#02 Gelagat Umum Menulis
Mendengar – Berbicara
Membaca – Menulis
Ada teknik-teknik tertentu untuk mencapai masing-masing keterampilan berbahasa tersebut di atas. Dan teknik-teknik ini butuh dikuasai agar komunikasi kita dengan orang lain itu mampu berjalan lancar, efektif dan efisien.
Di atas telah disandingkan antara mendengar dengan berbicara, dan antara membaca dengan menulis, mengapa? Nanti akan dijelaskan pada pembahasan yang akan datang, karena memang erat sekali hubungannya antara mendengar dengan berbicara dan antara membaca dan menulis.
Mendengar
Kita sering berjumpa dengan orang yang bisa mendengar, akan tetapi tidak mampu mendengar. Apa maksudnya? Maksudnya dia tidak bisa menangkap isi pembicaraan dalam suatu momen, misalnya sidang, pertemuan, rapat, pelajaran, pengajian dan sebagainya.
Cobalah simak percakapan berikut:
Seorang istri bertanya kepada suaminya yang baru pulang dari rapat warga satu RT lingkungan perumahan tempat mereka berdomisili, “Apa saja, sih, yang dibicarakan Pak pengurus tadi?”
“Wah, rasanya kita, kok musti bayar Pajak Bumi Bangunan, ya,” jawab sang suami agak ragu.
“Berapa?” timpal istrinya.
Sang suami sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal menyambung, “Wah, enggak jelas deh. Pak pengurus tadi ngomong macam-macam, kudu ukur tanah dulu, ukur bangunan, bingung aku.”
“Lho bapak ini gimana sih? Siapa yang ukur?” sang istri semakin gregetan.
“Iya, ya, aku lupa tanya tadi!” sang suami sambil menepuk dahinya sendiri.
Sang suami ini jelas-jelas tidak menguasai teknik mendengar. Dia tidak bisa mendengar dengan efektif dan efisien. Orang seperti sang suami ini, apakah banyak kita jumpai? Banget! Bahkan sampai pada pelajar tingkat perguruan tinggi pun masih banyak yang belum bisa “mendengar”. Sehabis mengajar, biasa pengajar menanyakan apakah ada pertanyaan. Para pelajar diam saja, mereka sendiri tidak tahu apa yang akan ditanyakan. Dan, nanti ketika ujian, barulah terungkap bahwa mereka tidak mengerti apa yang telah diajarkan, dan sebenarnya banyak yang harus mereka tanyakan. Ajib!
Itu tadi adalah sebuah bentuk kondisi tidak menguasai teknik mendengar, dan seperti telah dikatakan di atas, hal ini banyak sekali ditemukan di masyarakat. Akan tetapi kesalahan bukan terletak kepada orang-orang yang tak bisa mendengar tersebut, karena memang teknik mendengar yang efektif dan efisien tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
Berbicara
Ilmu berbicara pun tidak diajarkan secara tersendiri di instansi-instansi pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, kadangkala kita mendengar suatu pembicaraan, di rapat-rapat, di pertemuan-pertemuan, di siaran-siaran radio, di dalam pembicaraan tidak resmi, kita kadang menemukan kesalahan dan kejanggalan.
Sering kita mendengar orang yang mengemukakan ide sebesar kelingking dengan kalimat-kalimat ukuran sedepa. Sering pula kita mendengar orang mengutarakan maksudnya yang sebesar gajah dengan kalimat-kalimat sekecil kancil, akibatnya penjelasannya kurang komplit.
Ada pula orang yang berbicara berputar-putar, berbelit-belit, tapi kita tak dapat menangkap inti pembicaraannya. Ada lagi kita mendengar pewawancara mewawancarai orang dewasa dengan menggunakan gaya bahasa anak-anak. Ada pidato yang ditutup sampai empat-lima kali, dan setiap kalinya sang tukang pidato itu menyampaikan, “Sebagai penutup …,” atau “Dan akhirnya...,”. Kadang pula kita tidak mengerti isi pertanyaan yang ditanyakan seseorang dalam acara tanya jawab pada momen tertentu.
Banyak sekali penyakit orang dalam berbicara, dan sudah sangat mendesak waktunya sekolah-sekolah kita mengajarkan praktek dalam berbicara yang efektif dan efisien.
Membaca
Jika ada yang mengatakan sebagian besar masyarakat kita tidak bisa membaca, sepertinya sulit untuk diterima oleh nalar kita. Sekolah-sekolah telah mengajarkan membaca dan menulis bahkan ada yang sejak di kelas taman kanak-kanak. Jika anak-anak terlewatkan dari itu masih ada program pemberantasan buta huruf, dan sebagainya.
