#02 Kisah Inspiratif ide sendiri "Hanyut" dan analisisnya
Sekarang kita coba membuat Kisah Inspiratif lagi dari salah satu peristiwa yang ada dalam tabel peristiwa yang menarik dan mengandung konflik yang telah disusun.
Yaitu, peristiwa membolos seluruh murid kelas 2A SMP Kristen, Bengkulu karena ingin menonton lomba motorcross, provokator adalah teman sendiri: Benedictus Prastowo dengan nama panggilan: Beni.
Kerangka
1. Awal – a : Deskripsi suasana menghangat diskusi ide membolos untuk menonton lomba motorcross di depan kelas saat momen istirahat dari pelajaran.
2. Tengah – lif : Terjadi penggawatan kondisi ketika keesokan harinya tak ada murid laki-laki yang masuk sekolah, klimaksnya ketua kelas Ngadiman terseret, hanyut ikut membolos.
3. Akhir – ba! : Suasana mereda, ketika keesokan harinya seluruh murid kelas 2A dihukum.
Untuk membaca Cerpen Nonfiksi dengan judul "Hanyut" tersebut silahkan KLIK /TAP > disini
Analisis
Alur atau Plot
Alur atau plot adalah sebuah interrelasi fungsional antara unsur-unsur narasi yang timbul yang berupa:
- Tindak-tanduk
- Karakter
- Suasana hati (pikiran), dan
- Sudut pandangan
Serta ditandai oleh klimaks-klimaks dalam rangkaian tindak-tanduk itu, yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan narasi.
Dengan demikian struktur narasi “Hanyut” sudah tercakup seluruhnya dalam batasan ini, yaitu mencakup unsur-unsur yang membentuk suatu alur (tindak-tanduk, karakter dan sebagainya) dan telah mencakup pula kerangka utama dari sebuah kisah.
Alur merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat dalam narasi itu, yang berusaha memulihkan situasi narasi ke dalam situasi yang seimbang dan harmonis. Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah.
Alur mengatur:
- Bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain,
- Bagaimana suatu insiden mempunyai hubungan dengan insiden yang lain,
- Bagaimana tokoh-tokoh harus digambarkan dan berperan dalam tindakan-tindakan itu, dan
- Bagaimana situasi dan perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam suatu kesatuan dimensi waktu.
Oleh karena itu, baik atau tidaknya penggarapan suatu alur atau plot dapat dinilai dari beberapa hal berikut:
- Apakah tiap insiden susul-menyusul secara logis dan alamiah,
- Apakah tiap pergantian insiden telah cukup terbayang dan dimatangkan dalam insiden sebelumnya atau apakah insiden itu terjadi hanya secara kebetulan?
"Hanyut" cukup memenuhi apa-apa yang telah disebutkan di atas. Terjadi kesinambungan tindakan-tindakan dan insiden-insiden satu sama lain. Dan, tokoh-tokohnya pun berperan bersamaan dengan perasaan-perasaan tokoh yang ikut tergambar dalam kisah tersebut.
Pola Narasi
Cobalah konsentrasi sebentar, bahwa dalam hidup kita ini tak bisa lari dari apa yang namanya waktu. Kehadiran kita dalam dimensi waktu membuat kita sadar ada : Awal dan Akhir, dan kita berada diantaranya. Ada masa lampau, sekarang dan masa depan, tentu saja kita berada di masa sekarang. Ada proses yang menghubungkan titik awal, tengah dan akhir; lampau, kini dan yang akan datang. Itulah alur atau plot itu.
Lihatlah! Selalu ada tiga bagian sebagai struktur dasarnya dalam pengetahuan kita atau cara kita mengetahui dalam dimensi ruang waktu.
Narasi pun mempunyai struktur yang sama. Kisah nyata pun ditulis dari aksara pertama dan berhenti pada titik sebagai akhir, apapun isinya. Dan itu juga terdiri dari struktur tiga bagian: awal, tengah dan akhir adalah struktur alamiah.
