Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Bab #01 Water Closet

  1970. Aku mulai kisahku ini pada tahun itu, karena saat itulah tahun kilas balik cerita yang paling aku ingat ketika usiaku paling dekat dengan waktu kelahiranku. Sebelum itu tak ada yang aku ingat kecuali mendengarkan cerita dari kakak-kakakku. Kami tiga bersaudara. Aku bungsu, kakak-kakakku perempuan semua.

Baiklah, tak mengapa aku sedikit ceritakan apa yang aku dengar dari kakak-kakakku dahulu, sebelum aku mulai bercerita tahun 1970 itu. Itu semua membuat aku menjadi seorang penakut dan rendah diri. Aku dipindahkan dari alam rahim ibu ke alam dunia ini setahun sebelum terjadi pengkhianatan suatu organisasi massa (ormas) di negeriku. Mereka adalah orang-orang yang katanya malas dan dengki kepada orang-orang kaya, iri kepada orang-orang yang lebih beruntung dimudahkan rizkinya oleh Allah.

Setahun setelah aku lahir, meletuslah pemberontakan busuk itu. Negeriku bersimbah darah.

"Waktu itu, kita semua tinggal di Banjarmasin," kisah kakakku mbak Endi beberapa tahun yang lalu, mengingat masa-masa itu. Dan, aku tentu saja waktu itu baru berusia satu tahun. Usia ketika anak kecil baru mampu berjalan.

"Trus? Gimana kelanjutannya?" tanyaku penasaran.

"Ya, di masa itu Bapak, ditugaskan Dinas Transmigrasi, yaitu yang mengurus perpindahan penduduk dari Jawa ke Kalimantan. Kita tinggal di Banjarmasin. Begitu ada gerakan ormas tersebut, kita sekeluarga pindah kembali lagi ke Surabaya."

"Lho kenapa?" aku semakin penasaran dan miris membayangkan kekejaman ormas tersebut waktu itu. Bagaimana tidak miris? Konon tokoh-tokoh negara kita disayat-sayat dengan silet. Ada rasa dingin yang berdesir di tengkuk leherku. Bulu-bulu halus di kudukku bangkit semua. Aku mendesis.

"Tokoh departemen Transmigrasi pada waktu itu disinyalir tersangkut ikut dalam ormas sadis itu," jelas kakakku membuat aku semakin menggeligis.

"Sehingga, Bapak takut kenapa-kenapa terjadi pada dia dan keluarga kita, jadi balik lagi ke Surabaya saja dulu. Mana dulu waktu Bapak jadi mahasiswa khan aktif di organisasi politik." Lebih gamblang lagi kakakku membeberkan.

Satu tahun setelah kelahiranku, ternyata aku sudah mengalami hal-hal yang menakutkan. Mungkin, pada waktu itu aku belum mengerti, akan tetapi atmosfir negeriku yang bersimbah darah waktu itu tentu mempengaruhi perilaku keluargaku, yang akhirnya juga membawa imbas kepada perilakuku pula. Bau amis darah para korban kekejaman ormas tersebut rasa-rasanya masih tercium sampai saat ini. Aku bergidik.

Dan, akhirnya Bapak musti memendam jiwa petualangnya yang esok lusa akan mengalir deras dalam pembuluh darahku. Bapakku suka berpetualangan ke hutan-hutan Kalimantan. Pernah Bapak bercerita dalam tugasnya ke pedalaman Kalimantan, Bapak kemalaman. Bapak belum sampai di desa terdekat, terlanjur pekat gelap merambah. Untuk meneruskan perjalanan sangat riskan saat malam hari di dalam lebat dan buasnya rimba Kalimantan. Akhirnya Bapak menginap, tidur di atas pohon. Jika tidur di atas permukaan tanah, tentu takut diserang binatang buas. 

"Bapak dahulu ingin masuk ke kesatuan Tentara Nasional Indonesia yang tergabung dalam kesatuan PGT singkatan dari Pasukan Gerak Tjepat," kenang Bapak suatu ketika mengisahkan masa mudanya kepadaku. PGT bertranformasi menjadi RPKAD dan sekarang KOPASSUS.

"Ya, tahun 1970 kita sekeluarga akhirnya tinggal di rumah kepunyaan Mbah Putri. Rumah itu berada di gang becek daerah Magersari, dekat Balaikota Surabaya yang waktu itu bernama Kotapraja. Bapak tetap bekerja di Dinas Transmigrasi, tapi mungkin hanya bagian apalah yang gak penting banget. Kendaraan Bapak hanyalah sepeda ontel tua merek Gazelle, sepeda bekas Bapak waktu sekolah di Jogja," lanjut kakak mengingat masa-masa itu.

Nah, mulailah pada tahun itu aku berusaha mengingat sedikit-sedikit kejadian-kejadian dalam hidupku. Aku waktu itu telah sekolah di Taman Kanak Kanak dekat Balaikota, sedang kakak-kakakku telah sekolah di sekolah dasar.

