Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#21 Artikel, Ide Sendiri

         Sekaranglah saatnya kita membuat Artikel dari ide sendiri, setelah kita telah mampu membuat sebuah Eksposisi dan melihat suatu contoh Artikel “Selembar Kertas Menyesatkan”. Kita ulangi lagi penyampaian ini, untuk mengingat,

“Sebetulnya gampang kok membuat Artikel. Kita membuat Eksposisi sudah mampu, yang penting asalkan alat-alat bantunya sudah tersedia dan kita kumpulkan. Pertama memang berserakan, kemudian kita rangkai, lalu kita baca kembali dan apabila terasa kurang pas atau tidak sesuai dengan materi-materi yang telah kita tetapkan, tinggal kita bongkar-pasang, 'Ceplug, ceplug...' " 

          Nah, ayo kita akan membuat Artikel dari Eksposisi yang telah kita buat sebelumnya, dalam hal ini Eksposisi “Rumah Minimalis, Tren Arsitektur Rumah Anda


          Beberapa petunjuk untuk pembuatan Artikel, sebagai pengingat:

  • Jangan lupa menambahkan Lead pada awal pertamakali tulisan Artikel. Dan, ini nanti-nanti saja tak mengapa. Setelah selesai seluruh Artikel. Karena, Lead inilah yang menjadi umpan agar pembaca membaca Artikel sampai selesai. Jadi, kita musti cari Lead yang betul-betul menarik, walaupun menemukannya di akhir waktu setelah rampung Artikelnya.
  • Alat-alat bantu dialog sebagai Fakta menjadi sisipan-sisipan yang utama menjadi keharusan untuk membedakan Artikel dari Eksposisi.
  • Sengatan di akhir Artikel pun menjadi ciri utama bentuk tulisan Artikel. Bisa hal-hal yang pembaca tidak menyangka namun terkait tema tulisan, bahkan hal nyinyir pun, itu bagus.

Rumah Minimalis, Tren Arsitektur Rumah Anda?

"Orang yang membebek meskipun dia memiliki pandangan mata yang sehat, namun mata hatinya dia buta dan telinganya pun tuli untuk mendengarkan kebenaran."

          Aku senantiasa bertanya kepada klien-klienku, sebelum memulai mendesain rumah-rumah mereka. 

         Jika ia seorang bapak-bapak, "Mohon maaf, jika boleh tahu, kira-kira bapak berkenan suka dengan model gaya rumah yang seperti apa?"

         “Apa ya? Minimalis mungkin...,'” terkadang ia menjawab agak takut dan malu-malu.

          Di kesempatan lain, klien seorang dokter yang aku tanya tentang desain rumah sakitnya.

         “Minimalis...dong!” ia menjawab lebih yakin.

          Suatu saat, pertanyaan yang sama kepada klien orang Banyumas.

          “Minimalis ....”

          Aku bertanya untuk ke sekian kalinya pada klien orang Kuningan.

          “Minimalis ...”

          Di waktu lain, aku tanyakan lagi kepada seorang klien pedagang batik.

          “Minimalis.”

          Lagi-lagi minimalis, lagi-lagi minimalis, sampai jemu aku mendengarnya. Ada virus apa ini? Virus Minimalis merebak, merasuk ke dalam benak-benak pemilik rumah. Impor virus dari negeri antah berantah. Mengapa harus minimalis? Sepertinya kok hanya ikut-ikutan, latah.

         Suatu masa, aku berdiskusi dengan seorang guru. Guru itu memberikan suatu nilai-nilai yang sangat berharga. Dia memberi wejangan, “Kamu tahu gak, seluruh permasalahan dalam kehidupan ini bisa ditimbang dalam tiga perkara tingkatan?” 

          “Apa itu wahai Guru?” tanyaku menyambar segera, khawatir jawaban Guru mendahului. Pertanyaan retoris tentunya.

          “Pertama, tingkatan paling atas adalah: benar. Tingkatan kedua adalah: baik. Dan yang terakhir, ketiga adalah: indah,” papar Guru kepadaku yang masih bengong, pencernaan pikiranku berusaha bekerja keras.

          Berhari-hari aku memusatkan pikiranku tentang hal itu. Ketika akan tidur, waktu terjaga dari tidur, bila ngopi dini hari, jika kerja-bakti tugas-tugas rumahan istri, saat di jalan lintasan target ke kantor, dan akhirnya hal itu aku mencoba untuk bisa disusupkan melesak ke dalam ilmu arsitektur rumah yang selama ini aku terapkan sebagai alat dalam bekerja kreatif sebagai seorang arsitek. Aku yakin inilah “protokol kesehatan” yang musti dijalankan demi menangkal, menghadang virus minimalis.

