dengan berita yang biasa kita baca di koran.
Ia menyusun "beritanya" itu dengan cara yang tidak begitu lugas. Dia menulis,"Ia minum ia menyanyi ia menari". Tiga kali kata "ia", diulang-ulang, suatu hal yang dalam berita pasti "dilarang", setidaknya dianggap tidak wajar. Sajak diatas memang mengungkapkan dengan lugas, tapi koran tentu menyampaikannya akan lebih lugas lagi, yakni tanpa mengadakan pengulangan yang tidak efektif, sehingga dapat dipadatkan lagi dan tidak memakan tempat pada lembaran koran.
Di samping itu, berita tentunya tidak disusun dalam larik-larik seperti dalam sebuah sajak, karena akan memakan tempat. Sajak menjadi beda dengan berita karena susunan larik-larik tersebut.
Dalam sajak di atas pun ada keistimewaannya, yaitu ada larik-larik yang panjang, ada juga yang sangat pendek. Perbedaan panjang pendek larik-larik itu pula yang menjadi tanda, bahwa penyair menyusun "berita" menjadi suatu "cerita yang berbeda" (sajak) dibanding dengan berita yang biasa kita baca di koran.
Berarti mudah ya membuat syair atau puisi atau sajak.
- Tanda baca yang bebas,
- kata-kata diulang,
- larik-larik,
- panjang-pendek.
Ini teknik yang paling mudah, dan sudah menjadi suatu syair tentunya.
Perhatikan kembali contoh berikut ini lagi :
Gerimis pagi membasahi debu pagi,
Warung-warung menghijau, pohonan wu-t'ung berbunga,
Sebaiknya kauhabiskan segelas anggur lagi,
Di sisi barat Bukit Yuan Kuan tak ada teman akan kautemui.
Sajak di atas, penyair tidak "bercerita" tetapi ia mengungkapkan suatu situasi/keadaan. Tampaknya ada dua orang dalam sajak ini. Seseorang berbicara kepada yang lain. Penyair menggambarkan keadaan dengan lugas;
gerimis pagi membasahi debu putih,
kemudian dalam larik kedua ia menulis;
warung-warung menghijau, pohonan wu-t'ung berbunga.
Orang yang berbicara dalam sajak tersebut meminta lawan bicaranya untuk minum segelas anggur lagi, mungkin supaya di jalan nanti tidak kehausan. Tampaknya ada semacam 'upacara' perpisahan dalam sajak ini. Si pembicara mengingatkan bahwa dalam perjalanan nanti tidak akan ada teman yang bisa ditemui.
Pohonan berbunga
adalah pernyataan yang lugas, pohon-pohon memang berbunga. Namun frasa '
warung menghijau'
mengandung unsur perbandingan: warung dianggap benda yang bisa menghijau, bisa kita bayangkan warung-warung itu seperti daun.
Kemudian, dua larik terakhir adalah pernyataan yang disampaikan kepada lawan bicaranya, menyatakan bahwa
Kemudian, dua larik terakhir adalah pernyataan yang disampaikan kepada lawan bicaranya, menyatakan bahwa
di balik bukit itu nanti tidak akan ada kawan yang bisa ditemui, yang bisa memberikan minum.
Itulah sebabnya sebaiknya sekarang minum lagi saja agar nanti tidak kehausan.
Perhatikan kembali secara visual sajak di atas. Sajak disusun dengan larik-larik yang ketat - dalam empat larik, suatu kebiasaan yang umum dalam penulisan puisi. Lain halnya jika 'berita' perpisahan dua orang kawan di atas ditulis dalam bentuk berita sebenarnya dalam koran, tentu tidak ketat harus empat larik.
Sajak bisa saja bebas ditulis dalam beberapa larik, namun empat larik adalah suatu keumuman. Sajak dalam empat larik ada beberapa istilah namanya, kwatrin, syair, rubai, dan sebagainya. Dalam khazanah sajak lisan biasa di sebut pantun.
Perhatikan kembali secara visual sajak di atas. Sajak disusun dengan larik-larik yang ketat - dalam empat larik, suatu kebiasaan yang umum dalam penulisan puisi. Lain halnya jika 'berita' perpisahan dua orang kawan di atas ditulis dalam bentuk berita sebenarnya dalam koran, tentu tidak ketat harus empat larik.
Sajak bisa saja bebas ditulis dalam beberapa larik, namun empat larik adalah suatu keumuman. Sajak dalam empat larik ada beberapa istilah namanya, kwatrin, syair, rubai, dan sebagainya. Dalam khazanah sajak lisan biasa di sebut pantun.
Dalam sajak di atas, digambarkan ada
gerimis yang jatuh di pagi hari,
ada
debu putih yang menjadi basah gara-gara gerimis,
ada
warung yang menjadi hijau lantaran gerimis juga,
dan juga disebutkan
pohonan wu-t'ung yang sedang berbunga.
Semua yang digambarkan dalam sajak itu bisa menimbulkan suasana tertentu dalam diri kita.
Suasana itu akan jauh berbeda jika misalnya yang digambarkan adalah
siang hari yang panas dan debu berterbangan kemana-mana, tersangkut di pohon yang ranggas tidak ada bunganya sama sekali.
Seperti sajak sebelumnya yaitu tentang "buruh pasar", sajak tentang perpisahan menimbulkan suasana sedih, akan tetapi jenis kesedihan yang ditimbulkan berlainan.
