Bab #02 Kaleng Terbang
Siang itu, langit tak ada gumpalan-gumpalan kelabu mendung sama sekali. Awan-awan cumulus yang biasa berarak-arak membawa pertanda akan hujanpun tak bertandang. Angkasa bersih, biru meliputi permukaan horizon bumi Sidoarjo, tepatnya di lingkungan kampung jalan Kartini. Ya, sekarang aku telah berusia delapan tahun dan telah bersekolah di klas dua Sekolah Dasar Lely, Sidoarjo. Bapakku tetap bekerja di Departemen Transmigrasi yang berkantor di Surabaya, tetapi rumah kami pindah di Sidoarjo.
Pertengahan hari ini memang sangat cerah pertanda pergantian musim dari musim hujan menuju musim kemarau. Pergantian musim mengakibatkan udara dengan tekanan tinggi bergerak cepat, berkesiur ke arah dimana udara bertekanan renggang menerpa pohon mangga, pohon srikaya, pohon delima dan pohon-pohon pisang di halaman rumahku. Suaranya menderu-deru, stabil seolah-olah memanggil-manggil anak-anak untuk bermain.
Bermain apa?
Apalagi jika bukan bermain suatu benda berbentuk belah ketupat, terdiri dari kerangka bambu kecil yang lentur terhubungkan benang, dan ditempeli kertas minyak yang tipis seakan membran kulit sayap seekor kelelawar, siap terbang mengudara berenang di antara derasnya aliran udara musim pancaroba.Ya, sekarang memang waktunya musim layang-layang. Aku tahu itu, pasti seru!
Angin pergantian cuaca itu berdesir-desir menggoda adrenalinku untuk segera menuju lapangan bola di seberang rumahku. Tentu saja aku suka sekali bermain layang-layang, walaupun belum pernah.
“Mbak Las, aku ape main layangan yo!” aku minta persetujuan kepada sosok wanita gempal asisten rumah tangga keluargaku yang berasal dari kampung Lawang. Aku lupa nama lengkapnya, mungkin Lasmi.
Bukannya apa-apa, Mbak Las ini telah diwanti-wanti bapak dan ibuku agar selalu mengawasi aku ketika di rumah.
Bapak setiap hari berangkat ke kantor Departemen Transmigrasi di kota Surabaya yang berjarak berkisar tiga perempat jam dengan berkendaraan sepeda motor. Dengan sepeda motor besar Puch, bapak membonceng ibu ke kota Pahlawan tersebut. Ibuku ikut, karena berdagang kain untuk menambah nafkah kami sekeluarga. Bapak dan ibu berangkat pagi-pagi sebelum jam kantor dimulai, kemudian pulang terkadang sampai rumah ketika sinar matahari telah tak berbekas sama sekali. Sehingga memang kakakku yang dua dan aku dititipkan kepada Mbak Las dengan pesan pengawasan yang ketat. Aku tak boleh banyak keluar rumah, sehingga di Sidoarjo tepatnya di lingkungan jalan Kartini tempat rumah keluargaku berada aku tidak punya teman bermain. Tak kenal tetangga.
Agar aku betah di rumah, terkadang Bapak menyewakan buku-buku bacaan komik, yaitu bacaan anak-anak bergambar. Atau kalaupun boleh bermain diluar hanya diperbolehkan bermain di halaman rumah saja. Halaman rumahku cukup luas. Di depan ada semacam hamparan rumput kira-kira seluas dua kamar tidur. Di kanan dan belakang rumahku berupa kebun pisang, sedangkan di kiri rumah adalah berupa hamparan kerikil yang menjadi jalan menuju garasi yang kosong tanpa mobil. Dan, memang keluargaku tak punya mobil. Maka, kita akan tahu bahwa memang rumah itu bukanlah milik pribadi keluargaku, akan tetapi rumah yang disewa kontrak oleh Bapak.
Akan tetapi, untuk bermain layang-layang tentu halaman rumah seluas itu tidaklah cukup. Ya, lapangan bola di seberang jalan adalah satu-satunya pilihan terdekat.
Mendengar permintaanku untuk bermain layang-layang, Mbak Las tentu tak begitu saja melepaskan diriku untuk keluar rumah menuju lapangan bola, tetapi Mbak Las musti ikut ke lapangan bola demi pesan-pesan bapak dan ibuku kepadanya untuk mengawasi diriku secara ketat.
