#05 Teknik Deskripsi dengan pendekatan Realistis
Cara pendekatan deskripsi berikutnya yang biasa digunakan adalah, pendekatan secara realistis. Dengan pendekatan realistis, penulis berusaha pada deskripsi yang dibuatnya harus dapat digambarkan seobjektif mungkin, sesuai dengan apa yang dicerap oleh pancainderanya.
Kita bisa analogikan, seperti objek yang dipotret. Kamera akan mengambil gambar dari objek sesuai dengan keadaan sebenarnya. Kamera tidak memberi penilaian mana bagian yang penting maupun bagian yang tidak penting. Namun, apa saja yang ada di hadapan lensa kamera seluruhnya direkam oleh kamera tanpa pilih-pilih.
Kenyataannya, memang sangat sulit untuk mengadakan pendekatan apa adanya, apalagi menggunakan bahasa sebagai medianya.
Meskipun seorang penulis telah berusaha seobjektif mungkin mengamati dan menggambarkan keadaan secermat-cermatnya dan seteliti mungkin, sehingga tak satupun dari detail-detail terlewatkan, ia akan menghadapi kenyataan bahwa deskripsinya akan berlainan dengan realitas ketika ia betul-betul melihat objek atau berada di tempat yang ia deskripsikan. Bahkan, lengkap dengan cerapan pancainderanya.
Lebih dari itu, iapun telah mengeksploitasi kemampuan bahasanya dengan melukiskan objek yang diamati seobjektif mungkin, tetap akan berbeda dengan kenyataan objek ketika ia lihat langsung.
Coba perhatikan kutipan berikut, yang pernah disampaikan dengan judul:
Sepotong Petang di Pondok Pesantren
Angka jam pada 'hand phone' ku menunjukkan angka lima. Sang surya sudah sangat condong ke barat, cahayanya tedah mulai redup. Udara dingin mulai merasuk ke dalam kulit tubuh. Bau semerbak daun tembakau sangat menyengat pada musim tanam tembakau di desa Kemiri di kabupaten Temanggung ini.
Suara teriakan santri-santri bermain bola masih bersahut-sahutan di lapangan 'futsal' pondok pesantren di hadapanku. Lapangan 'futsal' itu hanyalah beralaskan coklatnya tanah dan beratap langit. Di hadapanku terbentang jaring-jaring penghalang jika ada bola 'nyasar' keluar lapangan. Sehingga bola yang terlempar keluar lapangan tidak sempat menghantam asrama santri yang ada di belakangku. Asrama santri terbuat dari rangka kayu sengon dan bahan GRC semacam triplek tahan air akan tetapi mudah pecah. Terlihat beberapa bagian pecah dan berlobang, Melihat dinding asrama yang pecah dan berlobang itu, baru kutahu mengapa ada jaring-jaring di hadapanku.
Pada saat ini, para santri kebanyakan sudah bersiap-siap untuk membersihkan diri dengan mandi dan menyelesaikan kebutuhan diri mereka untuk bersiap menghadiri sholat Maghrib berjamaah. Yang tersisa, adalah yang masih semangat untuk bermain. Bahkan, masih ada yang bermain bola basket di 'lapangan basket' di area parkir sebelah utara masjid. Lapangan parkir dilapisi susunan 'paving conblock' menghasilkan permukaan yang tidak rata membuat bola basket kadang terpantul tak terkendali. Walau begitu santri-santri tetap semangat bermain, karena inilah satu-satunya hiburan bagi mereka di sela-sela letihnya belajar agama. Ring basket dibuat sendiri oleh para santri. Bersyukur di antara mereka ada yang terampil menggunakan alat pengelasan besi. Sehingga ring basket terlihat kokoh dan stabil.
Area kantin dan dagangan jajanan santri terletak kira-kira sepelemparan batu sebelah kiriku yang tengah hari tak pernah tutup karena banyaknya santri yang kelaparan dan kekenyangan lalu-lalang disitu. Kini, hanya sesekali santri yang lusuh lewat untuk belanja jajanan sebagai selingan hiburan mereka setelah bermain bola. Sementara itu, pedagang jajanan melayani disela-sela berkemas untuk beranjak pulang dengan wajah 'sumringah' karena uang modal tambah keuntungan sudah kembali terkumpul. Bau 'gorengan tempe mendoan' selebar 'tablet' menyengat hidungku dan memancing liur mulut menetes.
Suara palu menghantam pahat beton sudah tak terdengar lagi. Siang hari tadi suara itu terdengar bertalu-talu mengganggu istirahatnya para santri. Tukang bangunan sedang mengerjakan pengembangan pembangunan pondok pesantren di bagian atas area kantin. Pondok pesantren yang baru terbangun dan digunakan para santri adalah bagian lantai bawahnya. Bagian lantai bawah itu dipakai santri untuk ruang tidur dan tempat meletakkan segala perlengkapan para santri. Ruang tersebut, dibagi-bagi berdasarkan area tidur santri. Ketika aku masuk ke dalamnya, ternyata di ruang itu terbagi menjadi dua lantai juga. Lantai dua terbuat dari rangka besi dengan lantai kayu. Di lantai dua itu, ada ventilasi udara sehingga tetap membuat nyaman para santri di antara sempitnya tempat istirahat.
