Keseimbangan antara Keteraturan dan Keterkejutan dalam menulis
Aku tak tahu, telah berapa banyak teman yang sejak dahulu bertanya kepadaku tentang persoalan itu-itu saja, "Bagaimana kita memulai menulis?"
Sebagian besar mereka telah dibayang-bayangi ketakutan yang itu hanya semacam fatamorgana, bahkan ketika belum memulai apapun.
Bayangan apa kiranya yang bisa mengganggu atau mengurungkan niat seseorang menulis?
Sejauh yang aku bisa perkirakan, bayangan itu ada dua macam:
- Pertama, rasa takut pesannya tak sampai atau dipahami ke pembaca.
- Kedua, rasa takut yang timbul karena khawatir tak dapat mengaplikasikan kaidah bahasa Indonesia yang benar dan baik.
Tampaknya para calon penulis lupa bahwa di dalam berbahasa kita, pertama-tama mengandalkan intuisi dan nalar, bukan tata bahasa, kosa kata, dan segala aturannya. Ini adalah fakta yang mudah kita temukan dalam dunia kepenulisan sehari-hari. Padahal, kebanyakan pembaca tidak terlampau peduli terhadap pelaksanaan kaidah bahasa dalam sebuah tulisan. Tidak penting apakah tertulis objek atau obyek, Bandung Selatan atau Bandung selatan, kakitangan atau kaki-tangan atau kaki tangan, mengreaktifkan atau mengereaktifkan atau mengkreatifkan.
Di sisi yang berseberangan, lebih mudah dijumpai penulis yang menafikkan norma, kaidah, atau aturan bahasa. Dan penulis model seperti ini biasanya berdalih, itulah penulis seharusnya lakukan, tak perlu memikirkan aturan bahasa. Dalam hal ini, konsep itu "malah menjadi tempat banyak penulis bersembunyi dan mencari pembenaran". Setiap wacana tulisan punya tuntutan dan permasalahan sendiri-sendiri. Namun, di dalam menulis baik prosa maupun puisi, mestinya berangkat dari sikap yang sama, yaitu sikap di dalam memandang bahasa sebagai unit paling penting yang membangun kedua wacana tersebut.
Semua hal remeh temeh tersebut bagi penulis jenis ini anggap sangat tidak sebanding dengan pesan yang hendak disampaikan. Sikap longgar seperti inilah yang pada gilirannya menyuburkan kebiasaan buruk tidak peduli di kalangan para penulis seperti itu. Maka lahirlah kaidah "yang penting pembaca mengerti".
Mudah-mudahan menjadi semakin jelaslah tak ada alasan kita memandang kaidah bahasa lebih sebagai momok ataupun pedoman yang memberi kejelasan. Dua hal tersebut sama pentingnya.
Akhirnya, kita katakan bahwa semua hal di atas, tentang kaidah bahasa sebagai hantu yang membayang-bayangi, boleh dibilang sudah bukan masanya lagi. Sebetulnya telah kian banyak penulis yang tak lagi menemui masalah berarti dalam menulis, terkait berbahasa. Bahasa hanya mengemban fungsi lebih dari sekadar medium komunikasi. Di posisi yang lain mustilah diketahui bahwa bahasa adalah simbol identitas kita, kaum terpelajar. Di poin inilah semua "penulis" tak mungkin tak memandang penting kaidah atau aturan di dalam berbahasa.
Posting Komentar untuk " Keseimbangan antara Keteraturan dan Keterkejutan dalam menulis"