#03 Struktur Perbuatan dalam Kisah Inspiratif
Ciri utama dari sebuah narasi adalah aksi atau tindak-tanduk. Tanpa rangakaian tindak-tanduk, maka narasi itu akan berubah menjadi suatu Deskripsi (penggambaran) yang bersifat statis. Rangkaian perbuatan atau tindakan menjadi landasan utama untuk terciptanya sifat dinamis pada narasi.
Rangkaian tindakan itu membuat kisah tersebut hidup.
Tindak-tanduk atau perbuatan sebagai suatu unsur dalam alur (di samping karakter, latar dan sudut pandangan) juga merupakan sesuatu yang berbentuk struktur. Struktur perbuatan dapat ditinjau dari komponen-komponen perbuatan itu sendiri, tapi dapat pula dilihat dari kaitannya dengan faktor-faktor lain.
Komponen-komponen perbuatan
Pertama, struktur perbuatan dapat dianalisa atas komponen-komponen yang lebih kecil yang bersama-sama menciptakan perbuatan itu. Bila dalam narasi diceritakan mengenai seseorang yang marah yang dilakukan seorang guru bahasa Inggris, Ibu Din kepada para muridnya dalam Kisah Inspiratif “Hanyut”, maka perbuatan tindakan marah tersebut dapat dikisahkan dalam sejumlah komponen, dan tak tertulis satu pun kata “marah”. Narator akan menceritakan:
… Lebih celaka lagi, tak sampai disitu, ketika mata Ibu Din mulai melotot, bola matanya seperti akan keluar, mengeras wajahnya, dan urat-urat lehernya terlihat saling tarik-menarik, teman-temanku sekelas tetap kompak senasib sepenanggungan mengikuti kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Ibu Din.
Begitu selesai di ujung kalimat terakhir pada puncak suhu seratus derajat Celcius darah Ibu Din, Ibu Din tak menunggu lama lagi, gak pake lama, langsung serta-merta angkat kaki dari ruangan kelas. Meluncur, kembali menuju ke ruang guru. Mendarat di singgasananya disana. Cemberut. Ngambek.
Semua unsur yang diungkapkan itu bersama-sama meciptakan pengertian “marah”. Unsur-unsur itulah komponen-komponen yang membentuk struktur suatu perbuatan.
Satu contoh lagi, deskripsi menangisnya anak kecil yatim piatu yang merasa sepi tanpa ayah ibu ketika malam Iedul Fithri, dari salah seorang penulis:
Satu bulir air akhirnya merekah, menggelayut di pelupuk mata Rinai. Pelan kristal air itu bergulir menggelinding. Membentuk parit di pipi. Membentuk gurat kemilau di lesung. Tetes air itu terdiam sejenak di dagu. Menumpuk. Membesar. Kemudian dalam gerakan lambat yang pilu, terlepaskan. P-e-r-l-a-h-a-n.
Dalam penjelasan di atas, tampak bahwa perbuatan itu mempunyai struktur. Dalam narasi, tiap tindakan harus diungkapkan secara terperinci dalam komponen-komponennya, sehingga pembaca merasakan seolah-olah mereka sendirilah yang menyaksikan semua itu. Mereka tidak membaca kata-kata umum untuk penyampaian suatu perbuatan, tetapi mereka menyerap dan meresapi tindakan itu melalui perincian-perincian perbuatan itu.
Kita mengenal istilah "show don't tell". Itulah dia. Tunjukkan, jangan ceritakan. Imajinasi pembaca terstimulasi dengan penggambaran komponen-komponen perbuatan secara rinci dari penulis.
Hubungan logis dalam rangkaian tindakan
Kedua, kita melihat bahwa setiap perbuatan atau rangakaian tindakan itu harus dijalin satu sama lain dalam suatu hubungan yang logis, suatu hubungan yang masuk akal.
Hubungan yang logis antara tindak-tanduk dalam suatu narasi akan timbul sebagai kausalitas, sebagai akibat hukum sebab-akibat.
Suatu perbuatan akan menimbulkan perbuatan yang lain, sehingga terjadi rangkaian perbuatan.
Oleh sebab itu, perbuatan atau tindak-tanduk dalam sebuah narasi harus dilihat sebagai suatu arus gerak yang berkesinambungan mengikuti searah dengan waktu. Dengan demikian, rangkaian tindakan tersebut dapat dilihat baik sebagai rangkaian adegan-adegan, tetapi dapat juga dilihat sebagai suatu kesatuan yang diikat oleh waktu.