“Kita melok nang lapangan yuk, Mbak!” ajak kakakku nomor dua Mbak Endi kepada kakakku sulung Mbak Tinuk, cepat sekali ide itu muncul, ”kita bisa melanjutkan belajar naik sepeda Mbak.” melengkapi ajakannya, dengan usul briliannya.
“Ayuuk!” gak pakai lama Mbak Tinuk menyetujui dengan raut muka menyala-nyala, sepakat. Apalagi sebelumnya Mbak Endi dan Mbak Tinuk pernah latihan naik sepeda di jalan depan rumah, tetapi masih belum berhasil, bahkan waktu itu hampir saja masuk ke selokan besar di depan rumah.
Maka, berangkatlah kami berempat menuju lapangan bola seberang jalan rumah. Sebetulnya lapangan bola itu tidak tepat di seberang jalan, akan tetapi agak ke sebelah kanan rumahku. Tepatnya di seberang kuburan yang terletak di sebelah kanan rumahku.
Lapangan bola itu, sangat luas. Tanaman rumput membentang sejauh mata memandang. Rasa-rasanya lapangan itu lebih luas dari pada lapangan bola pada umumnya. Sering ada pasar malam dan hiburan bagi rakyat yang mempergunakan lapangan tersebut untuk menggelar acara-acaranya. Ada panggung Ludruk semacam kesenian lawak khas Jawa Timur, ada Tong Setan yaitu atraksi naik sepeda atau sepeda motor dalam suatu sumur buatan seluas rumah, ada permainan naik komedi putar, kios-kios makanan dan minuman, kios-kios yangberjualan beraneka barang seperti pakaian, mainan dan banyak lagi.
Lho! Kok jadi ngelantur. Baik kita kembali ke cerita bermain layang-layang.
Sesampainya di tengah-tengah lapangan, Mbak Endi dan Mbak Tinuk langsung mencoba latihan menaiki sepeda jengki yang dibelikan Bapak. Agak sulit juga menaiki sepeda itu, disamping tempat duduk sepeda hampir setinggi dada-dada kakakku, pun di lapangan bola yang berumput, dikarenakan rumput-rumput tersebut terkadang telah tumbuh tinggi setinggi di atas mata kaki. Sehingga rerumputan tersebut menghambat lajunya sepeda. Kakak-kakakku bergantian, jika Mbak Endi menggenjot sepeda, Mbak Tinuk yang memegang bagian belakang sepeda agar tidak jatuh, begitu pula sebaliknya.
Akupun segera mengeluarkan seperangkat mainan layanganku yang dibelikan juga oleh Bapak. Layangan, benang dan kaleng gulungan benang. Angin sedang kencang-kencangnya menderu-deru. Asyik, jelas-jelas pasti seru.
Mulailah aku berusaha menaikkan layanganku dengan mengulurnya lebih dahulu benangnya, dan menarik-narik ke arah atas.
Mbak Las dengan takzim memperhatikan aku sambil duduk tidak begitu jauh dariku. Karena hanya itulah tugasnya.
Agak jauh dari tempatku bermain layangan, aku kadang melirik sambil sibuk dengan layanganku. Terlihat kakak-kakakku melanjutkan belajar naik sepeda mereka. Tetapi apalah mau dikata, rumput-rumput menghambat lancarnya kegiatan belajar naik sepeda itu. Genjot sebentar, jatuh, bangun genjot, jatuh lagi. Namun itu seru juga. Mereka tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
Melihat itu, Mbak Las pun ikut tertawa dari kejauhan, dari tempat duduknya tak jauh dariku. Karena bosan hanya duduk, akhirnya Mbak Las pun tergoda ingin ikut belajar naik sepeda pula, karena keseruan tersebut. Mbak Las sepertinya juga belum bisa naik sepeda. Segera ia beranjak dari tempat duduknya menuju mendekati kakak-kakakku. Dan, sepertinya meninggalkanku bermain layangan akan baik-baik saja.
