Ibukota: medan perang konteks
Gulita telah mengandaskan diriku dalam kelelapan akar kesadaranku. Ibukota telah mengobrak-abrik energiku yang aku telah tabung sejak dari kampungku.
"Assalamu'alaikum!" salam itu begitu membangunkanku dari nyenyakku.
"Wa 'alaikumsalam ...," aku menjawab, dan berusaha mengangkat pikiranku yang masih di dasar kesadaran.
Lambat laun, pikiran sadarku "loading", dan mulai jelas terpampang sosok yang kukenal bertahun-tahun.
Ternyata tidak ada kata "malam" bagi ibukota yang selalu terjaga.
Kesadaranku semakin terkesima dengan "image" yang terang benderang muncul di hadapanku. Tak memakai qolan suwah, jenggot tipis jelas agak tercukur, celana pantalon, dan menutup mata kaki!
Allah Musta'an, mengapa dia kini berpenampilan seperti itu?
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, aku mengenal pribadi itu sebagai sosok yang berjenggot lebat, sirwal di atas mata kaki, yang selalu hadir di daurah-daurah Islam guru-guru besar kami dari negeri Haramain. Yang lebih mengagumkan, bahkan ia keluar dari pekerjaan tempat perusahaan ia bekerja, karena alasan yang sepele dalam pandangan orang-orang, tetapi sangat besar di pemikirannya. Yaitu, ia disuruh atasannya potong jenggot! Alasannya tidak rapi kata bossnya. Tanpa tedeng aling-aling iapun "resign", dan alhamdulillah mudah saja bagi Allah memberinya pekerjaan kembali.
Namun, apa yang terjadi dengan dia sekarang?
Akupun mulai teringat dengan satu kata dalam beberapa contoh kalimat, seperti:
Aku bisa mengendarai sepeda.
Bisa ular itu berbahaya.
Kata bisa mampu memberi beberapa makna kepada kita. Itu semua terjadi dikarenakan konteks pada kata bisa itu. Kalimat pertama, kata bisa bermakna mampu atau sanggup dikarenakan kata-kata "aku, mengendarai, dan sepeda".
Ternyata ketika kata bisa kita letakkan pada kata-kata "ular itu berbahaya", maknanya berubah menjadi suatu zat yang mematikan yang dimiliki sang ular.
Jadi, kata bisa sanggup berubah-ubah maknanya tergantung konteks atau kata-kata yang meliputi.
Begitu pula pada diri kita, kita dianggap sebagai seorang Salafy tergantung konteks kita yang meliputi, mengelilingi sekitar kita. Misalnya kita tinggal di lingkungan ponpes dengan komunitas masyarakat Salafiyun, sehingga mudah saja lingkungan kita memaknai kita sebagai Salafy, karena konteks yang tepat.
Namun, kita coba kita tinggal di ibukota di tengah-tengah masyarakat umum, maka makna kita sulit dipahami oleh orang-orang. Bahkan kemungkinan kita dikira Jama'ah Tabligh, atau kelompok habib, atau orang-orang melihat kita aneh dengan penampilan yang kata orang "Arabian Style".
Ini terbukti juga, ketika kami disapa tukang parkir, "Habis ziarah pak ya?"
"Ziarah kemana?" aku balik bertanya.
"Ke makam habib ...," sang tukang parkir tersenyum ramah.
Wah!
Dan, orang-orang akan mudah memaknai kita, ketika kita mengubah makna kita sesuai konteks masyarakat umum, yaitu tidak berjenggot, bercelana pantalon, tanpa qolan suwah, dan celana menutup mata kaki. Tak ada jalan lain.
Seperti kata bisa tadi ketika kita pindah dari kalimat pertama pada contoh di atas ke kalimat kedua, maka kata bisa tidak lagi bermakna mampu atau sanggup, ketika kata bisa itu sendiri mengubah maknanya menjadi zat yang beracun yang dimiliki ular.
Atau, malah justru konteks kata-kata "ular itu berbahaya" yang telah mengubahnya? Sepertinya demikian.
Demikian pula sosok yang aku kenal lama itu, bahwa bukan ia yang mengubah makna dia, tetapi tanpa sadar ternyata konteks ibukotalah yang telah mengubahnya. Subhanallah.
Lalu, apa solusinya jika kita mengalami seperti sosok temanku itu? Ya, kita musti dan harus berusaha mengubah konteks ibukota yang menenggelamkan kita. Jangan sampai kita luntur, berbaur karena pengaruh sihir konteks tersebut. Bagaimana?
Kata bisa tetap bermakna "sanggup atau mampu" ketika pindah ke kalimat kedua, jika kata-kata "ular itu berbahaya" diubah dengan kata-kata "aku, mengendarai sepeda"
Maka, kita musti berdakwah pada konteks tersebut. Dunia ini memang medan perang konteks. Kita harus mengubah konteks kita, agar makna Salafy tetap tersemat di dada-dada kita, bukan konteks yang mengubah kita.
Tak ada jalan lain!
***
Posting Komentar untuk "Ibukota: medan perang konteks"