Bab #35 Waktu telah mundur?
Sang Baskara nyaris meraih titik kulminasinya, meninggalkan suhu kehangatannya menuju suhu panas maksimalnya. Sedang seru-serunya menanjak. Di saat itulah rombongan kami menjejakkan kaki-kaki kami di suatu mushala kecil di tengah kesunyian suatu desa. Di bilangan Ciranjang, baratnya pulau Jawa.
Kami serombongan adalah suatu gerombolan orang-orang yang sedang mengikuti program - yang katanya - memperbaiki diri-diri kami dengan cara mendakwahkan Islam. Apalagi kalau bukan program "khuruj"? Iya, suatu jalan latihan mengamalkan agama yang di ada-(ada)kan oleh seorang sufi dari Masjid Banglewali, New Delhi India. Suatu tarekat sesat dengan nama Jama'ah Tabligh.
Kami masuk ke mushala, langsung melakukan shalat tahiyatul masjid. Setelah itu, serta merta berkumpul untuk bermusyawarah, apa saja yang harus kami lakukan pada hari ini. Singkat kata, kami bagi tugas. Ada yang menyiapkan logistik makan siang dengan segera, karena hari telah meninggi. Sisanya, salah satu dari anggota rombongan membacakan hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan yang lainnya mendengarkan.
Sedangkan, aku akan melakukan investigasi kondisi lingkungan mushala. Memeriksa sekitaran mushala, apakah ada tetangga warga desa yang berdekatan, paling tidak musti menyapa. Dan, juga mengetahui apakah mushala menyediakan fasilitas seperti kamar mandi, tempat wudhu, dan sebagainya.
Yang jadi masalah, karena mushala terletak di suatu desa terpencil, maka menurut pengalaman fasilitas-fasilitas tersebut tidak selengkap masjid-masjid di kota besar.
Maka, akhirnya akupun berkeliling di sekitar mushala.
Ternyata, di sekeliling mushala tak ada rumah-rumah warga setempat. Jadi, mushala terletak di tengah-tengah banyaknya pepohonan. Dan, yang terdengar hanya bunyi-bunyi suara binatang serangga pepohonan. Terik panasnya sang penguasa cahaya terhadang oleh rimbunnya dedaunan pohon-pohon tersebut. Sehingga udara di siang ini tak terlalu membuat keringat menjagung.
Ketika aku telah sampai di sisi barat laut mushala, terpampanglah sebuah sumur berpagar tembok melingkar setinggi perutku, lengkap dengan ember timba dan roda kerekannya yang tergantung di semacam portal di atas sumur tersebut. Tali ember timba terbuat dari belahan ban luar mobil bekas. Dan ember timba tersebut terikat pada tali tersebut, terlihat menggantung begitu saja di sisi kerekan. Tali tersebut sepertinya cukup panjang, akupun mengira, "Pasti sumur itu cukup dalam permukaan airnya."
"Hmmm, rupanya di sinilah sumber air mushala ini," benakku bergumam tanpa suara. Dan, di sinilah pula kami akan berwudhu. Memang, sedari tadi aku belum melihat tempat wudhu di mushala ini. Wajar saja, mushala kecil di desa yang seolah-olah terisolasi dari hiruk pikuknya dunia.
.
Lantas, aku mencoba melihat ke dalam sumur untuk memastikan kedalaman permukaan air sumur, yang aku telah prediksi cukup dalam sebelumnya.
Lantas, aku mencoba melihat ke dalam sumur untuk memastikan kedalaman permukaan air sumur, yang aku telah prediksi cukup dalam sebelumnya.
Benar saja, "Wuiih dalem juga nih," sambil aku melongok ke bawah, ke dalam sumur.
Kemudian, aku mencoba menimba air sumur tersebut, dengan mengulur ember timba yang tergantung di kerekannya.
"Krikit, ...krikiiit, ...krikit!" suara kerekan timba mulai membahana, dan ember timba terus meluncur ke dalam, di kegelapan sumur. Semakin dalam luncuran ember timba semakin kencang. Suara kerekanpun semakin memenuhi atmosfer sekitar mushala. Wah, ember timba belum sampai juga di permukaan air sumur. Percepatan gravitasi bumi membuat kecepatan luncuran ember semakin ngebut.
Begitu ember timba menyentuh permukaan air sumur terdengar, "Pyaaar!" air sumur bergolak. Namun, karena tali yang terbuat ban mobil bekas cukup berat, walaupun ember timba telah sampai pada permukaan air, luncuran tali pada kerekan tidak berhenti. Aku pikir wajar saja, memang begitu berat tali ban bekas tersebut, apalagi ditambah begitu panjangnya tali tersebut, sesuai kedalaman permukaan air sumur.