Ada peristiwa pada rumah nenek kami yang aku ingat, semua tentang kamar mandi dan WC rumah itu. Dan, semua tentang ketakutan-ketakutan.

Pagi itu, di waktu anak-anak masih mencoba mengembalikan kesadarannya dari semalam suntuk mimpi-mimpinya, aku dan kakakku yang sulung Mbak Tinuk telah berjalan gontai dan patah-patah dari kamar tidur menuju kamar mandi. Kakakku yang satu lagi Mbak Endi menyusul kemudian. Itu biasa terjadi jika anak-anak bangun tidur, kandung kencing kami telah penuh air limbah yang mendesak-desak ingin keluar menuju dunia luar.

Rumah kami yang terletak di pinggir gang becek ini adalah rumah dua lantai. Wah, besar ya? Ya besar, hanya saja dalam satu rumah itu tinggallah dua keluarga. Satu keluarga di lantai bawah, dan satu keluarga di lantai atas. Di bawah keluarga kakak ibuku, yaitu bude, dan di atas keluargaku.

Akan tetapi sayangnya rumah tersebut memang seharusnya untuk satu keluarga, terbukti kamar mandi hanya satu ada di lantai bawah. Jadi, kami yang di lantai atas musti turun ke lantai bawah jika ingin mandi atau menuntaskan hajat kami. Setelah aku besar nanti dan ditaqdirkan mengecap pendidikan arsitektur, baru tahu bahwa kamar mandi adalah pusat suatu rumah dan kebutuhan yang sangat-sangat vital dalam suatu rumah tinggal. Wal hasil, adalah suatu kondisi yang cukup fatal jika suatu keluarga mempunyai kamar mandi yang sulit di akses atau pun secara jumlah yang hanya satu kurang memenuhi kebutuhan dengan banyaknya jumlah penghuni rumah. Padahal, terkadang kebutuhan tersebut dibutuhkan dalam keadaan "darurat". Belum lagi dalam suatu rumah ada berapa anggota keluarga, jika banyak maka akan terjadi antrean yang cukup panjang di waktu-waktu sibuk suatu kamar mandi. Kapan itu? Ya tentu saja di pagi hari.

Jelas sudah mengapa aku dan kakakku berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Tentu saja kami masih dalam keadaan kelopak mata kami masih terasa seperti ada lemnya. Sulit terbuka. Karena, Ibu dan Bapak memikirkan akan terjadi antrian panjang di depan kamar mandi ketika pagi menjelang. Keluarga Bude dengan anak-anaknya akan lebih dulu "indent" kamar mandi, karena mereka dari lantai bawah lebih mudah mengaksesnya. Maka, sebelum itu terjadi semua, Ibu dan Bapak segera membangunkan kami agar lebih dulu dapat menggunakan “pusat” rumah tinggal kami itu.

Aku lebih dahulu "loading" dari keadaan baru bangunku. Sehingga aku lebih cepat berjalan dari pada kakak-kakakku. Saling mendahului adalah perkara yang seru bagi anak-anak waktu itu. Entah apa alasan seusia anak-anak selalu berlomba dalam melakukan sesuatu. Dulu-duluan. Lalu, dengan gegas pula aku menuruni anak-anak tangga yang terbuat dari kayu. Anak tangga berderak-derak menyambut langkahku yang setengah berlari. Akhirnya sampailah aku di lantai bawah. Aku ingin tahu sampai manakah kakak-kakakku. Begitu kakiku menginjak lantai bawah rumah itu, aku palingkan wajahku ke belakang dan atas ke arah kakak-kakakku yang tertinggal jauh di belakang.

Apalah mau dikata, kakakku yang sulung Mbak Tinuk sudah di ujung tubir anak tangga paling atas. Masih limbung karena ngantuknya. Melangkah. Salah satu kakinya mulai turun ke anak tangga yang di bawahnya. Dia mengira telapak kakinya telah menjejak permukaan kayu anak tangga itu. Namun, ternyata permukaan itu masih jauh dari telapak kakinya yang mungil itu.

Dalam limbungnya kakakku terkejut. Terlambat. Badan kakak telah siap membebani kaki mungil itu yang masih melayang di udara. Badan yang masih anak-anak awal sekolah dasar itu luruh bersama kakinya ke permukaan anak tangga yang akan diinjaknya. Berdebam.

Ternyata taqdir tak sampai disitu saja. Anak-anak tangga bukanlah permukaan rata yang luas, kita telah tahu itu permukaan yang lebarnya hanya sejengkal dan semakin turun ke bawah. Seluruhnya sekitar dua puluh anak tangga, dengan total ketinggian dari lantai atas ke bawah dua kali tinggi manusia dewasa. Bahkan lebih untuk rumah zaman itu.

Badan kakak berputar, dan berguling mengikuti menurunnya anak-anak tangga berikutnya. Anak-anak tangga berderak-derak lebih keras dari pada ketika aku lewati. Kakakku yang kedua terperangah melihat dari atas. Dia belum melintas tangga. Aku terkesiap melihat dari bawah.