Ketika aku naik ke lantai atas pondok pesantren yang sedang dibangun itu, terlihat air dari hujan tadi pagi tergenang dimana-mana. Jelas saja, memang lantai atas dibuat bukan untuk atap, sehingga tidak dibuat dengan kemiringan tertentu. Kemiringan tertentu pada atap beton berfungsi untuk mengalirkan air hujan yang menerpa atap tersebut. Seluruh bangunan lantai atas sudah terbangun dinding batu bata dan belum teratapi. Aku susuri bangunan itu sampai ujungnya di barat. Ternyata, di bagian ujung barat bangunan itu ada yang sudah beratap beton. Dari atap beton itu, para santri terkadang melepas pandangan ke arah gunung Sumbing dan gunung Sindoro yang gagah berdiri di Selatan dan Barat area komplek pondok pesantren. Dari atas itu pula, para santri terkadang melatih gerakan gulat dan kungfu yang telah diajarkan instruktur bela diri mereka. Betul-betul pemandangan dan suasana yang indah.
Di sebelah timur area komplek pondok pesantren itu, berdirilah dengan kokoh masjid dengan nama masjid Umar ibnul Khaththab dengan megahnya. Cocok sekali namanya. Masjid berukuran duapuluh enam meter kali dua puluh tiga meter itu sangat besar dan luas. Disitulah pusat kegiatan belajar dan mengajar pondok pesantren. Masjid terbangun dari konstruksi atap besi baja dengan dinding batu bata. Atapnya adalah atap gelombang terbuat dari eter yaitu atap seperti atap asbes. Diantara kostruksi baja dan atap gelombang itu, adakalanya banyak bertengger burung-burung dan berkicau memecah keheningan suasana belajar santri-santri di siang hari.
Kini, suasana menjelang Maghrib mulai merasuk kemana-mana. Cahaya matahari mulai kemerahan di ujung barat, menampakkan siluet gunung Sindoro yang indah. Dan kini, aku sudah berada di dalam masjid. Shaf pertama masjid mulai dipenuhi santri-santri yang sholat sunnah dan membaca kitab suci Al Qur'an. Tak seperti di masjid-masjid yang berada bukan di pondok pesantren, umumnya masih sepi pada jam-jam menjelang Maghrib. Sebentar lagi masjid akan dipenuhi santri untuk menunaikan sholat Maghrib berjama'ah. Lalu, mereka mengikuti kajian umum yang disampaikan salah satu ustadz pondok pesantren sampai sholat Isya. Dan biasanya setelah sholat Isya, para santri mengulang-ngulang pelajaran dalam kelompok belajar sesuai tingkat masing-masing santri.
Pukul setengah sepuluh malam nanti, kegiatan santri belajar dan kegiatan yang lainnya selesai. Mereka menuju peraduannya di asrama untuk melepas lelahnya dari sehari penuh belajar dan bermain. Masjid menjadi sepi dengan dipadamkannya lampu-lampu. Akupun mungkin telah berada di rumah, sementara para pelaku pondok pesantren akan nyenyak terlelap sepanjang malam. Mereka mengumpulkan energi untuk menghadapi belajar mengajar esok hari. _(ibman)_
***
Kutipan di atas, adalah suatu deskripsi suasana senja hari di suatu pondok pesantren. Semua diungkap secara realistis. Penulis sama sekali tidak menonjolkan penafsirannya atas penggambaran tersebut. Penulis tidak berusaha mempengaruhi pembaca secara terang-terangan dengan rangkaian kata-kata yang sugestif.
Namun, kutipan deskriptif tersebut tetap sedikit memiliki tenaga yang dapat menciptakan kesan, perasaan dan suasana yang dinamis dan kesederhanaan dari aktivitas para santri di pondok pesantren, ketika sore hari. Santri dikaitkan dengan 'kelaparan', dinding asrama yang pecah dan berlobang, lapangan futsal beralas tanah beratap langit, lapangan basket yang tidak rata, dan hiburan satu-satunya. 'Kesedehanaan' adalah gaya hidup santri, bahkan lebih dari itu ada nada "nelongso" atau "kasihan".
Penerapan pendekatan realistis, tidak berarti bahwa deskripsi tersebut kehilangan segi-segi sugestif. Kesan-kesan tetap menjadi dasar dari deskripsi secara tepat, tanpa terbawa hanyutnya emosi penulis.
Yang paling penting dari semua yang diungkapkan di atas, bahwa semua perincian atau detail yang digambarkan harus menunjang efek yang ingin dicapai penulis. Detail-detail haruslah orisinil, tidak dibuat-buat, dan harus dirasakan sebagai suasana yang wajar sehingga mampu meyakinkan pembaca.
Perincian dan detail-detail merupakan alat yang paling efektif untuk *menyampaikan sikap seorang penulis* akan suatu objek. Untuk itulah setiap penulis yang baik, sejak semula ia telah mengerti dan yakin betapa pentingnya detail-detail tersebut. Betapa pentingnya latar tempat, latar waktu, suara atau bebunyian, gerak dan tindak-tanduk dalam mencapai efek yang diharapkannya.
***
Sobat, deskripsi tersebut perlu kita analisis agar kita mengetahui pola, kerangka dan hal-hal lain yang menyifatinya, sehingga kitapun mudah meniru membuat deskripsi yang sejenis, yuk di KLIK /TAP > Analisis "Sepotong Petang di Pondok Pesantren".
Posting Komentar untuk "#05 Teknik Deskripsi dengan pendekatan Realistis"