Dalam benakku pula, biasanya tali timba yang seperti ini, ujungnya dibundel, agar ia tertahan pada kerekan, sehingga tidak lepas dari kerekan.
Tetapi, aku keliru!
Tali timba itu pada ujungnya tak dibuat semacam bundelan. Akhirnya ujung tali tersebut, begitu cepatnya melewati genggaman tanganku. Lolos!
Begitu pula, ketika sampai di roda kerekan, ujung tali itu lewat begitu lancarnya, serta merta setelah melewati roda kerekan, tentu saja ujung tali itu meluncur ke bawah, ke dalam kegelapan sumur menyusul sang ember timba yang telah sampai lebih dahulu, seolah memang sedang menunggu tali timba yang malang itu.
Deg! Dadaku terasa ada yang meletup. Mungkin, paras mukaku langsung pias. Bagaimana ini?
Beberapa menit lagi sang penguasa cahaya akan tergelincir. Waktu Zhuhur.
Aduh! Bagaimana jika perlu air? Ember timba mengapa kompak sekali dengan talinya? Bersama-sama menceburkan diri mereka ke dalam sumur semuanya. Bagaimana, jika akan berwudhu? Memasak air. Mencuci. Akibat-akibat tak adanya air, seakan-akan peluru-peluru membombadiran ke kepalaku.
Akupun gelisah, ini akibat kurang telitinya aku. Aku tak memeriksa secara seksama tali timba itu.
Aku berpacu dengan sang penguasa cahaya. Jangan sampai ia telah mulai menggelinding dari puncak kulminasinya, sementara kami belum ada air. Apa kata teman-teman serombongan nanti?
Akhirnya, akupun celingak-celinguk mencari sesuatu yang mungkin mampu aku manfaatkan untuk mencari solusi.
Sekonyong-konyong terlihat seonggok bambu utuh dan sangat panjang di satu sisi mushala. Yap! Cukup panjang. Mungkin aku bisa manfaatkan untuk mengambil ember timba dan talinya yang pasrah di permukaan air sumur. Serta merta bambu aku sambar. Bergegas, setengah berlari aku menuju sumur kembali.
Aku menatap ke atas, sang penguasa cahaya seolah mengejekku, "Aku sudah hampir meluncur ke barat lho ....!"
Aduh, aku harus bersegera.
Bambu yang cukup panjang itu aku julurkan ke dalam sumur. Remang-remang aku masih sanggup melihat wujud ember timba dan talinya yang mengambang. Alhamdulillah, ujung bambu telah mencapai ember timba.
Tetapi, bagaimanalah agar ember timba beserta talinya yang begitu panjang dan berat itu bisa terangkat oleh bambu panjang tersebut? Bukankah bambu itu, bambu biasa, tak ada sesuatu yang bisa mengait ember ... Entah semacam ganco, kawat bengkok pada ujungnya atau apalah.
Aku tak mau menyerah. Ember tersebut masih terlihat. Menunggu nasibnya.
Maka, aku coba terus mengait ember timba yang sedang asyik berendam sembari mengapung. Ember tersebut, bagian atasnya menghadap atas, lalu, aku sodok-sodok. Tetapi, bagaimanalah mampu terangkat, bambu tanpa pengait itu hanya menyentuh-nyentuh cangkingan dan tubuhnya. Sesekali ujung bambu menyentuh tali ban yang terikat pada cangkingan ember timba tersebut.
Namun, dasar nasib. Bukannya ember timba dan talinya tersangkut di bambu, ember itu malah terbalik, tengkurap menghadap ke bawah ke permukaan air.
Selanjutnya, apa yang terjadi?
Ember timba memang tak dapat tenggelam, karena terbuat dari bahan campuran plastik dan karet. Tetapi, tali ban bekas ternyata cukup berat. Tali itu mulai menghilang dari pandanganku. Tenggelam. Celakanya ia mengajak ember ikut menyelam di kedalaman dan kegelapan sumur.
"Blebeb ..., blebeeeb ..., beeeb ..., beb ..., bbb.." laa haula wala quwwata illa billah. Degub jantungku semakin menghentak-hentak. Kecepatan ritmenya bertambah, semakin cepat, dan semakin tak beraturan.
Kini, jika aku membawa cermin tentu aku bisa melihat wajahku. Namun, aku bayangkan saja. Pasti seluruh darah pada wajahku serasa ikut terjun ke dalam sumur. Pucat pasi. Bahkan, lebih dari itu, air bening dan asin mulai keluar dari sarangnya, menyebar di pelipis dan dahiku. Biasanya keringat itu hangat, tetapi sekarang dingin. Mungkin sedingin air sumur ini.