Mbak Tinuk akhirnya sampai di lantai dasar rumah bersamaan dengan berhentinya bergulingan badan kakak, aku tak mampu membayangkan apa yang dirasakan kakak. Babak belur, pasti.

Namun, setibanya di lantai dasar rumah, kakak bangun seakan tak merasakan apa yang baru saja dialami. Ya, tentu saja tak terasa apa-apa, karena kakak berguling di atas anak-anak tangga dalam keadaan setengah sadar dan setengah  tidak sadar, akibat baru bangun tidur. Sesampainya di lantai dasar itulah seolah-olah ia baru bangun tidur. Badannya pun tak ada yang luka, karena anak-anak tangga terbuat dari kayu yang masih ada lunak-lunaknya. Lain halnya jika terbuat dari beton atau ubin.

Bapak, Ibu menyusul melihat apa yang telah terjadi. Melihat Mbak Tinuk, Mbak Endi dan aku tenang-tenang saja, akhirnya lega. Mereka tidak melihat begitu hebohnya apa yang telah terjadi.

Masih tentang WC tersebut. Suatu saat ternyata septic tank tempat penampungan tinja WC tersebut telah melampaui batas volume tampungan. Sehingga limbah manusia tersebut enggan masuk ke dalam sarangnya, alias banjir. Bagaimanalah tidak banjir, rumah dua lantai dihuni oleh dua keluarga, masing-masing keluarga berjumlah paling sedikit lima anggota keluarga, maka minimal sepuluh orang akan berderet di “ruang tunggu” WC di pagi-pagi buta.

Aku tidak tahu bagaimana jalan keluarnya.

“Ayo Man, kita ke rumah Mbah Dadok.” selalu ajak Bapak, yang seolah-olah itulah satu-satunya jalan keluar agar masalah BAB (Buang Air Besar) itu segera terselesaikan masalahnya. WC banjir itu memang sering terjadi. Aku sendiri tidak habis pikir, apakah tidak ada jasa sedot WC?

Dengan sepeda ontel “Gazelle” nya, Bapak memboncengku menuju rumah mbah dari ibuku yang terletak di jalan Kapasari. Jarak tempuh dari Magersari ke Kapasari hanya memakan waktu selama kira-kira sama dengan ketika waktu kita sarapan pagi. Ya, dekat memang. 

Aku cukup bersyukur, karena aku termasuk anak yang sulit buang air besar, sering sembelit. Sehingga tak pernah ada kejadian materi limbah perutku keluar begitu saja dalam perjalanan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah tubuh di WC mbahku. Apalagi duduk di boncengan sepeda ontel yang terbuat dari besi, tentunya seolah-olah pantatku dipukul-pukul batangan-batangan besi itu, ketika kereta angin Bapak menjelajah jalan-jalan penuh lobang di gang sempit tempat rumahku berada. Semua itu terlupakan olehku, dikarenakan inilah alasan dan kesempatan bagiku untuk bergembira berkunjung ke rumah mbahku. 

Ketika aku telah dewasa nanti dan cukup umur untuk berpikir dan menganalisa kejadian tersebut, aku berpikir, mengapa keluargaku mencari penyelesaian terkait urusan limbah manusia ini jauh-jauh menuju rumah mbahku? Apakah di lingkungan Magersari tidak ada WC umum? Atau Toilet masjid terdekat? Tentu dengan memakai fasilitas umum tersebut lebih sederhana penyelesaiannya.

Ada apa dengan keluargaku? 

Semua ini bagai benang kusut yang akan terurai satu persatu yang akan jelas menjadi sebab dari seluruh kisah ini.

***


Belajar Cara Menulis Cerita Nyata
www.sketsarumah.com
www.sketsarumah.com Mendesain kebiasaan BELAJAR ilmu syar'i dengan MENULISkannya, diretas bersama teman setia kopi di studio sketsarumah.com.

Posting Komentar untuk "Bab #01 Water Closet"

Menjadi Penulis Terampil
Hanya dari kebiasaan menulis sederhana
Motivasi Menulis

Gimana nih! memulai menulis

Motivasi Menulis
Kejutan dulu,
lalu Keteraturan

Bahasa Indonesia
Belajar
tentang Kalimat

Motivasi Menulis

Merekam objek ide tulisan

Bahasa Indonesia
Belajar
Menulis Artikel

Bahasa Indonesia
Belajar
tentang Kata

Motivasi Menulis
Agar Menulis
tidak Lumpuh

Bahasa Indonesia
Belajar
Gaya Bahasa

menulis.sketsarumah.com
Seputar #sejarahislam #biografi #salafushshalih #caramenulis #deskripsi , #eksposisi , #artikel , #essay , #feature , #ceritanyata , #cerpen nonfiksi , #novel nonfiksi , #kisah inspiratif , #biografi inspiratif di studio www.sketsarumah.com.

Ikuti yuk!
Telegram: t.me/menulissketsarumah_com
Twitter: twitter.com/menulisketsarmh

Simpan yuk!
WhatsApp: wa.me/+6285100138746 dengan nama: www.sketsarumah.com