Waktu, dengan demikian ia merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada untuk mengukur perbuatan sebagai proses.
Namun, disamping kausalitas dan waktu, kita juga perlu mempersoalkan apakah perbuatan itu terjadi dengan sendirinya atau harus diperankan oleh suatu faktor. Sebab itu, unsur karakter atau tokoh juga merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam suatu perbuatan. Dan, karena narasi harus dikisahkan kepada pembaca bukan supaya ia mengetahui peristiwa itu, maka harus tersirat pula persoalan makna sebuah narasi.
Oleh sebab itu, berbicara mengenai struktur perbuatan kita harus berbicara juga mengenai beberapa kaitannya:
- Sebab-akibat,
- Karakter,
- Waktu,
- Makna, dan masih ada satu lagi,
- Konflik yang merupakan hasil dari interaksi antar karakter atau tokoh-tokoh yang dikisahkan.
Memang interaksi antar karakter tidak harus menghasilkan konflik, tetapi penggawatan dan komplikasi tidak mungkin tercapai tanpa ada konflik antar tokoh. Justru unsur konfliklah yang menciptakan ketegangan, dan konfliklah yang memberikan peranan terbesar dalam menimbulkan keingin-tahuan dan perasaan penasaran para pembaca. Karena terdapat konflik antar tokoh dalam narasi, maka usaha untuk menyelesaikan konflik itu memperoleh makna yang sesungguhnya. Peleraian terjadi bila semua konflik yang timbul sejak situasi awal sampai pada puncak penggawatan atau klimaks dapat diselesaikan dengan memuaskan.
Untuk memahami persoalan gerak yang diukur dalam waktu, beserta akibat yang ditimbulkannya, kita coba lihat salah satu bagian pada narasi “Hanyut”:
Beni adalah murid terpintar di kelas kami. Beni punya kharisma tersendiri. Kata-katanya seakan-akan sihir.
***
Postur tubuh Beni kecil agak pendek, dan berkulit agak keling. Dia ini terkenal murid yang santai sekali. Tak pernah aku melihatnya belajar mengulang-ngulang pelajaran di rumahnya. Walaupun begitu nilai ulangan pelajaran-pelajarannya tak pernah di bawah permukaan angka 90. Angka 90 itu dalam "alam" nya Beni adalah angka minimal. Betul ... Beni ini adalah temanku yang jenius yang pernah aku temui di muka bumi ini.
Fakta berbicara, dan survei membuktikan. Suatu ketika, kami akan menghadapi ulangan umum, yaitu ujian akhir kenaikan kelas. Aku lupa, aku ada keperluan apa ke rumah Beni ... Oh iya, aku ingin pinjam catatan pelajaran dia. Catatan pelajaranku ada yang kurang komplit. Sesampai di rumah Beni, aku melihat dia sedang bermain di halaman rumahnya.
"Ben, kau idak belajar?" tanyaku, tergeleng-geleng anggota tubuhku leher ke atas dengan tatapan keheranan. Ajib!. Kalau aku lho, besok akan ulangan umum, aku sudah "blingsatan" dari sejak pagi, "mantengin" buku pelajaran sampai malam. Keesokannya pagi-pagi belajar lagi, mengulang-ulang apa yang telah aku baca tadi malam. Dari terbit matahari sampai terbit kembali. Aku selalu bersusah payah agar pelajaran betul-betul nyantol di pikiranku.
Beni menimpali dengan kalem, "Santaaai..."
***
Aku terkenang sesuatu sesaat kemudian. Suatu waktu, pada pelajaran bahasa Inggris, guru bahasa Inggris, Ibu Din memerintahkan kami untuk mengikuti membaca beberapa kata-kata bahasa Inggris, agar bacaan kami benar. Celakanya, setelah selesai kata-kata dibaca bersama, tenyata teman-temanku tetap mengikuti kata-kata yang diucapkan Ibu Din walaupun itu kata-kata dalam bahasa Indonesia. Entah siapa yang iseng memulainya. Jangan-jangan Beni juga si biang kerok. Lebih celaka lagi, tak sampai disitu, ketika mata Ibu Din mulai melotot, bola matanya seperti akan keluar, mengeras wajahnya, dan urat-urat lehernya terlihat saling tarik-menarik, teman-temanku sekelas tetap kompak senasib sepenanggungan mengikuti kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Ibu Din.
