Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

#03 Mengapa kita menulis?

          Gulita telah lama menyergap lingkungan kampung di kawasan selatan ibukota. Bunyi jangkrik membahana dimana-mana. Sholat isya berjama'ah bersama telah ditunaikan di musholla sejauh beberapa menit perjalanan jalan kaki dari rumah. Ngadiman sedang bersiap-siap akan istirahat. Istrinya pun telah mendampingi putrinya yang belum genap setahun umurnya untuk segera tidur. 

         "Tok, tok, tok. Assalamu'alaikum!" Tiba-tiba sekonyong-konyong ada seseorang mengetuk pintu rumah kontrakan Ngadiman yang hanya seluas cukup untuk dua mobil itu. Siapa ya malam-malam begini?

         "Oh, ustadz Ujang...masuk, masuk," Ngadiman membuka pintu dan telah berdiri di bawah bingkai pintu ruang tamu yang merangkap ruang makan itu.

         Tak berapa lama, mereka sibuk dengan perbincangan bermacam-macam hal, termasuk tentang pendidikan anak-anak yang akan dikelola ustadz Ujang. Dalam diskusi malam itu ustadz Ujang meminjamkan buku-buku pendidikan anak-anak untuk dibaca Ngadiman dan dipelajari.

          Ngadiman sejatinya diajak ustadz Ujang untuk bergabung membantu dalam rencana mengembangkan pendidikan anak-anak di kawasan pinggiran selatan ibukota tersebut.
Di antara buku-buku yang ustadz Ujang menyuruh baca adalah karangan Paolo Friere. Ustadz Ujang juga menyebut-nyebut nama Ivan Illich dengan gerakan "de schooling society" yang maknanya "masyarakat bebas dari sekolah". Mereka membawa prinsip faham Sosialis dalam menerapkan pedidikan anak-anak. Paolo Friere adalah pencetus pendidikan bagi kaum tertindas di negeri Brazilia. Dan, Ivan Illich adalah seorang filsuf Austria, pastor Katolik Roma.

          Waktupun melesat dengan cepat, maka berdirilah suatu pendidikan anak-anak dengan konsep faham sosialis, yaitu pendidikan untuk rakyat miskin tapi dikelola kaum muslimin dan tentu dengan gembar-gembor warna Islam. Lengkap dengan kurikulum hafalan Al Qur'an, pelajaran agama, ketrampilan dan sebagainya.

           Lewat beberapa tahun, datanglah seorang ustadz Ucok, ustadz yang lebih senior lulusan Timur Tengah (Yaman) yang diperbantukan mengampu di institusi pendidikan tersebut.

           Ngadiman sejak awal aktif dalam pendidikan tersebut selalu ragu dengan pola faham yang diterapkan. Dengan pola tersebut sering terjadi ketidaksesuaian dengan aturan-aturan agama. Dimana-mana terjadi konflik antar bidang kepengurusan. Sampai-sampai terkadang ada rasa permusuhan di antara para pengurus dan wali murid.

           Singkat kata, dengan adanya ustadz Ucok tersebut, Ngadiman berpikir mudah-mudahan ada perbaikan.

           Suatu saat sang ustadz Ucok sakit. Maka pada suatu kesempatan sore hari Ngadiman menjenguk ustadz Ucok ke rumahnya. Nah, kesempatan nih! Untuk bertanya dan "curhat" tentang sistem yang diterapkan pada pendidikan di lingkungan komunitas tersebut. Ngadiman menceritakan semua.

          "Ini ikhwani..." kata ustadz Ucok dengan lugas dan tegas.

           Ikhwani, singkatnya adalah faham yang disandarkan kepada organisasi internasional yang lahir di negeri Mesir. Paham inilah yang melahirkan teroris-teroris yang berorientasi kepada merebut kekuasaan (baca : sekuler) kaum muslimin di berbagai negeri Islam. Alasannya cukup sederhana, karena negeri-negeri kaum muslimin tidak menerapkan hukum Islam, sehingga mereka para pemimpinnya kafir. Halal darahnya. Sejatinya itu hanya kedok untuk menutupi keinginan-keinginan duniawi mereka akan kekuasaan. Karena, sebenarnya orang yang tidak menerapkan hukum Allah, disebut kafir tidaklah demikian. Tapi dalam tafsir Al Qur'an disebutkan oleh sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kufron duna kufrin" yang maknanya "kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam".

          Singkatnya faham organisasi internasional itu berorientasi duniawi atau sekuler. Begitu pula pendidikan tarbiyah untuk anak-anak tersebut yang dikelola ustadz Ujang, Ngadiman dan kawan-kawannya.