Bagaimanalah rombongan akan berwudhu? Atau tayamum saja? Bola mataku bergerak terus bersamaan kepalaku, melihat ke kanan ke kiri, mungkin ada solusi. Atau ada orang yang bisa diminta bantuannya. Tetap saja yang terdengar hanya suara serangga pepohonan seakan-akan tak peduli, dan pohon-pohon yang mematung.
Akupun mulai melangkahkan kaki, entah mau kemana. Pokoknya bergerak. Musti ada penyelesaian. Maju beberapa langkah meninggalkan sumur. Tiba-tiba ke kiri. Mundur. Lalu ke kanan. Berputar. Duh, aku tak mendapatkan apa-apa yang sanggup menjadi jalan keluar. Aku seperti berada di kesesatan suatu labirin. Berhadapan dengan jalan buntu.
Akhirnya aku melangkah mendekati mushala, mengarah ke pintu masuk. Akan masuk ke dalam. Berhenti sesaat, "Kasih tahu rombongan gak ya?" pikiranku bagaikan persimpangan dengan lampu lalu lintas yang mati di waktu pulang kantor. Macet dan ruwet.
Mereka, teman-teman rombongan masih bersama-sama duduk bersimpuh dengan konsentrasi dan tenang mengelilingi si pembaca hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Aku menatap wajah-wajah mereka yang tak mengerti apa yang telah terjadi. Ya, tentu saja mereka tak tahu. Paras-paras polos.
Aku mendongak, menatap sang penguasa cahaya. Ia hampir sampai di puncak penitiannya.
Duh, mungkin beberapa menit lagi, atau bahkan mungkin beberapa detik lagi ia sampai pada titik tertingginya.
Astaghfirullah. Bagaimana ini? Apa mencari entah sungai atau danau saja, untuk mendapatkan air. Tak mungkin di daerah desa banyak pohon begini tak ada air. Harus dicari.
Tetapi, jika ada penduduk ingin ikut shalat bagaimana? Kami mau berdakwah, kok malah ngerepotin warga.
Aku masuk ke mushala. Cerita gak ya? Cerita. Enggak. Cerita. Enggak ....duh.
Aku berjalan mengelilingi ruang mushala. Berputar, mengorbit, menjadikan teman-teman yang sedang berhalaqah menjadi pusat orbitnya, dalam suasana yang serba tak jelas.
Aku merasa akan menjadi sumber masalah bagi rombongan beberapa menit ke depan. Padahal aku ketua rombongan lho.
Lalu, aku tidak berjalan berkeliling lagi. Dengan gundah gulana, kakiku menyeret, mengajakku ke arah mihrab. Ruang kotak seluas cukup untuk imam shalat sujud. Masuk ke dalamnya lalu berputar balik ke kanan, keluar lagi dari mihrab.
Tetapi, eh! ntar dulu ...
Aku merasa ekor mataku melihat sesuatu, yang seharusnya tak ada. Aku langkah mundur sejenak, pandanganku ke kiri.
Pada ruang mihrab, sebelah kanannya, jika kami menghadap kiblat, ada jendela kaca kecil mengarah tepat ke arah sumur tadi. Ya, sumur di arah barat laut mushala. Jadi jendela kaca itu, ketika aku mundur selangkah, berada di kiriku. Karena aku telah berputar balik kanan, dan membelakangi kiblat.
Allahu Akbar!
Aku membelalak, bola mataku seakan mau lompat meninggalkan kelopaknya. Apakah mataku berkhianat. Apa ini mimpi. Tidak! Ini nyata!
Ember timba dan tali ban bekas telah nangkring di atas, tergantung pada portal sumur. Tali itupun telah tersangkut rapi di kerekannya. Seperti persis sama ketika aku lihat sebelumnya, ketika aku baru menemukan sumur itu, beberapa menit yang lalu.
Tidak mungkin! Organ mesin pompa darahku seolah-olah mencelos. Degubnya seakan terhenti.
Aku berhitung. Waktu antara ketika aku di sumur, lalu masuk ke mushala, mungkin hanya sekitar tiga menit. Apakah cukup waktu ada orang mengambil timba itu? Aku melongok ke jendela kecil itu, sepertinya tak ada orang. Hanya pepohonan membisu dan derik serangga. Atau kejadian yang aku alami telah dihapus dari sejarah? Atau ...
Waktu telah mundur?
***
Bersambung ...
Posting Komentar untuk "Bab #35 Waktu telah mundur?"