Begitu selesai di ujung kalimat terakhir pada puncak suhu seratus derajat Celcius darah Ibu Din, Ibu Din tak menunggu lama lagi, gak pake lama, langsung serta-merta angkat kaki dari ruangan kelas. Meluncur, kembali menuju ke ruang guru. Mendarat di singgasananya disana. Cemberut. Ngambek.
Duh, akhirnya siapa lagi yang mewakili seisi kelas untuk meminta maaf kepada Ibu Din kalau bukan aku sebagai ketua kelas. Runyam sudah!
***
Aku tak peduli, walaupun ada juga rasa takut berada pada posisi bertentangan dengan Beni.
Beni ini, pernah duel dengan murid kelas lain bernama Yan. Waktu itu aku di posisi Beni, bahkan akulah bersama temanku yang lain, Kris yang mengantar dan mendukung sebagi suporter Beni ke lapangan bola alun-alun kantor gurbernur propinsi Bengkulu sejauh lima menit berjalan kaki dari sekolah kami, untuk duel dengan Yan. Aku lupa apa masalahnya. Jaman itu tak ada yang namanya tawuran atau keroyokan. Kami masih menjunjung tinggi sikap "ksatria" dalam definisi kami sendiri.
Beberapa peristiwa dari “fragmen” di atas tidak diurutkan secara kronologis. Tampak peristiwa-peristiwa itu tidak mempunyai kaitannya sama sekali satu dengan yang lain, maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak membentuk suatu rangkaian perbuatan atau suatu aksi yang lebih besar. Akan tetapi kejadian-kejadian di atas sejatinya mempunyai hubungan saling keterkaitan sebab-akibat (kausalitas) dengan pola waktu kilas-balik (flash back).
Dan, fragmen-fragmen di atas akan mempunyai nilai yang lain sama sekali, setelah kita tahu bahwa kejadian-kejadian di atas mengakibatkan terjadinya kejadian lainnya:
Aku melihat bola-bola mata teman-temanku sebagian membulat berbinar. Agaknya, mereka mulai mabuk tergoda dengan hasutan Beni. Apalagi, Beni adalah murid terpintar di kelas kami. Beni punya kharisma tersendiri. Kata-katanya seakan-akan sihir. Akupun tanpa sadar, agak ikut mabuk tergiur dengan modus Beni. Aku mengimajinasikan makhluk-makhluk berkaki bulat dengan telapak-telapak kotak-kotak sangar berseliweran, saling kejar, saling lompat dan melayang seakan tanpa bobot melewati tanjakan-tanjakan bergelombang dan "superbol" dengan gagah berani. Oi! Betapa hebat dan hebohnya. Kami mau tidak mau harus menonton. Ini baru namanya tontonan para lelaki, arena laga para pemberani. Seolah-olah kamilah yang berlaga!
"Kito musti nonton! Idak ado kesempatan lagi. Kapan lagi ado balap tril, lhaa setahun sekali mungkin. Tapi sayangnya balap tril itu bukan diadakan hari Minggu. Bagaimana kalau kito idak usah masuk sekolah samo-samo besok?" racun sang penghasut Beni mulai meresap ke dalam aliran darah kami. Darah-darah kami telah terkontaminasi bisa-bisa gelombang suara sihir si Cerdas. Lalu mendidih dan menggelegak di hati-hati kami.
Postur tubuh Beni kecil agak pendek, dan berkulit agak keling. Dia ini terkenal murid yang santai sekali. Tak pernah aku melihatnya belajar mengulang-ngulang pelajaran di rumahnya. Walaupun begitu nilai ulangan pelajaran-pelajarannya tak pernah di bawah permukaan angka 90. Angka 90 itu dalam "alam" nya Beni adalah angka minimal. Betul ... Beni ini adalah temanku yang jenius yang pernah aku temui di muka bumi ini.
Fakta berbicara, dan survei membuktikan. Suatu ketika, kami akan menghadapi ulangan umum, yaitu ujian akhir kenaikan kelas. Aku lupa, aku ada keperluan apa ke rumah Beni ... Oh iya, aku ingin pinjam catatan pelajaran dia. Catatan pelajaranku ada yang kurang komplit. Sesampai di rumah Beni, aku melihat dia sedang bermain di halaman rumahnya.