Akupun tak masalah ditinggal Mbak Las, aku bermain sendiri tak ada yang musti dikhawatirkan. Lagi pula apalah menariknya bermain layangan bagi Mbak Las yang seorang perempuan. Tentu lebih menarik permainan belajar naik sepeda. Akupun terus berusaha menarik-narik benang layanganku, begitu agak tinggi posisi layangan, maka aku ulur benangnya. Setelah merendah aku tarik-tarik kembali benang layangan sehingga layangan naik kembali, begitu seterusnya. Ternyata layanganku begitu mudahnya mengudara, walaupun aku baru pertamakali menerbangkan layangan. Tentu saja mudah, karena kondisi perbedaan tekanan udara antar daerah sedang ekstrim-ekstrimnya yang mengakibatkan laju angin musim pancaroba sedang pol-polnya.
Sesekali aku menoleh, melihat ke arah Mbak Las, Mbak Endi dan Mbak Tinuk yang sedang bergantian belajar naik sepeda. Sepertinya mereka tambah seru. Walaupun suara mereka tak terdengar olehku karena posisi mereka jauh, tetapi jelas terlihat olehku tindakan mereka seperti berteriak-teriak, terpingkal-pingkal kembali jika salah satu dari mereka jatuh dari sepeda. Ya, jatuh di tebalnya rumput tentu bagaikan jatuh di atas hamparan kasur empuk, tidak sakit, dan heboh sekali.
Layanganku semakin tinggi menjejak langit dihisap angkasa. Aku ulur benang semakin panjang, semakin tinggi membumbung ke kaki langit. Terlihat benang yang menjulang ke langit melengkung ke bawah. Tarikan pada benang, semakin tinggi layangan semakin berat. Sang angin musim pancaroba sangat deras mengalir.
Aku menoleh sekali lagi ke arah kakak-kakakku dan Mbak Las.
Ketika aku dewasa nanti, aku sangat akrab dengan yang namanya alam. Ketika aku seusia belasan tahun aku sangat dekat dengan laut dan kegiatan berenang, sehingga boleh jadi aku dijuluki “anak laut”, yaitu saat kami sekeluarga pindah tempat tinggal di Sumatra, tepatnya di kota pesisir pantai, kota Bengkulu.
Ketika aku berusia di atas dua puluh tahunan akupun akrab dengan yang namanya angin dan terbang. Mengapa? Karena aku bergabung dengan kelompok atlit layang gantung “hang gliding” Gantolle di ibukota. Maka sangat pantas pula aku menyandang gelar “anak angin”. Dan, waktu itu nantinya aku baru tahu bahwa semakin tinggi posisi kita terhadap permukaan bumi, angin akan semakin deras dan kencang kecepatannya. Hal tersebut dikarenakan di atas sana semakin sedikit adanya benda-benda seperti pepohonan, rumah-rumah, dan benda-benda lain yang menghambat lajunya angin.
Namun, bagaimanalah aku yang sekarang sedang asyik bermain layang-layang tentu belum tahu, dan inilah yang akan terjadi pada layanganku.
Ternyata, aku pun ikut merasa tertarik dengan keseruan belajar naik sepeda itu, walaupun aku tahu belum bisa menggunakan sepeda itu. Jelas-jelas tinggi tempat duduk sepeda jengki itu hampir sama dengan tinggi badanku. Sulit bagi pantatku untuk menggapai tempat duduk sepeda itu. Namun, apa salahnya aku mendekat ikut bergembira seru dan heboh bersama kakak-kakakku dan Mbak Las. Disini aku sendirian, enggak rame enggak ada teman. Aku ada ide, mungkin layangan telah stabil dan manteng bisa aku tinggal untuk beberapa saat, akan beres-beres saja.
Sejenak kemudian aku taruh kaleng gulungan benang layanganku, sembari aku palingkan wajahku ke arah kakak-kakakku berada dan bersiap menuju kesana.
Tetapi, tunggu dulu! Seperti ada yang janggal. Aku tak mendengar bunyi kaleng gulungan benang jatuh tergeletak di atas rerumputan. Aku berpaling melihat kaleng itu.
Eh! Mengapa kaleng gulungan benang tak bisa tergeletak di atas rerumputan lapangan bola? Masih menggantung di awang-awang setinggi perutku.
Hah! Aku lebih terkejut lagi, kaleng itu melayang bergerak maju menjauhi aku searah dengan arah arus angin. Apa yang terjadi? Aku panik.
“MBAK LAASS!” teriakku spontan dan langsung menoleh ke arah kakak-kakakku berada.
Mbak Las dan kakak-kakakku terperanjat, semua menoleh ke arahku. Ada apa?