Namun, apa yang terjadi? Sungguh ironis!
Sekelas pelajar di perguruan tinggi terkenal di ibu kota Indonesia pernah disuruh membaca suatu artikel pendek, hanya dua halaman ketik, seminggu kemudian mereka ditanya apakah isi artikel tersebut? Sebagian pelajar tidak bisa menjawab, sedangkan diantara yang bisa menjawab, jawaban mereka berbeda-beda. Allah Musta'an! Tidak ada seorangpun yang mampu menjawab dengan benar. Ini contoh nyata bahwa di antara kita sangat banyak yang tidak bisa “membaca”. Maksudnya tak bisa menangkap inti pembahasan atau opini (yang biasa disebut Tesis) dalam suatu tulisan. Ironis dan kontradiktif tentunya.
Namun, memang realitasnya sekolah-sekolah kita tidak ada yang memberikan pelajaran membaca secara serius.
Menulis
Perkara yang tidak berbeda dengan kemampuan membaca, terjadi pula pada ketrampilan menulis. Sering kita baca di media-media mengapa kemampuan menulis sangat dikesampingkan di negeri ini. Sampai-sampai dimana-mana ada pelatihan-pelatihan, kursus-kursus baik daring (dalam jaringan /online) maupun luring (luar jaringan /offline) keahlian menulis yang diadakan pihak-pihak swasta maupun personal. Pelajaran menulis memang tidak diberikan di sebagian besar sekolah-sekolah dari mulai tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Ada juga yang mengajarkan, tetapi hanyalah memberikan teori-teori saja, tanpa praktek menulis secara terprogram dan terperinci.
Membaca sebagai sarana utama
Di antara ke empat ketrampilan berbahasa seperti yang telah dipaparkan di atas, para ahli bahasa melihat hubungan yang sangat erat dan saling berkaitan antara mendengar dengan berbicara. Orang yang tidak bisa mendengar atau tuli, tidak akan bisa berbicara. Dia bukanlah tidak bisa mengeluarkan suara, tapi karena ia tidak pernah mendengar suara, sehingga tidak ada suara yang bisa ditirunya. Mengatakan dia bisu, sejatinya pernyataan itu kurang ilmiah, karena bila ia kita kirim ke sekolah luar biasa jurusan bisu-tuli beberapa tahun, maka ia akan bisa berbicara. Namun, hasilnya tidak mampu persis seperti orang yang normal. Jadi, memang sangatlah erat hubungan antara mendengar dan berbicara.
Satu lagi bukti, coba kita perhatikan para pelajar yang diberi ketrampilan berbicara atau berpidato, akan nampak gaya berbicaranya mirip dengan guru-gurunya. Mengapa? Ya, karena mereka sering mendengar guru-guru mereka berbicara di depan kelas atau pada pertemuan-pertemuan umum. Biasanya mereka tanpa sadar mengikuti gaya bicara guru yang mereka favoritkan. Betul khan?
Hubungan antara membaca dan menulis juga sangat erat walaupun tidak seerat mendengar dan berbicara. Dan, para ahli mengatakan bahwa untuk mendapatkan keahlian menulis kita harus banyak membaca. Membaca adalah sarana utama menuju ke ketrampilan menulis. Terbukti juga, seseorang bila mengalami proses belajar menulis yang sangat cepat bisa, setelah dirunut masa lalu atau masa kecilnya ternyata dia suka sekali membaca (baca: kutubuku).
Membaca memberikan berbagai-bagai bahan bakar yang menghasilkan energi dahsyat, dan tentu sangat dibutuhkan penulis. Dan energi ini tidak bisa atau hampir tidak bisa, diperoleh dengan cara lain kecuali dengan membaca. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, setiap penulis pastilah memiliki energi-energi ini. Energi ini akan keluar tanpa dimaui oleh seorang penulis ketika dia mulai menulis, mengalir terus tanpa ada yang bisa menghentikan kecuali sang penulis telah kehabisan ide. Membaca adalah “bensin” bagi kegiatan menulis.
Latar Belakang Keilmuan
Energi yang paling pertama adalah latar belakang keilmuan yang luas. Tanpa keilmuan yang luas tulisan seseorang akan berputar-putar di sekitar masalah itu-itu saja, klise, usang, kering dan kerdil. Tulisannya tidak enak dibaca. Sebaliknya, penulis yang memiliki latar belakang ilmiah yang banyak akan merasa mudah meracik tulisannya dengan berbagai ramuan, resep yang umum dipakai orang dalam penulisan, sehingga tulisannya enak dan lezat dibaca, dan menarik tentunya. Bahkan, lebih dari itu dia bisa menciptakan racikan-racikan baru dalam menulis, sehingga bukan saja nikmat dibaca, tetapi juga segar dan inspiratif. Tulisan seperti itu dikatakan mempunyai referensi yang banyak dan luas, dikarenakan penulisnya mempunyai berbagai bahan untuk dituliskan.