Setiap Narasi memiliki sebuah alur atau plot yang didasarkan pada kesinambungan peristiwa-peristiwa dalam narasi itu dalam hubungan sebab-akibat. Ada bagian yang mengawali narasi itu, ada bagian yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari situasi awal dan ada bagian yang mengakhiri narasi itu. Alurlah yang menandai kapan sebuah narasi itu mulai dan kapan berakhir. Alur ditandai oleh puncak atau klimaks dari perbuatan dramatis dalam rentang laju narasi tersebut. Secara skematis alur tersebut mirip sekali dengan struktur a-lif-ba!, disini kita gambarkan kembali:
Akan tetapi dalam kenyataannya, disamping klimaks utama masih terdapat klimaks-klimaks kecil. Atau dengan kata lain, ada sejumlah klimaks yang berbeda yang bergerak menuju klimaks utama. Gambarannya dapat dilihat pada skema di bawah. Garis utuh menyajikan bermacam-macam klimaks menuju klimaks yang tertinggi. Sedangkan garis putus-putus merupakan garis besar alur kisah.
Bagian Awal atau Pendahuluan
Suatu perbuatan atau tindakan tidak akan muncul begitu saja dari kehampaan. Perbuatan harus lahir dari suatu situasi. Situasi tersebut harus mengandung unsur-unsur yang mudah meledak atau mampu meledakkannya. Setiap saat situasi mampu menghasilkan suatu perubahan yang dapat membawa akibat atau perkembangan lebih lanjut di masa depan. Ada situasi yang sederhana, tetapi ada pula situasi yang kompleks. Kompleks tidaknya suatu situasi dapat diukur dari kaitan-kaitan antara satu faktor dengan faktor yang lain, dapat diukur pula dari jumlah faktornya, dan dapat pula dari akibat-akibat yang ditimbulkannya serta rangkaian-rangkaian kejadian selanjutnya.
Dalam menyajikan narasi yang menyangkut fakta, seperti pada narasi “Hanyut”, tugas pertama seorang penulis adalah menganalisa materi untuk memperoleh kepastian dan keyakinan mengenai mana unsur-unsur yang penting, yaitu unsur-unsur mana yang mempunyai daya ledak, agar pembaca dapat memahami perkembangan keadaan selanjutnya.
Kemudian, selanjutnya penulis bertugas menyajikan materinya dalam suatu rangkaian yang menarik, sehingga pembaca bisa menangkap dengan mudah relasi logis antara bermacam-macam unsur tadi, serta menangkap hakikat dari kegawatan situasi itu. Sehingga, pembaca menghayati ketegangan demi ketegangan yang ujung-ujungnya pembaca merasa nikmat dan merasa asyik terhibur.
Berikut kita tampilkan bagian pendahuluan narasi “Hanyut”:
"Kapan lagi? Iko jarang-jarang ado balap motor tril di pantai. Bukan hari Minggu pulo, lhaa cemmano ndak nonton, kito galo sedang sekola ..." Beni teman sekelasku, teman tercerdas di antara teman-teman di kelas 2A, SMP Kristen mulai membuka wawasan pikiran teman-teman satu kelas, dengan menggebu-gebu. Aku mencium aroma pengaruh provokasi yang pekat.
Bagian Tengah atau Perkembangan
Aku melihat bola-bola mata teman-temanku sebagian membulat berbinar. Agaknya, mereka mulai mabuk tergoda dengan hasutan Beni. Apalagi, Beni adalah murid terpintar di kelas kami. Beni punya kharisma tersendiri. Kata-katanya seakan-akan sihir. Akupun tanpa sadar, agak ikut mabuk tergiur dengan modus Beni. Aku mengimajinasikan makhluk-makhluk berkaki bulat dengan telapak-telapak kotak-kotak sangar berseliweran, saling kejar, saling lompat dan melayang seakan tanpa bobot melewati tanjakan-tanjakan bergelombang dan "superbol" dengan gagah berani. Oi! Betapa hebat dan hebohnya. Kami mau tidak mau harus menonton. Ini baru namanya tontonan para lelaki, arena laga para pemberani. Seolah-olah kamilah yang berlaga!"Kito musti nonton! Idak ado kesempatan lagi. Kapan lagi ado balap tril, lhaa setahun sekali mungkin. Tapi sayangnya balap tril itu bukan diadakan hari Minggu. Bagaimana kalau kito idak usah masuk sekolah samo-samo besok?" racun sang penghasut Beni mulai meresap ke dalam aliran darah kami. Darah-darah kami telah terkontaminasi bisa-bisa gelombang suara sihir si Cerdas. Lalu, mendidih dan menggelegak di hati-hati kami.