          Akhirnya, terjadilah apa yang terjadi. Pertentangan antara yang sepakat dengan ustadz Ucok dengan ustadz Ujang. Konflik tidak kunjung selesai. Ustadz Ujang mengobarkan permusuhan terhadap ustadz Ucok. Pertentangan membuat tidak nyaman suasana persaudaraan. Ngadiman keluar dari kepengurusan. Bahkan ustadz Ujang memprovokasi teman-teman Ngadiman agar membenci dan menjauhinya, termasuk keluarganya. Sampai-sampai Ngadiman dan teman-temannya yang sepakat pada pendirian ustadz Ucok diberi julukan jelek "cecunguk-cecunguk" oleh ustadz Ujang. Subhanallah.

          Selang setahun kemudian, ustadz Ucok pergi ke Saudi Arabia meninggalkan komunitas tersebut untuk menuntut ilmu kembali kepada para ulama untuk selang waktu beberapa tahun.

          Uneg-uneg Ngadiman pun macet, tidak mampu disampaikan dalam pendidikan tersebut. Semua beku.

          Untuk itulah, agar uneg-uneg Ngadiman tidak menggerogoti jiwanya yang bisa berujung penyakit fisik, maka Ngadiman curahkan pada suatu tulisan opini yang berjudul "Penyimpangan definisi ilmu : sebab permasalahan pendidikan". Tulisan tersebut sempat dimuat di suatu harian ibukota terkenal. Ngadiman puas.

          Mau baca? KETUK! di sini.

          Lihatlah! Tulisan itu timbul karena rasa benci yang amat sangat Ngadiman terhadap kesalahan yang ia jalani. Karena kebodohannya, sehingga dia hanya ikut seperti kerbau dicocok hidungnya terhadap orang yang ilmunya salah. Rasa bencinya tersebut menjadi energi yang sangat dahsyat dalam menulis. Ngadiman yang tadinya tidak tahu bagaimana cara menulis, akhirnya dengan rasa benci itu pula dia berusaha mempelajari, mencari buku-buku tentang bimbingan menulis artikel, dan mencoba menerapkan dalam menumpahkan gagasan dalam bentuk  tulisan yang baik, bagus dan enak dibaca. 

          Dengan rasa benci itu pula, timbul pula terpancar energi lawannya yaitu rasa semakin suka, semakin cintanya terhadap Islam dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallama.
***

         Kita semua pasti mempunyai rasa suka dan benci. "Apa yang mendorong aku? Apa yang membuat aku semangat, bergairah, gembira, senang, girang, gemar, doyan, cinta, berhasrat, bahagia?" Dan perasaan-perasaan yang sejenis. Begitu pula sebaliknya, "Apa yang membuat aku gregetan, gemas, marah, berang, dongkol, geram, gusar, jengkel, keki, kesal, sebal, muak?" Dan perasaan-perasaan yang semisal.

         Perhatikanlah dorongan apa yang ada dalam diri kita. Apa yang membuat kita penasaran? Adakah hal yang membuatku terganggu atau terngiang-ngiang sampai sekarang? Adakah pertanyaan kehidupan yang aku belum bisa jawab?

          Perasaan-perasaan intens yang memberi dorongan itu sering bersarang dalam pengalaman sederhana dan sehari-hari di masa lampau. Misal dalam kehidupan sehari-hari kita:

  • Aku selalu jengkel dengan kabel charger, rusak, beli lagi, rusak beli lagi, melahirkan ide membuat charger tanpa kabel. Judul tulisannya "Charger tanpa kabel? Ada!" 
  • Aku sedih sekali ayahku meninggal, sebab ginjalnya rusak karena banyak minum obat kimia, menimbulkan tema "obat herbal sebagai alternatif" dengan tulisan berjudul "Herbal vs Obat Kimia". 
  • Aku tergila-gila membaca dan mengoleksi buku. Nah, ini bisa bikin tema "kiat teknik cara baca" dengan judul "Sudahkah Anda tahu cara baca yang efektif?" 
  • Aku berkhayal menjadi pendaki panjat tebing yang handal bagaikan cecak. Untuk ini bisa dengan tema "survival" dengan judul "Bertahan hidup di tebing-tebing jurang". 
  • Aku suka sekali makanan jajanan apa saja asalkan dari ketan, kelapa dan gula. Wah, yang ini enak bikin tema "makanan jajanan tradisional". Judulnya? "Ketan, kelapa dan gula, bikin lumer lidah". 
        Mudah, bukan?

          Dorongan-dorongan itu, walau mungkin terasa konyol, akan tetapi mempunyai potensi yang luar biasa dalam memunculkan embrio ide. Ide apa saja, bisa ide usaha, termasuk ide tulisan.

