#03 Bidang-bidang Deskripsi Orang yang tak tampak
Eits! sebentar ... sudah baca postingan Bidang-bidang Deskripsi Orang (2) belum? Jika belum KLIK /TAP > DISINI. Jika sudah abaikan. Yuk! lanjut baca.
Kali ini kita akan bahas bidang-bidang yang mampu kita tampilan sebagai deskripsi orang dari hal-hal yang sulit terlihat oleh pancaindera kita. Akan tetapi tetap sanggup kita lihat dari tanda-tanda fisik yang nampak.
Bidang Perasaan
Antara tubuh dan jiwa terdapat pertalian yang sangat erat. Pertalian itu dapat diungkapkan dengan berbagai cara.
Ketiga bidang dalam deskripsi seorang tokoh, yaitu Bidang Fisik, Milik dan Tindakan semata-mata memperlihatkan apa yang nampak, dan tidak mempersoalkan apa yang ada di balik tirai fisik manusia. Nah, sekarang kita akan membahas bidang yang berlawanan dari ketiga bidang tersebut, yaitu mencoba melihat adakah pertalian antara yang fisik dan jiwa. Yakni, deskripsi tentang perasaan seseorang.
Bagaimana mungkin, perasaan yang merupakan suatu hal yang tak dapat disentuh oleh tangan, keadaan yang tidak memiliki kehadiran fisik, dan situasi yang tak ada daya tarik pada pancaindera itu sanggup dideskripsikan?
Perasaan atau pikiran seseorang, betul memang tak dapat dicerap oleh pancaindera, namun kita yakin dan tahu, menurut pengalaman bahwa apa-apa yang terlihat pada fisik seseorang itu adalah interpretasi dari apa-apa yang ada di dalam pikiran, perasaan dan hati seseorang. Sesuatu yang letaknya di dalam memang sulit dilihat, tetapi dapat ditafsirkan dari tanda-tanda yang nampak diluar. Yang zhahir atau yang lahir menunjukkan batin atau jiwa. Maka dari itu, suatu perasaan itu sanggup dideskripsikan dengan fisik tubuh seseorang.
Seorang yang berada dalam keadaan sedih atau tertimpa musibah, akan terlihat murung, wajahnya tidak tampil segar dan bercahaya layaknya ketika ia dalam keadaan gembira dan bahagia. Kemurungan adalah sifat batin, tetapi tetap akan terpancar pada air muka dan bahkan juga pada gerak-gerik seseorang. Pancaran sinar mata yang redup pada orang yang dirundung kesedihan, gerak bibir yang gemetar, warna kulit paras yang memucat dan sebagainya merupakan petunjuk yang tak dapat disangkal tentang perasaan murung pada tokoh tersebut.
Coba perhatikan teks-teks berikut dalam paragraf episode "Nyaris":
Wajah Bapak nampak mengeras. Aku bisa melihat jelas rahang gigi Bapak mengatup kencang. Tak ada senyum lagi disana. Mata Bapak tidak fokus lagi. Bola matanya bergerak-gerak. Bapak menoleh ke kursi-kursi penumpang di depan dan belakang tempat Ibu dan kakak-kakakku duduk. Bapak juga sibuk memakaikan pelampung pada kakak-kakakku. Ibu telah memakainya. Ayah mengangguk kepada Ibu, seperti ada yang dipastikan bahwa semua baik-baik saja.
Ada apa ini? Apakah ada yang tidak beres? Aku merasakan suasana yang ganjil. Suasana dalam pesawat agak rusuh. Apa yang telah terjadi?
Perhatikan, betapa perasaan sang Bapak dilukiskan. Perasaan panik dan tegang memang tak dapat dicerap oleh pancaindera karena itu berada di dalam yaitu di hati, di jantung Bapak, tetapi deskripsi tentang gestur wajahnya, matanya, gerak-gerik kepalanya, sikapnya dan sebagainya, itu semua tak dapat membohongi perasaan Bapak.
Jadi deskripsi perasaan mampu dilahirkan dalam perbuatan-perbuatan atau gerak-gerik yang mencocoki. Dan, rincian detail-detail fisik tubuh itu dapat disimpulkan dalam satu perasaan umum yang dimaui penulis, seperti kata "panik" dan "tegang" pada contoh di atas tadi.
Bidang Watak
Bidang terakhir dari deskripsi orang adalah adalah watak seorang tokoh. Dan, ini adalah yang paling sulit untuk dideskripsikan, bahkan lebih sulit daripada bidang perasaan.
Mengapa?
Layaknya perasaan, watak juga merupakan segi kemanusiaan yang berposisi di balik dinding imajiner fisik manusia. Perbedaannya dengan perasaan hanya soal waktu. Perasaan merupakan peristiwa jiwa yang berlangsung hanya sesaat atau terjadi pada momen-momen tertentu saja. Sedangkan watak, lebih cenderung menetap dan bertahan lebih lama atau lebih permanen dalam kalbu seseorang.