          Pertama, tingkatan pada kata: benar. Rumah yang benar sejatinya telah kita pelajari di masa kita sejak taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Tidak hanya satu kali kita dengar guru kita bicara, “Rumah adalah tempat berlindung dari panas dan hujan”. 

          Komponen rumah apakah yang melindungi panas dan hujan? 

          Bahkan, kata “arsitektur” itu sendiri dalam bahasa Inggris adalah: “architecture”, jika kita penggal dan ambil kata depannya yaitu:”arc” berarti “busur” atau “lengkungan”. Lengkungan apa? Tidak lain dan tidak bukan adalah lengkungan atap yang bersemayam pada bagian paling atas bangunan rumah. Untuk apakah atap ini? Kita tentu telah tahu jawabannya, seperti yang telah diajarkan kepada kita ketika kecil, bukan?

          Ini pengalaman nyata. Suatu ketika, aku mengawasi pembangunan rumahku sendiri di suatu kota kabupaten, Jawa Tengah. Setelah jadi dan selesai rumah tersebut, kok ya o, bertepatan dengan musim hujan di penghujung tahun. Apa yang terjadi? Rumah yang baru jadi tersebut, ternyata banyak terjadi kebocoran pada atapnya disana-sini. Mungkin sang tukang tidak ahli pasang gentengnya. Dengar-dengar dari beberapa tukang lainnya, “Itu pasti pasang reng-nya tidak dibenang, mungkin hanya di-mal.” 

          Mal adalah suatu alat yang dibuat oleh tukang sendiri, entah dari kayu atau bambu untuk mengukur jarak antar reng, agar jaraknya tetap sama. Namun, tukang yang rajin, tekun dan ahli akan menambah ukuran dengan alat bantu benang yang ditarik dari ujung ke ujung agar genteng terpasang rapi dan akurat sehingga tidak terjadi kebocoran ketika musim hujan.

          “Mas, tolong dibetulkan atap rumahku, mungkin mas pasang reng atapnya kurang presisi. Dibenang po ra?” sergahku melalui SMS handphone kepada tukang yang telah mengerjakan rumahku waktu itu. 

          Ternyata mas tukang tidak kunjung datang untuk memperbaiki.

          “Mas, gimana sih kok tidak segera dibetulkan atap rumahku? Kalau yang kurang bagus itu cuma kusen miring atau acian tembok yang kurang halus atau cat yang kurang rapi bagiku tidak mengapa! Ini masalah atap. Masalah yang sangat prinsip. Bangunan rumah ini salah, sudah tidak benar lagi. Bagaimana rumah bisa untuk berlindung dari panas matahari dan hujan jika bocor?” SMSku berikutnya seperti berondongan senjata mitraliyur. Muntab bukan buatan aku.

          Untuk menopang atap, tentu dibutuhkan konstruksi dan tiang-tiang yang kuat. Ini juga bagian untuk menerapkan nilai benar dalam bangunan rumah. Sampai-sampai pernah aku minta pada mitra pembangun rumah yang aku desain di Jogja, “Pak tolong difoto ya, ketika membuat pondasi, dan foto juga besi-besi betonnya, sehingga terlihat ukuran dimensi diameter besi betonnya untuk ditunjukkan kepada klien. Agar klien tahu bahwa kita membangun rumah telah memenuhi syarat tingkatan nilai: benar.”

Tambahan pula, bila desain ruang-ruangnya secara fungsional tidak sesuai dengan aktifitas penghuninya. Sehingga, akan terjadi kekacauan dalam mengatur tata-ruangnya. Perabotan tidak terorganisir. Ingin mencari sesuatu yang dibutuhkan di dalam rumah musti muter-muter menghabiskan waktu. Sangat tidak efektif dan efisien. Belum lagi, jika anggota keluarga berjumlah banyak, pagi-pagi akan terjadi keruwetan, dikarenakan seluruh anggota keluarga akan memulai kegiatan hari itu. Serentak mereka akan menggunakan kamar mandi di pagi hari. Apa musti antri? Wah, wah ribet!

          Sekarang, kita lihat nilai timbangan derajat yang kedua: baik. Begitu pula, rumah yang indah disamping rumah itu sendiri kuat, rumah juga membuat kuat penghuninya. Maksudnya bagaimana? Ya, membuat sehat dan nyaman yang tinggal di dalamnya. Bila tidak memikirkan bagaimana orientasi bangunan rumah terhadap sinar matahari pagi yang menyehatkan. Ujung-ujungnya rumah lembap, anggota keluarga kekurangan vitamin D yang didapat dari cahaya matahari. Apalagi kita dihadapkan dengan kondisi wabah penyakit Covid-19 yang berkepanjangan entah sampai kapan, kebutuhan sinar matahari agar rumah sehat untuk penghuninya saat sekarang sangat-sangat darurat dibutuhkan. Belum lagi, kurangnya cahaya matahari membuat adanya penggunaan cahaya buatan dari listrik yang bikin pulsa meteran listrik lebih cepat pengisiannya. Bentuk rumah sih gayanya minimalis, apakah penghuni merasa puas dengan kondisi-kondisi seperti ini?