          Kita rasa cara ini, dapat pula dipakai untuk mendapatkan ide tulisan dengan tema agama, misalnya:
  • Aku gregetan sekali dengan teman-teman yang malu memakai baju muslim, bisa menimbulkan tulisan dengan tema "pakaian syar'i menurut Islam." Misal dengan judul "PD ajalah dengan jubah muslim" 
  • Aku suka sekali dengan orang membaca Al Qur'an dengan tajwid yang benar, dapat melahirkan artikel dengan tema "kiat belajar tajwid", dengan judul "Enggak semangat baca Al Qur'an?" 
  • Aku jengkel sekali dengan diriku, kenapa tidak faham juga dengan bahasa Arab, sebagai media memahami agama, menginspirasikan essay dengan tema "wajib belajar bahasa Arab", misalnya dengan judul "Bahasa Arab?, bisa!" 
  • Aku gemes dengan teman-teman yang kurang peduli dengan masalah campur baur dengan wanita berada dalam satu ruangan tertutup. Bisa dengan tema "bahaya campur baur dengan wanita" dengan judul "Jaga pandangan, jaga hati". 
  • Aku gregetan sekali dengan suatu ormas, karena banyak membunuh kaum muslim. Dapat mengusung tema "kekejaman suatu paham" dengan judul "Bahaya radikalisme" 
  • Aku kasihan sekali dengan pemuda-pemuda yang terjerumus dalam kelompok teroris, melahirkan tema "kesesatan kaum Khawarij". Bisa jadi membuat buku kisah perjalanan seseorang terjerumus ikut dalam kelompok teroris, misalnya dengan judul "Ngadiman pingin bener" 
  • Dan banyak lagi.

          Bagaimana jika tidak punya dorongan rasa suka atau benci? Wah, mungkin hidup kita hambar saja rasanya. Bagaikan sayur tanpa garam. Telah mati rasa, maksudnya berarti orang yang seperti itu bagaikan orang mati. Mungkin, mesti merasakan mati dulu.

          Namun, kita bisa biaskan menurut pandangan orang beriman. Bahwa, jika kita telah mati, baru akan terbuka secara ainul yaqin (terlihat dengan mata kepala sendiri), bahwa ternyata di akhirat nanti terbukalah mata kita terhadap apa yang harus kita sukai sebenarnya di dunia, setelah kita melihat nikmat Syurga dan adzab Neraka. 

            Dan, kita akan menyesal sampai pada titik tiada sesal yang melebihi dari pada sesal kala itu, "Kenapa kok aku di dunia tidak menyukai dan membenci sesuai apa yang aku harus suka dan benci yang akan membawa akibat di akhirat?" 

           Maka, seandainya demikian, tentu saja waktu itu telah terlambat semua. Kita tak bisa mundur, tak bisa kembali ke dunia lagi.

           Apakah kita telah melupakan sabda Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam? Dalam kitab Shahih Al-Bukhari No. 6487, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

“An-Naar ditutupi dengan syahwat (hawa nafsu), dan Al-Jannah ditutupi dengan perkara-perkara yang dibenci.”

         Yang dimaksud بِالْمَكَارِهِ (bil makarih = yang tidak menyenangkan) dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang diperintahkan terhadap orang-orang yang telah terkena kewajiban menunaikan syariat agar dirinya bersungguh-sungguh dalam mengerjakan (kebaikan) dan meninggalkan (hal yang dilarang). Seperti, bersegera menunaikan berbagai peribadatan dan menjaganya, serta menjauhi segala macam larangan baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Dikatakan al-makarih (tidak disenangi) lantaran tingkat kesulitan dalam menggapai Syurga, sehingga memerlukan kesabaran terhadap berbagai musibah yang menimpa dan sikap pasrah diri (patuh) dalam menunaikan perintah Allah subhana wa ta'ala.

         Sedangkan yang dimaksud katِa  بِالشَّهَوَاتِ (bisy-syahawat) yaitu segala sesuatu yang bisa mengundang kenikmatan pada perkara-perkara dunia padahal itu dilarang oleh syariat. Terkait syahwat ini juga, yaitu segala sesuatu yang dikhawatirkan mengantarkan seseorang terjatuh pada yang haram. (Fathul Bari, 11/360)

           Nah, jelas sekarang, jika kita tidak punya rasa suka dan benci di dunia, atau tidak tahu apa yang mesti disukai dan dibenci di dunia ini, seandainya mati dulu. Baru nyadar.  

          WASPADALAH!

Terhadap rasa suka dan benci yang tidak sesuai dengan apa yang mesti kita sukai dan benci yang akan membawa akibat di akhirat nanti.