Sekonyong-konyong kemudian aku teringat sesuatu. Aku baru sadar kalau aku ini ketua kelas 2A. Ah, rupanya aku ikut hanyut arus arung jeramnya Beni, dan hampir terjebak dalam pusarannya. Tidak! Aku harus hadang persekongkolan ini. Aku selalu kena batunya jika teman-teman kelasku 'ngaco'.
Aku terkenang sesuatu sesaat kemudian. Suatu waktu, pada pelajaran bahasa Inggris, guru bahasa Inggris, Ibu Din memerintahkan kami untuk mengikuti membaca beberapa kata-kata bahasa Inggris, agar bacaan kami benar. Celakanya, setelah selesai kata-kata dibaca bersama, tenyata teman-temanku tetap mengikuti kata-kata yang diucapkan Ibu Din walaupun itu kata-kata dalam bahasa Indonesia. Entah siapa yang iseng memulainya. Jangan-jangan Beni juga si biang kerok. Lebih celaka lagi, tak sampai disitu, ketika mata Ibu Din mulai melotot, bola matanya seperti akan keluar, mengeras wajahnya, dan urat-urat lehernya terlihat saling tarik-menarik, teman-temanku sekelas tetap kompak senasib sepenanggungan mengikuti kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Ibu Din.
Begitu selesai di ujung kalimat terakhir pada puncak suhu seratus derajat Celcius darah Ibu Din, Ibu Din tak menunggu lama lagi, gak pake lama, langsung serta-merta angkat kaki dari ruangan kelas. Meluncur, kembali menuju ke ruang guru. Mendarat di singgasananya disana. Cemberut. Ngambek.
Duh, akhirnya siapa lagi yang mewakili seisi kelas untuk meminta maaf kepada Ibu Din kalau bukan aku sebagai ketua kelas. Runyam sudah!
"Jangan, ... Nanti kito akan kena marah dan hukuman!" aku menjerit lirih, meminta belas kasihan teman-temanku yang sudah keblinger bayangan-bayangan motor tril mengudara, berakrobatik, dan kehebatan-kehebatan para penunggangnya yang gagah berani.
"Akhirnyo ambo jugo yang kena, apo idak ingek peristiwa Ibu Din ngambek?" aku mulai berusaha menyadarkan teman-temanku, membangunkan teman-teman yang setengah pingsan akibat biusan si biang kerok, melawan godaan-godaan si jenius yang absurd.
Teman-temanku menatapku. Aku seakan-akan merasa bicara pada teman-temanku yang terhalang kaca tebal kedap suara. Mereka melihatku, tapi tak mampu mendengarku. Mereka seolah-olah menonton filem bisu dan aktornya aku terlihat seperti sedang berteriak-teriak.
"Kito musti kompak, kalo ado apo-apo ya kito tanggung besamo lah," Beni sok mengajak teman-temanku, seolah-olah hasungan menuju kebaikan. Menutupinya dengan solidaritas pertemanan di atas pengorbanan bersama. Beni telah tak perduli dengan nasibku. Padahal ia teman baikku juga. Kesenangan duniawi memang tidak ada kata teman. Yang penting nikmat, sikat!