  Pernah pada suatu waktu, seorang klien berasal dari Purbalingga menginginkan jendela-jendela kaca yang lebar-lebar pada dinding area tangga, sehingga dapat memandang keluar ke arah taman belakang sambil berjalan pada tangga tersebut. Memang, pengalaman bergerak secara vertikal akan menimbulkan pengalaman yang mengasyikkan ketika bersamaan itu melempar pandangan ke hijaunya ruang terbuka yang berada di luar. Jendela-jendela yang demikian, adalah meniru-niru rumah-ruamah modern yang ada di negeri sana. Akupun melontarkan alasan pada klien tersebut, “Jendela kaca yang lebar seperti itu kurang cocok dengan bangunan rumah di Indonesia yang beriklim tropis basah, karena menyebabkan terlalu banyak radiasi panas matahari yang masuk, tentu membuat tidak nyaman, dan bila hujan pun air hujan banyak yang tampias menuju jendela-jendela kaca tersebut.”

  “Pokoke bagaimanalah caranya, bapak khan arsitek tentu tahu antisipasinya untuk hal-hal seperti itu, yang jelas bagaimana fungsi tersebut terwujud,” keukeuh dengan kemauannya klien tersebut akan hal itu.

  Akhirnya jendela-jendela kaca itu aku modifikasi dipadu dengan teritisan-teritisan beton. Atau terkadang aku padukan juga dengan semacam mosaik besi-besi teralis artistik untuk merambatnya tanaman jenis rambatan di depan kaca-kaca jendela sebagai peredam radiasi panasnya matahari, lebih-lebih lagi jika jendela-jendela itu menghadap ke barat. Sinar matahari barat di siang hari sangatlah terik. Terkadang pula aku integrasikan juga dengan lobang-lobang ventilasi udara dengan susunan artistik untuk mengalirkan udara ke dalam ruangan, agar tidak terasa panas atau “sumuk” karena kelembapan udara yang tinggi di alam tropis basah Nusantara.

          Prinsip yang ketiga: indah. Rumah dengan estetika bentuk yang tidak neko-neko, juga bisa dikatakan indah yang sebenarnya. Telah cantik walaupun tanpa ornamen-ornamen yang tidak perlu. Ungkapan “form follow function” dan “less is more” adalah yang mendasari suatu bentuk yang cerdas. Sesuatu yang bermanfaat, tidak sia-sia atau mubadzir. Kecantikan rumah akan terpancar dari dalam, bukan cantik polesan. Bukan make up kepalsuan, yang sejatinya di dalamnya kering dan keropos akan konsep. Segala sesuatu yang bermanfaat tentu akan lebih abadi. Ambillah pelajaran dari suatu fungsi dalam rumah yaitu: pintu. Bagaimana jika pintu tidak bisa dibuka, atau suatu ruangan tanpa pintu? Tentu tidak ada fungsinya. Fungsi pintu justru terletak pada lobang pintu itu sendiri. Sesuatu kekosongan. Kosong itu bermanfaat, malahan. Dan, tentu membuat lancar dan indah kegiatan kehidupan manusia.

  Ternyata, tidak semua klien ikut-ikutan seperti hidung kerbau dicocok, ditarik kemana saja mau. Ada klienku yang ingin rumahnya lain daripada yang lain dan memenuhi kebutuhan psikologisnya, “Saya ingin rumah saya menimbulkan kenangan di masa kecilku di rumah mbahku.” 

  Maka, jadilah rumah dengan gaya arsitektur kolonial, di depan dengan teras sangat luas dan besar, dua tiang besar dan kokoh dengan gagahnya menghunjam mantap. Sampai-sampai bagian pembangunan ketika rumah selesai terbangun berujar keheranan, “Saya kok seperti enggak bangun rumah baru ya ...”

          Begitu pula, ketika di Jogja klien minta desain rumah dengan gaya arsitektur “beach house” dengan warna serba putih dan biru. Nah, ternyata, tidak semua klien mabuk virus minimalis abad 20. Klien sesumbar, “Lihat saja rumah saya kalau jadi, pasti semua orang suka. Minimalis atau gaya arsitektur “urban” terlalu keras dan kaku bagi saya.” 