Seorang penulis jika digambarkan mustilah diibaratkan sebagai “bola”, bulat sempurna. Sehingga jika ia mampu menggelinding atau bergulir kemana saja. Artinya penulis harus mengetahui serba sedikit apa saja tentang pengetahuan di dunia ini, di samping pengetahuannya yang luas dan mendalam mengenai bidang keilmuannya, tentunya. Atau dengan kata lain seorang penulis mau tidak mau akan menjadi seorang yang “terpelajar”. Dan, ini dapat dikuasai dengan membaca ilmu yang dibidanginya dan banyak membaca dalam aneka ragam bidang.
Penulis harus peka
Dengan banyak membaca yang diasah terus-menerus, seseorang akan memiliki kekayaan bathin (hati) melebihi orang lain yang tidak mempunyai minat membaca. Orang yang mempunyai kekayaan bathin juga akan lebih peka dan kritis terhadap lingkungannya. Bagi orang yang mempunyai kekayaan bathin akan bisa melihat suatu peristiwa biasa sebagai suatu masalah besar, sangat asasi, dan sangat penting untuk dipersoalkan.
Dari banyak membaca, seseorang akan mempunyai cermin banding dalam hidupnya. Kemampuan berbahasanya akan berkembang lebih baik terus dan memiliki kosa kata melebihi rata-rata orang.
Pengalaman bathin, kepekaan terhadap lingkungan dan kekayaan bahasa adalah aset bagi seorang penulis yang akan digunakan dorongan atau motivasi untuk menulis. Segala peristiwa yang menyentuh, yang perlu dipertanyakan atau dipersoalkan, keganjilan, ketidakseimbangan dan sisi-sisi lain dari fenomena sosial yang terlihat oleh mata hatinya terekam kuat dalam sanubarinya.
Rekaman-rekaman yang tak sengaja itu suatu saat akan keluar setelah "pelatuk" nya ditarik oleh suatu sebab.
Banyak artikel bertemakan ketimpangan sosial berasal dari rekaman penulis, tentang ketidakpuasan terhadap kenyataan, anti kemapanan, dan sebagainya. Pengalaman ini bertebaran setiap hari, setiap saat penulis alami, tinggal penulis peduli apa tidak saja. Dan, sebenarnya untuk merekam obyek yang akan dijadikan bahan tulisan tidak usah jauh-jauh. Cukup mengamati hal yang menarik yang dialami penulis atau orang lain secara intens.
***
Tugas Latihan
Petunjuk umum dalam menjawab semua tugas latihan:
1. Tujuan pengerjaan tugas-tugas latihan adalah agar materi yang telah diajarkan lebih memberi atsar pada kalbu/pikiran. Lebih dari itu, hal itu juga melatih keterampilan “membaca” lalu menuangkannya ke dalam tulisan jawaban tugas latihan, tanpa melihat pada buku materi. Oleh sebab itu dianjurkan ketika menjawab;
a. Pertama membaca jawaban yang ada pada materi;
b. lalu menutup buku materi,
c. dan menjawab di buku tugas latihan sesuai yang dipahami dan diingat setelah membacanya.
2. Jangan malas menjawab tugas latihan dalam buku tugas latihan kalian, karena prosentase penilaian lebih besar di tugas-tugas latihan daripada nilai ujian akhir. Juga dikarenakan kurikulum ini lebih mengutamakan untuk mendapatkan keterampilan praktek daripada sekedar pengetahuan teori belaka.
3. Tata cara penulisan kata tidak boleh disingkat seperti; dsb, dll, dgn , yg, dan banyak lagi.
4. Hendaknya selalu diingat menulis kata di awal kalimat menggunakan huruf kapital / huruf besar seperti; A, K, B, dan sebagainya.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!
- Apakah yang dimaksud materi di atas dengan “tidak bisa mendengar”, “tidak bisa berbicara”, “tidak bisa membaca” dan “tidak bisa menulis”? Jelaskan dengan kalimat-kalimat yang singkat saja akan tetapi mudah dipahami!
- Jelaskan mengapa erat hubungannya antara mendengar dengan berbicara dan membaca dengan menulis!
- Mengapa membaca menjadi sarana utama dalam ketrampilan menulis?
- Jelaskan mengapa seorang penulis harus peka?
Posting Komentar untuk "#02 Gelagat Umum Menulis"