Aku kembali menatap kaleng itu, kaleng itu semakin lama bergerak semakin cepat, dan bahkan membuatku lebih terkejut lagi, kaleng itu selain semakin cepat menjauhiku ia mulai bergerak juga semakin tinggi menjauhi permukaan hamparan rumput lapangan bola.
“MBAK LAAASSS!” pekikku kembali, begitu kalang kabutnya aku tak tahu ingin bicara apa. Terlambat. Aku telah kasip menyadari apa yang sedang terjadi, dan akupun masih kecil tidak mengerti apa yang sedang berlangsung. Yang jelas, kaleng itu sedang menjauh dan menjauhiku, seolah ingin melarikan dirinya.
Akupun serta merta mengejar dan meluru kaleng gulungan benang itu.
“DIMAAANN! ONOK OPO?!!” teriak Mbak Las rusuh. Ya, jelas kalut, dialah sosok yang selalu diwanti-wanti bapak dan ibuku untuk menjagaku. Tentu cemas jika terjadi apa-apa pada diriku.
Begitu Mbak Las dan kakak-kakakku melihat kaleng gulungan benang itu seolah-olah terbang ingin menyusul layangannya dan aku lari mengejarnya, mereka yang lebih dewasa dengan nalarnya langsung mengerti apa yang sedang terjadi, mereka langsung meninggalkan sepedanya begitu saja dan digeletakkan di atas rerumputan, ikut mengejar beramai-ramai “kaleng terbang” itu.
Dan, memang gulungan benang itu telah habis, telah sampai pada ujung akhir benang terikat pada kaleng itu. Tentu saja terbawa bersama benang dan layangannya. Karena, jika panjang benang masih tersisa, maka kaleng itu akan kontan jatuh di atas rumput, dan benang akan terentang terus tertarik layangan bersama aliran angin. Ini tidak, kaleng seolah tergantung di udara, melayang dan terbang.
Namun apalah mau dikata, kecepatan kaleng terbang itu semakin cepat dan semakin tinggi seiring dengan arus angin yang makin deras di atas sana karena layanganku telah mencapai ketinggian maksimal dari seluruh panjang benang. Tak ada penghalang angin saat posisi semakin tinggi.
Aku berusaha menaklukkan kaki-kakiku agar tetap mengejar, Mbak Las dan kakak-kakakku pun terus meluru. Sia-sia. Kaleng terbang semakin kecil dalam pandangan kami.
Saat di ujung nafas yang sesak meminta udara, akhirnya kami semua berhenti, dengan nafas memburu, membuat udara berebut masuk ke dalam hidung-hidung kami akibat paru-paru kami memaksa membutuhkan udara itu. Ngos-ngosan.
Kami memandangi kaleng terbang itu berangkat mengudara, bagaikan kami melepas kepergian yang kami sayangi dalam suasana perpisahan yang sangat mendadak.
Layanganku pun ikut digondol angin, seolah mencibir kami semua bahwa ia sekarang bebas bersama benang dan kaleng gulungannya.
Mulut-mulut kami ternganga. Terpana.
***
Gulita pekat telah menyelubungi lingkungan pemukiman jalan Kartini. Aku, kakak-kakakku dan Mbak Las duduk mengitari meja makan. Di hadapan kami, di atas meja makan terbuka buku-buku pelajaran untuk esok hari yang kami pelajari di sekolah. Kecuali di hadapan Mbak Las tak ada satu bukupun. Mbak Las dengan khidmat memperhatikan kami yang sedang belajar. Sungguh asisten rumah kami yang sangat setia selalu menemani kami. Ada segaris raut kecemasan pada wajah Mbak Las.
Lampu yang mbleret kriyep-kriyep dan dengungan nyamuk mengawal kegiatan belajar. Derik jangkrik dan sesekali gonggong anjing tetangga melengking membuat bulu kuduk terjaga. Bapak dan ibu belum datang dari pekerjaannya di Surabaya, mungkin sedang dalam perjalanan pulang, entah sampai dimana.
Suasana seperti ini telah menjadi terbiasa bagi kami berempat. Rumahku memang dilingkupi area perkuburan, di sebelah kanan dan belakang. Pekuburan itu terletak antara halaman rumah yang berupa kebun pisang hanya berbatasan dengan pagar tembok setinggi orang dewasa. Ada pohon beringin yang sangat besar di pinggir jalan depan perkuburan itu. Tentu saja, jika malam telah mengungkung kampung, hal tersebut memberi atmosfir yang membuat merinding. Seram dan menggetarkan jantung.