           Lalu, untuk melampiaskan rasa suka dan benci itu apa harus dengan tulisan? Khan bisa dengan cara lain. Emang harus dengan tulisan? Baik, ternyata dengan menulis tidak hanya menjadi solusi menumpahkan rasa suka dan benci, akan tetapi banyak manfaat tambahan sebagai bonusnya, seperti :
  • Jika kita ingin menulis pasti menimbulkan rasa ingin tahu, mau tidak mau memicu kepekaan dalam melihat realitas sekitar atau bidang yang kita geluti. Kepekaan ini terkadang tidak dimiliki oleh yang bukan penulis.
  • Dengan menulis akan mendorong kita untuk mencari referensi seperti buku, jurnal, literatur dan sejenisnya. Yang tadinya kita "cuek bebek" saja dengan sumber-sumber referensi itu, akhirnya kita mulai cari-cari informasi itu. Dampaknya adalah kita akan semakin bertambah wawasan dan pengetahuan kita tentang apa yang kita berkecimpung di dalamnya dan apa yang akan kita tulis.
  • Dengan kegiatan menulis, kita terlatih untuk menyusun pemikiran dan argumen kita secara runtut, sistematis dan logis. Dengan keteraturan tersebut, membantu kita lebih mudah menyampaikan pendapat kepada orang lain. Pendek kata, kita semakin cerdas. Pikiran semakin jernih, mudah memetakan persoalan yang rumit dan 'njelimet', tenang dalam menyelesaikan masalah.
  • Dengan menulis, secara kejiwaan akan mengurangi ketegangan pikiran. Segala "uneg-uneg", rasa senang, sedih bisa ditumpahkan lewat tulisan tanpa diganggu dan diketahui orang lain. Dia mempunyai dunia sendiri yang bebas dari intervensi orang.
  • Dengan menulis, akan mendapat kepuasan bathin karena telah memberi manfaat bagi orang lain, walaupun kita tidak mengetahui siapa saja yang telah mendapat manfaat dari tulisan kita.
  • Dengan menulis tentang usaha bisnis kita di media misalnya, dimana tulisan kita akan banyak dibaca puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang, akan membuat usaha bisnis kita semakin populer dan semakin dikenal publik.
  • Dengan menulis, seseorang bisa mengurangi trauma masa lalu. Karena dia berusaha melihat hikmah-hikmah dari sisi baiknya, menyederhanakan, bahkan 'malah' terkadang bisa melihat dari sisi kelucuannya. Dia dapat melihat hidup secara luas dan tidak picik.
  • Dengan terbiasa menulis, walaupun waktu sempit, banyak kegiatan, dalam kondisi apapun dan dimanapun berada seseorang akan terlatih dan terbiasa menuangkan gagasan, pendapat dan ide. Dia tetap mampu menulis dengan sistematis yang runtut. Dia terbiasa dengan beberapa konsentrasi dalam satu waktu. Subhanallah. Apa lagi sekarang dengan adanya 'gadget' yang mendukung seperti misalnya tablet, smartphone, dsbnya dimanapun tetap bisa menulis.

         Lantas, buat apa kita bertanya lagi mengapa kita menulis? 

         Yuk! Menulis.

Tugas Latihan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!
  1. Adakah kalian mempunyai rasa suka dan benci terhadap sesuatu? Coba sebutkan terhadap apa saja rasa suka dan terhadap apa saja rasa benci kalian!
  2. Sebutkan manfaat-manfaat tambahan dalam kegiatan Menulis!



Lanjut > #04 Meniru-niru

www.sketsarumah.com
www.sketsarumah.com Sederhana itu Lebih - Less is More. Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.

Posting Komentar untuk "#03 Mengapa kita menulis? "

Menjadi Penulis Terampil
Hanya dari kebiasaan menulis sederhana
Motivasi Menulis

Gimana nih! memulai menulis

Motivasi Menulis
Kejutan dulu,
lalu Keteraturan

Bahasa Indonesia
Belajar
tentang Kalimat

Motivasi Menulis

Merekam objek ide tulisan

Bahasa Indonesia
Belajar
Menulis Artikel

Bahasa Indonesia
Belajar
tentang Kata

Motivasi Menulis
Agar Menulis
tidak Lumpuh

Bahasa Indonesia
Belajar
Gaya Bahasa

menulis.sketsarumah.com
Seputar #sejarahislam #biografi #salafushshalih #caramenulis #deskripsi , #eksposisi , #artikel , #essay , #feature , #ceritanyata , #cerpen nonfiksi , #novel nonfiksi , #kisah inspiratif , #biografi inspiratif di studio www.sketsarumah.com.

Ikuti yuk!
Telegram: t.me/menulissketsarumah_com
Twitter: twitter.com/menulisketsarmh

Simpan yuk!
WhatsApp: wa.me/+6285100138746 dengan nama: www.sketsarumah.com