Omong kosong! Aku tetap tidak setuju. Pelanggaran tetap pelanggaran. Mau diubah kata-katanya dengan apapun, hakekatnya tetap sama. Ini makar terhadap pendidikan namanya. Huh!
"Aku tidak setuju!" tegasku, wajahku dan rahangku mulai mengatup kencang. Aku tak perduli, walaupun ada juga rasa takut berada pada posisi bertentangan dengan Beni.
Wal hasil, suasana istirahat menjadi bukan rehat dan mengendurkan pikiran setelah pusing dengan pelajaran lagi, akan tetapi menjadi letih, bersitegang, dan otak semakin lelah.
Wajah-wajah temanku terlihat datar tanpa ekspresi menatapku. Ada riak-riak resah di mata-mata mereka. Sepertinya api telah terlalu besar, menjilat-jilat liar, sedangkan aku bagaikan air "blangwir" pemadam kebakaran yang datang terlambat. Airnya sedikit pula. Waduh!
"Teng, teng, teng ...!" bunyi pukulan pada lonceng yang terbuat dari velg truk bekas tanda masuk ke kelas merobek suasana panas kami.
Siang itu, perdebatan aku dan Beni tanpa penyelesaian, apapun yang akan terjadi esok hari.
***
Tapi, eh! Ada yang janggal di dalam kelasku. Teman-teman semakin banyak berdatangan, namun tanpa aku sadari dan akhirnya aku tersadar juga, lho mengapa teman-temanku yang datang perempuan semua? Dimana teman-temanku yang laki-laki? Mengapa hanya aku yang laki-laki? Di seberang sana terdengar bisik-bisik, kasak-kusuk, dan cekakak-cekikik teman-teman perempuanku, sambil melirik aku. Aku mulai panik. Ada apa ini? Woi! dimana kalian para lelaki!
Buntung aku! Aku baru ingat hari ini, hari balap motor tril di pantai Panjang! Bukankah kemarin aku berdebat dengan Beni. Mereka pasti kompak membolos. Waduh bagaimana dengan aku? Malang benar nasibku. Aku ketua kelas. Aku tetap masuk sekolah? Dan, belajar di antara teman-teman perempuanku, aku hanya sendiri "til" laki-lakinya. Malu? Pasti! Mereka pasti mengolok-olok Diman banci, Diman banci! Diman teman-temannya perempuan. Tuh, lihat!
Namun, ada gelombang suara seolah berdesis sejuk dalam hatiku, "Diman kamu di atas kebenaran, kenapa takut? Berdirilah dengan gagah membawa bendera kebenaran, walaupun engkau sendiri."
Bagaimana ini? Aku lihat jam tanganku. Jam 06.55. Lima menit lagi lonceng velg bekas itu berdentang. Aduuh, tolooong hatiku melolong. Aku ingat-ingat teman-temanku kemaren kasak-kusuk. Aku masih bisa mendengar mereka akan kumpul di rumah Ndang yang di pinggir pantai sebelum ke pantai Panjang.
Tetapi, jika aku ikut mereka tentu aku mengkhianati pendirianku. Aku jadi bajingan pendidikan.
Tiga menit lagi.
Kepalaku berputar ke kanan dan ke kiri. Celingak celinguk. Guru-guru mulai berdatangan. Aku bisa lihat, tentu saja mereka lewat depan kelas 2A. Ruang guru di sebelah. Jangan-jangan ada guru yang lihat. Dan, bertanya kenapa kelas 2A perempuan semua. Gawat!
Aku melirik jam tangan, dua menit lagi.
Tentu aku yang akan ditanya. Aku lelaki satu-satunya. Aku ketua kelas. Ketua kelas. Ketua...
Satu menit lagi.
***
Bagian Akhir atau Penutup
Titik dimana tenaga-tenaga atau kekuatan-kekuatan yang diemban dalam situasi yang tercipta sejak semula membersit keluar dan menemukan pemecahannya.
Akhir dari suatu tindakan yang berbentuk sederhana adalah kesadaran baru yang timbul pada tokoh-tokoh yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam kisah.