"Ben, kau idak belajar?" tanyaku, tergeleng-geleng anggota tubuhku leher ke atas dengan tatapan keheranan. Ajib!. Kalau aku lho, besok akan ulangan umum, aku sudah "blingsatan" dari sejak pagi, "mantengin" buku pelajaran sampai malam. Keesokannya pagi-pagi belajar lagi, mengulang-ulang apa yang telah aku baca tadi malam. Dari terbit matahari sampai terbit kembali. Aku selalu bersusah payah agar pelajaran betul-betul nyantol di pikiranku.
Beni menimpali dengan kalem, "Santaaai..."
Sekonyong-konyong kemudian aku teringat sesuatu. Aku baru sadar kalau aku ini ketua kelas 2A. Ah, rupanya aku ikut hanyut arus arung jeramnya Beni, dan hampir terjebak dalam pusarannya. Tidak! Aku harus hadang persekongkolan ini. Aku selalu kena batunya jika teman-teman kelasku 'ngaco'.
Aku terkenang sesuatu sesaat kemudian. Suatu waktu, pada pelajaran bahasa Inggris, guru bahasa Inggris, Ibu Din memerintahkan kami untuk mengikuti membaca beberapa kata-kata bahasa Inggris, agar bacaan kami benar. Celakanya, setelah selesai kata-kata dibaca bersama, tenyata teman-temanku tetap mengikuti kata-kata yang diucapkan Ibu Din walaupun itu kata-kata dalam bahasa Indonesia. Entah siapa yang iseng memulainya. Jangan-jangan Beni juga si biang kerok. Lebih celaka lagi, tak sampai disitu, ketika mata Ibu Din mulai melotot, bola matanya seperti akan keluar, mengeras wajahnya, dan urat-urat lehernya terlihat saling tarik-menarik, teman-temanku sekelas tetap kompak senasib sepenanggungan mengikuti kalimat-kalimat yang keluar dari lisan Ibu Din.
Begitu selesai di ujung kalimat terakhir pada puncak suhu seratus derajat Celcius darah Ibu Din, Ibu Din tak menunggu lama lagi, gak pake lama, langsung serta-merta angkat kaki dari ruangan kelas. Meluncur, kembali menuju ke ruang guru. Mendarat di singgasananya disana. Cemberut. Ngambek.
Duh, akhirnya siapa lagi yang mewakili seisi kelas untuk meminta maaf kepada Ibu Din kalau bukan aku sebagai ketua kelas. Runyam sudah!
"Jangan, ... Nanti kito akan kena marah dan hukuman!" aku menjerit lirih, meminta belas kasihan teman-temanku yang sudah keblinger bayangan-bayangan motor tril mengudara, berakrobatik, dan kehebatan-kehebatan para penunggangnya yang gagah berani.
"Akhirnyo ambo jugo yang kena, apo idak ingek peristiwa Ibu Din ngambek?" aku mulai berusaha menyadarkan teman-temanku, membangunkan teman-teman yang setengah pingsan akibat biusan si biang kerok, melawan godaan-godaan si jenius yang absurd.
Teman-temanku menatapku. Aku seakan-akan merasa bicara pada teman-temanku yang terhalang kaca tebal kedap suara. Mereka melihatku, tapi tak mampu mendengarku. Mereka seolah-olah menonton filem bisu dan aktornya aku terlihat seperti sedang berteriak-teriak.
"Kito musti kompak, kalo ado apo-apo ya kito tanggung besamo lah," Beni sok mengajak teman-temanku, seolah-olah hasungan menuju kebaikan. Menutupinya dengan solidaritas pertemanan di atas pengorbanan bersama. Beni telah tak perduli dengan nasibku. Padahal ia teman baikku juga. Kesenangan duniawi memang tidak ada kata teman. Yang penting nikmat, sikat!
Omong kosong! Aku tetap tidak setuju. Pelanggaran tetap pelanggaran. Mau di ubah kata-katanya dengan apapun, hakekatnya tetap sama. Ini makar terhadap pendidikan namanya. Huh!
"Aku tidak setuju!" tegasku, wajahku dan rahangku mulai mengatup keras.
Aku tak peduli, walaupun ada juga rasa takut berada pada posisi bertentangan dengan Beni.