          Ya, betul khan tidak harus minimalis. Tak semua orang suka dengan minimalis. Ada beberapa klien yang ingin rumahnya sesuai dengan karakter dirinya. Menunjukkan citra dirinya. Ekspresi jiwanya.

  Ngomong-ngomong, telah banyak yang kita dapatkan fakta bahwa rumah yang indah tidak harus bergaya arsitektur minimalis, lalu sebetulnya apa sih minimalis itu? Baik, ini yang aku dapatkan. Simak baik-baik. Penjelasan ini diambil dari Wikipedia. Aku pilih dari situ, karena pemaparannya cukup singkat dan jelas, hanya sebagai gambaran secara umum, bukan terperinci. Istilah minimalis berasal dari kata "minimalism". Kata ini dalam konteks arsitektur digunakan untuk menjelaskan suatu tren dalam desain dan arsitektur dimana mempunyai makna utama "mereduksi" atau mengurangi elemen-elemen yang dibutuhkan. Desain minimalis sudah sangat terpengaruh dengan desain tradisional dan arsitektur Jepang. Sebagai tambahan, bahwa hasil karya seniman-seniman De Stijl (gerakan artistik dari Belanda yang mulai berdiri tahun 1917) adalah suatu sumber utama dalam referensi dari berbagai karya. De Stijl memperluas ide desain dengan cara ekspresi menggunakan elemen-elemen dasar seperti garis-garis, dan mengorganisasikan bidang-bidang dengan aturan-aturan yang sangat teliti dan presisi. Arsitek Ludwig Mies van der Rohe mengadopsi motto "Less is More" untuk mendeskripsikan strategi estetika dalam merancang komponen-komponen penting yang sangat banyak dari suatu bangunan untuk menciptakan suatu kesan dari "kesederhanaan" yang ekstrim.

  Maka, bukanlah aku melarang memakai gaya Minimalis, Tetapi setelah kita tahu apa sebenarnya gaya Minimalis, maka kita tetap dapat ambil beberapa konsep – konsepnya saja – untuk diterapkan pada bangunan rumah sesuai dengan prinsip-prinsip arsitektur, alam kita, dan sesuai karakter dan keinginan penghuni agar nyaman, jiwanya menyatu dengan rumahnya yang merupakan bagian kultur kecil bagi keluarganya.

  Dan anehnya lagi, dengan apa yang dinamakan tren arsitektur. Tren bermakna memiliki sifat sementara, singkat, sesaat, sebentar saja; sedangkan arsitektur atau bangunan akan berdiri dalam jangka waktu yang lama. Paling tidak 15 sampai 20 tahun. Jadi, tidak tepat kalau arsitektur dikategorikan ke dalam tren. Padahal orang-orang yang mengikuti tren arsitektur rumah minimalis tujuannya agar tidak ketinggalan zaman sesuai tren yang sedang berlangsung. Lalu jika sudah tidak tren lagi bagaimana? Jika hanya pakaian yang sudah tidak nge-tren mungkin bisa disumbangkan. Lha ini rumah lho! Apakah mau disumbangkan? atau dirobohkan saja?

Aku ini hanya seorang arsitek, ibarat bidan hanya membantu melahirkan bayi dari seorang ibu. Maka, aku hanya membantu melahirkan wadah bagi cikal bakal peradaban suatu keluarga. Jangan macem-macem yang gak jelas lah! (ibman)

***

www.sketsarumah.com
www.sketsarumah.com Mendesain kebiasaan BELAJAR ilmu syar'i dengan MENULISkannya, diretas bersama teman setia kopi di studio sketsarumah.com.

Posting Komentar untuk "#21 Artikel, Ide Sendiri"

Menjadi Penulis Terampil
Hanya dari kebiasaan menulis sederhana
Motivasi Menulis

Gimana nih! memulai menulis

Motivasi Menulis
Kejutan dulu,
lalu Keteraturan

Bahasa Indonesia
Belajar
tentang Kalimat

Motivasi Menulis

Merekam objek ide tulisan

Bahasa Indonesia
Belajar
Menulis Artikel

Bahasa Indonesia
Belajar
tentang Kata

Motivasi Menulis
Agar Menulis
tidak Lumpuh

Bahasa Indonesia
Belajar
Gaya Bahasa

menulis.sketsarumah.com
Seputar #sejarahislam #biografi #salafushshalih #caramenulis #deskripsi , #eksposisi , #artikel , #essay , #feature , #ceritanyata , #cerpen nonfiksi , #novel nonfiksi , #kisah inspiratif , #biografi inspiratif di studio www.sketsarumah.com.

Ikuti yuk!
Telegram: t.me/menulissketsarumah_com
Twitter: twitter.com/menulisketsarmh

Simpan yuk!
WhatsApp: wa.me/+6285100138746 dengan nama: www.sketsarumah.com