"Ahaa, selamat datang Dimaaann...." senyum Ndang merekah seolah menyambut tamu agung. Ndang berdiri di depan rumahnya dengan tangan terbuka. Semua teman-teman laki-laki kelasku yang lainnya telah ada. Ada Beni. Mereka semua - untuk saat ini – wajah-wajah mereka aku lihat seperti wajah Beni semua. Huh! Sebal aku rasanya. Aku seperti anak kecil terseret ombak laut semakin ke tengah lautan tanpa daya, sedang aku meronta-ronta. Aku ingin berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar. Badanku hanyut ke tengah samudra, tapi jiwaku masih di tepi pantai. Tubuhku terbawa ke rumah Ndang, tetapi jiwaku tetap ada di kelas 2A.
Akhirnya, kami semua murid laki-laki kelas 2A sampai di pantai Panjang. Apapun yang aku tonton menjadi tak menarik lagi bagiku. Pandanganku kemana, pikiranku kemana. Inikah dunia paralel itu? Sejatinya aku adalah satu, tetapi hidup di dua dunia. Pantai Panjang dan kelas 2A.
Hanya satu yang senantiasa menjadi fokus pikiranku: apa yang akan kami hadapi di sekolah esok hari?
"Ayo yang tegap, jangan lemes begitu!" bentak pak Darto guru matematika kami.
"Ini juga, kamu yang tegap!" gelegar kalimat keluar dari pita suara pak Darto kembali.
“Beeegghh!!” pak Darto yang badannya kekar dan besar melontarkan kepalan tangannya dengan secepat petinju juara kelas berat World Champion ke arah temanku sekelas.
Nafasku tertahan. Ternyata tinju pak Darto yang kuat itu tidak sampai menyentuh sedikitpun pada tubuh temanku. Pak Darto hanya berpura-pura akan menghantam, dan ia hanya memukul dadanya sendiri, sehingga menimbulkan suara berdebam. Namun, cukup mengejutkan dan seperti pukulan betulan. Kami menciut. Mengkeret.
"Kalian gagah berani ketika membolos, menonton tontonan para lelaki. Sekarang kalian harus tegar juga menjalani resikonya! Kalian laki-laki!" hardik pak Darto kembali hampir-hampir merobek gendang-gendang suara telinga kami.
Siang itu, kami seluruh murid laki-laki kelas 2A berbaris memanjang satu baris. Berdiri di halaman sekolah kami yang terletak di tengah-tengah sekolah. Halaman itu dikelilingi kelas-kelas dalam formasi berbentuk huruf U. Sehingga kami semua tampak oleh mata-mata seluruh murid sekolah dari semua penjuru sekolah.
Mentari memanggang kami, entah sampai kapan.
***
Titik dimana perbuatan dan tindak-tanduk dalam seluruh narasi itu memperoleh maknanya yang bulat dan penuh.
Pada bagian ini, merupakan:
Titik dimana para pembaca terangsang untuk melihat seluruh makna kisah. Bagian ini sekaligus merupakan titik dimana struktur dan makna memperoleh fungsinya sebulat-bulatnya.
Dengan kata lain, bagian penutup merupakan:
Titik tempat pembaca sepenuhnya merasa, bahwa struktur dan makna sebenarnya merupakan unsur dari persoalan yang sama. Keduanya adalah persoalan itu sendiri.
Hal yang menjadi pangkal bagi persoalan yang baru akan timbul.
Siang itu, kami seluruh murid laki-laki kelas 2A berbaris memanjang satu baris. Berdiri di halaman sekolah kami yang terletak di tengah-tengah sekolah. Halaman itu dikelilingi kelas-kelas dalam formasi berbentuk huruf U. Sehingga kami semua tampak oleh mata-mata seluruh murid sekolah dari semua penjuru sekolah.
Mentari memanggang kami, entah sampai kapan.
***
Posting Komentar untuk "#02 Kisah Inspiratif ide sendiri "Hanyut" dan analisisnya"