Beni ini, pernah duel dengan murid kelas lain bernama Yan. Waktu itu aku di posisi Beni, bahkan akulah bersama temanku yang lain, Kris yang mengantar dan mendukung sebagi suporter Beni ke lapangan bola alun-alun kantor gurbernur propinsi Bengkulu sejauh lima menit berjalan kaki dari sekolah kami, untuk duel dengan Yan. Aku lupa apa masalahnya. Jaman itu tak ada yang namanya tawuran atau keroyokan. Kami masih menjunjung tinggi sikap "ksatria" dalam definisi kami sendiri.
Wal hasil, suasana istirahat menjadi bukan rehat dan mengendurkan pikiran setelah pusing dengan pelajaran lagi, akan tetapi menjadi letih, bersitegang, dan otak semakin lelah.
Wajah-wajah temanku terlihat datar tanpa ekspresi menatapku. Ada riak-riak resah di mata-mata mereka. Sepertinya api telah terlalu besar, menjilat-jilat liar, sedangkan aku bagaikan air "blangwir" pemadam kebakaran yang datang terlambat. Airnya sedikit pula. Waduh!
"Teng, teng, teng ...!" bunyi pukulan pada lonceng yang terbuat dari velg truk bekas tanda masuk ke kelas merobek suasana panas kami.
Siang itu, perdebatan aku dan Beni tanpa penyelesaian, apapun yang akan terjadi esok hari.
Dalam contoh bagian narasi di atas, semua bagian digerakkan untuk membentuk suatu tindakan yang lebih besar dengan hubungan kausalitas sebab-akibat dengan sesekali memakai dimensi waktu kilas-balik. Peristiwa-peristiwa yang tadinya terlepas satu sama lain, sekarang dihubungkan atau dikaitkan satu sama lain. Hubungan ini memungkinkan kita tidak saja memperoleh suatu kerangka yang jelas, tetapi juga memperoleh suatu makna yang jelas. Berdasarkan kesatuan dan makna itu, kita dapat lagi melanjutkan narasi, khususnya akibat dari gagasan “membolos bersama-sama untuk menonton balap motorcross” dalam narasi “Hanyut”.
Faktor yang paling penting adalah: rangkaian tindakan itu mempunyai kesatuan dan makna. Kesatuan dan makna mencakup pengertian bahwa suatu hal selalu mengakibatkan hal yang lain. Ada beberapa fragmen dalam narasi “Hanyut” yang fragmen-fragmen tersebut saling terkait secara kausalitas:
- Fragmen tentang “Beni yang cerdas dan punya kharisma tersendiri” mengakibatkan mudahnya teman-temannya terpengaruh, yang juga membuat peringatan “aku” untuk tidak membolos tidak membawa pengaruh sama sekali.
- Fragmen guru bahasa Inggris Ibu Din marah mengakibatkan tersadarnya “aku” sebagai ketua kelas yang akan menanggung resiko jika terjadi kembali kenakalan pada teman-teman kelasnya.
- Fragmen perkelahian Beni dengan Yan mengakibatkan rasa takut “aku” kepada Beni.
Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan dalam kesatuan yang lebih besar lagi, yaitu peristiwa-peristiwa yang membentuk dan mengakibatkan puncak peristiwa klimaks yaitu: hanya hadirnya teman-teman perempuan pada hari pembolosan para murid laki-laki klas 2A SMP Kristen yang tanpa disadari “aku” sebagai ketua kelas karena lupa akan kejadian perdebatan rencana akan membolos pada hari sebelumnya.
Semua unsur perbuatan tampak dengan jelas dalam kausalitas. Unsur waktu juga sangat penting dalam menjaga kesatuan narasi, serta maknanya. Hanya saja unsur waktu dalam narasi “Hanyut” sengaja beberapa fragmen disusun secara kilas-balik (flash back) untuk menjelaskan sebab-sebab “mudahnya teman-teman terpengaruh, tersadarnya “aku” sebagai ketua kelas dan takutnya “aku” kepada Beni”. Sehingga, jika dijelaskan sebab-sebabnya secara kilas-balik, posisi paragraf-paragraf sebab tersebut berdekatan dengan paragraf-paragraf akibat akan menimbulkan kesan memperkuat akibat-akibatnya dan memberi efek dramatis.
Posting Komentar untuk "#03 Struktur Perbuatan dalam Kisah Inspiratif"