Terbiasanya situasi yang seperti itu membuat diriku bukannya menjadi seorang pemberani, akan tetapi malahan sebaliknya membentuk aku menjadi seorang penakut yang amat sangat. Setiap hari didera suasana menakutkan, menjadi semacam teror dalam jiwaku. Apalagi bersama kakak-kakak dan Mbak Las yang semuanya perempuan yang secara alamiah bukan mempunyai sifat pemberani. Sebagai anak kecil, tentu sifat-sifat itu menular padaku, disamping aku sendiri adalah anak laki-laki sendiri dalam keluargaku. Tak punya teman saudara sesama lelaki yang akan saling mendukung dan menumbuhkan sifat pemberani. Setiap malam, aku selalu ingin tidur lebih dahulu dari yang lain. Karena jika yang lain telah terlelap, maka aku menemukan diriku dalam keadaan sendiri di tengah sunyinya malam dan suara anjing melolong-lolong. Sungguh hal itu akan membuat mataku terjaga sampai selesai matahari dari peristirahatannya.
Dan lagi pula, karena atas kejadian tadi siang di lapangan bola, aku ingin lebih cepat lagi memejamkan mata, melupakan semuanya. Telah terbayang bagaimana murkanya bapak dan ibuku atas kepergian seperangkat layanganku tanpa pesan. Mungkin yang paling terkena semprotan kemarahan adalah Mbak Las, akan tetapi tidak menutup kemungkinan semua akan menerima ceramahan bapak dan ibu kami, termasuk aku juga. Bapak dan ibu terkadang sampai di rumah sudah larut malam ketika kami sudah pulas di atas kasur-kasur kami. Lebih-lebih terkait peristiwa tadi siang, harapanku bapak dan ibu tidak usah pulang saja. Mana mungkin.
Ketika aku telah dewasa dan pikir-pikir kembali, sebab musabab yang mendasar dari lepasnya layanganku, adalah ketidaktahuan aku terhadap sifat dan karakter layangan itu sendiri. Penting bagi kita untuk mengetahui karakter sesuatu sebelum lebih lanjut bermain-main dengan sesuatu itu. Untuk mengetahui sesuatu, ya harus dipelajari dahulu. Kata ulama, bahwa ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Mengetahui sesuatu bisa dari membaca buku, atau bertanya pada seseorang yang mengetahui hal tersebut. Membaca buku tentang layangan? Mana ada, waktu itu. Yang mboten-mboten saja.
Satu-satunya jalan adalah bertanya atau mengetahui dari orang atau anak lain yang telah berpengalaman bermain layang-layang. Kata orang bijak, jika kita ingin cepat mengetahui dan mendapatkan ketrampilan atau keahlian terhadap sesuatu, maka hendaknya kita berada atau berkumpul dengan orang-orang yang mempunyai kesukaan dan kecenderungan bersama. Dengan kondisi seperti itu ketrampilan kita akan seolah-olah “bersayap”, melesat cepat bisa.
Sungguh kondisiku sangat bertentangan dengan hal di atas. Aku ingin mahir bermain layangan, sedangkan aku bermain bersama dengan Mbak Las dan kakak-kakakku yang semuanya perempuan, manalah ada yang bisa saling berbagi. Malahan mereka asyik bermain belajar naik sepeda. Nasib.
Lantas, apakah aku tidak punya teman-teman laki-laki yang bisa diajak bermain layang-layang bersama di lingkungan kampungku di sekitar jalan Kartini? Aku juga heran, mengapa aku tidak punya teman bermain sesama anak laki-laki di lingkunganku?
Aduh, aku kok jadi bingung begini? Tentu saja bingung karena aku masih berusia seusia klas 2 SD, belum mampu mencari sebab-sebab mengapa aku tidak punya teman sebaya di lingkungan rumahku.
Daripada bingung dan pusing memikirkan yang aku tak mampu memikirkannya, mending aku segera tidur saja. Maka, tak perlu berpikir dua kali, sebelum bapak dan ibuku datang dengan segala kemurkaannya, akupun berangkat menuju peraduan.
***
Posting Komentar untuk "Bab #02 Kaleng Terbang"