Sajak pertama menimbulkan kesedihan yang diakibatkan rasa simpati kepada kaum miskin yang susah hidupnya dan melarikan diri ke kebiasaan mabuk-mabukan sehingga berakibat buruk. Sedangkan sajak kedua menimbulkan suasana sedih yang mengharukan karena ada dua sahabat yang berpisah.
Dalam sajak pertama dijelaskan status tokohnya, sedang pada sajak kedua tidak dijelaskan status pengisah dan lawan bicaranya.
Pengisah adalah "suara" yang "berbicara" dalam puisi, dan pengisah bisa saja berbicara langsung kepada kita seperti pada sajak pertama. Bisa juga berbicara kepada tokoh yang lain yang ada dalam sajak, dan kita bisa nguping pembicaraan mereka itu seperti pada sajak kedua.
Kita tentu pernah mendengar atau membaca pantun berikut :
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Itu adalah pantun, terdiri atas empat larik. Bentuk seperti itu adalah bentuk tetap. Dalam puisi kita menjumpai banyak bentuk tetap dengan berbagai cara penulisan. Ada yang terdiri dua larik, tiga larik, lima larik, dan bahkan 14 larik.
Dalam penulisan berita tidak ada ketetapan seperti itu. Wartawan akan mengalami kesulitan bila harus menulis berita dalam larik-larik yang ketat dengan jumlah tertentu.
Salah satu bentuk tetap yang sampai sekarang masih dipakai oleh penyair Indonesia adalah yang terdiri 14 larik disebut "Soneta". Dan, itu tidak boleh dilanggar. Dalam perkembangan penggunaannya, susunan bait dan rima mengalami perubahan. Sehingga banyak wujud visual nya berubah-ubah sejalan dengan kemauan penyair dalam menyusun bait dan lariknya.
Salah satu bentuk tetap yang sampai sekarang masih dipakai oleh penyair Indonesia adalah yang terdiri 14 larik disebut "Soneta". Dan, itu tidak boleh dilanggar. Dalam perkembangan penggunaannya, susunan bait dan rima mengalami perubahan. Sehingga banyak wujud visual nya berubah-ubah sejalan dengan kemauan penyair dalam menyusun bait dan lariknya.
Kita kutip soneta berikut yang ditulis oleh M. Yamin :
Pagi-pagi
Teja dan cerawat masih gemilang,Memuramkan bintang mulia raya;Menjadi pudar padam cahaya,Timbul tenggelam berulang-ulang.Fajar di timur datang menjelang,Membawa permata ke atas dunia;Seri-berseri sepantun mutia,Berbagai warna, bersilang-silang.Lambat laun serta berdandan,Timbul matahari dengan perlahan;Menyinari bumi dengan keindahan.Segala bunga harumkan pandan,Kembang terbuka, bagus gubahan;Dibasahi embun, titik di dahan.
Sajak di atas ditulis tahun 1920, maka bahasanya terasa jadul banget.
Perhatikan sajak tersebut : terdiri 14 larik, dibagi 4 bait, masing-masing terdiri atas 4-4-3-3 larik.
Perhatikan juga rima masing-masing bait, dua bait pertama berima a-b-b-a, dua bait berikutnya berima c-c-c.
Dalam Soneta susunan rima bisa berubah-ubah, misal a-b-a-b pada bait pertama, b-c-b-c pada bait kedua. Sedangkan pada bait ketiga dan keempat d-e-d. Jumlah baitpun bisa berubah-ubah misalnya hanya satu bait atau dua bait yang masing-masing terdiri 8 dan 6 larik. Dan sebagainya. Akan tetapi, secara keseluruhan jumlah lariknya sama sekali tidak boleh berbeda yakni 14 larik.
Sajak "Pagi-pagi" menggambarkan keindahan alam yang masih murni, yang tidak ditata oleh manusia. Di dalam sajak itu bahkan tidak ditampilkan sama sekali sosok manusia, sajak itu pujaan terhadap kebesaran alam yang disampaikan dengan kadar emosi yang tinggi.
Berkaitan dengan wujud visual sajak, ada satu lagi yang perlu dibahas yaitu puisi konkret. Penganut jenis ini menyatakan bahwa dalam puisi tulis /cetak wujud visual sangat penting. Huruf yang hakekatnya gambar, harus mengambil peran penting dalam penyusunannya di ruangnya. Kalau ruang itu kertas, maka perletakan huruf di lembaran kertas menjadi hal yang utama, karena wujud visual itulah yang menentukan maknanya. Dengan alasan itu puisi jaman sekarang banyak yang tidak mengikuti tata cara penulisan bait dan larik seperti yang sudah menjadi konvesi puisi tulis /cetak.
Untuk lebih jelasnya kita baca contoh sajak yang ditulis oleh seorang pelukis bernama Jeihan yang suka menulis puisi . Judulnya "Indonesia".
VVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVVIVA PANCASILA!
Sajak tersebut tidak memerlukan penjelasan. Telah banyak penulisan sajak seperti itu tidak hanya di Indonesia.
Dan, kalau kita kembali ke awal tema bahasan Bagian Pertama ini, yang menjelaskan beda antara berita dan sajak, maka sajak ini jelas-jelas lebih menjelaskan perbedaan cara penulisan aksara tulis /cetak antara puisi dengan berita di media koran. Atau dengan kata lain perbedaan wujud visual antara berita dan sajak.
Posting Komentar untuk "#02 Wujud Visual Berita dan Cerita"