Karena watak mempunyai durasi yang lebih lama dari perasaan, maka sering menyebabkan para penulis kisah nyata sering terjadi kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan atau menyimpulkan watak seseorang yang ingin ditulisnya berdasarkan data-data riset yang ia kumpulkan. Kesimpulan yang tepat tentang watak seorang tokoh musti dianalisa, dan direnungkan cukup lama sampai mendapat suatu kesimpulan yang valid tentang watak tokoh tersebut.
Walaupun watak dirasakan suatu bidang yang cukup pelik dan sulit, akan tetapi ia mengandung kekuatan yang dapat dimanfaatkan dalam tulisan kisah yang berbobot. Dengan latihan-latihan yang terus-menerus yang dilakukan seorang penulis, penulis dapat mengumpulkan detail-detail dari tindak-tanduk, wujud fisik, suasana yang dimasuki tokoh, dialog-dialog yang terjadi, reaksi-reaksi dari tokoh-tokoh lainnya dan informasi tentang psikis tokoh, sehingga mendapat rumusan pasti tentang watak tokoh yang akan ditulisnya.
Terkadang, ada beberapa detail-detail dari hal-hal di atas kurang mendukung watak yang telah disimpulkan. Itu mungkin saja terjadi, karena pada awalnya penulis mengumpulkan seluruh data secara acak. Setelah itu, dapat dilihat kejadian-kejadian tersebut, manakah yang mendominasi atau apa saja yang menjadi mayoritas mempunyai kesamaan sifat dalam mendukung kesimpulan watak yang ada pada tokoh. Tentu saja, yang tidak mendukung biasanya tidak mendominasi atau hanya sebagian kecil saja. Nah, detail-detail yang minoritas dan tidak mendukung watak yang telah disimpulkan, hendaknya dilupakan, dihindari dan tidak dipakai saja. Karena, jika unsur-unsur tersebut tetap dimasukkan dalam kisah, itu akan melemahkan, menjadikan kabur, dan menghilangkan tenaga penekanan pada watak utama yang telah ditemukan.
Coba kita teliti paragraf-paragraf dalam episode-episode berikut, sehingga kita dapat simpulkan watak tokoh utamanya:
Daripada bosan menunggu, aku membuang-buang pandangan dan menstimulasi pikiran-pikiranku terhadap apa yang aku lihat. Dan, memang walaupun aku tak suka berinteraksi dengan orang lain, akan tetapi aku selalu sibuk dengan pikiranku dikarenakan aku suka dengan buku, aku haus untuk membaca dan membaca. Kutu buku.
***
Selera makanku langsung merasuki lambungku. Aku menunjuk lembaran setangkup roti tawar dengan isi potongan-potongan daging ayam. Lalu, aku menunjuk dengan telunjukku kembali pada salah satu minumannya. Tak berapa lama, aku telah sibuk dengan pisau dan garpu plastik yang melengkapi tangkupan roti tawar itu. Pandanganku sesekali tak mau lepas dari vista bingkai jendela yang berbentuk segi empat dengan sudut-sudutnya yang tumpul membulat. Oi, betapa nikmatnya ! Nikmat mana lagi yang hendak engkau dustakan Man?
***
Akan tetapi, Bapak diam saja. Tak berkata satu katapun. Demikian pula Aku ingin bertanya, tetapi mulutku terkunci rapat. Aku jarang sekali bertanya-tanya, apalagi sekedar berkata-kata yang tidak ada keperluannya. Aku selalu takut untuk memulai sesuatu. Namun, aku adalah anak yang tidak pernah diam berpikir. Aku selalu ingin tahu sesuatu, ingin mencoba sesuatu. Aku merasakan ada kejanggalan suasana. Akan tetapi karena ini adalah pengalaman pertama menaiki pesawat terbang, maka terjadilah pertentangan nalar yang berkecamuk dalam pikiranku. Apakah memang demikianlah keadaannya jika naik pesawat terbang? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang dalam kepalaku, tanpa berani mencari jawabannya.
Suasana rusuh sudah agak padam. Ruang pesawat kembali tenang, tapi Aku masih merasakan adanya ketegangan. Bisikan-bisikan, kasak-kusuk para penumpang masih menyebar di langit-langit pesawat. Baiklah, aku ikuti saja apa yang akan terjadi.
***
Tapi sebentar-sebentar! Lihatlah di atas gedung lapangan terbang ada tulisan sangat besar, "K E M A Y O R A N". Aku lambat laun berpikir. Lho, ini dimana? Apakah nama lapangan terbang di kota Bengkulu sama dengan di Jakarta? Tak mungkin! Aku sontak menatap Bapak dengan wajah banjir pertanyaan.
Bapak segera menyadari maksud tatapanku. Bapak tersenyum, mengangguk. Ya, nanti, nanti penjelasannya. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu.
***
"Pokoknya aku mau tidur di atas," aku "kekeh" pada keinginanku. Sesekali aku memanjakan keinginanku, aku rasa tak mengapa. Masa' hidup ini harus selalu menuruti perkataan Bapak dan Ibu. Selama ini aku selalu terpenjara dengan aturan-aturan ketat bahkan menurutku keras. Apa-apa tidak boleh. Semua kegiatan dijadwal dalam suatu daftar kegiatan harian yang ditempel di dinding kamarku oleh Ibu. Ada jam tidur siang, jam makan, jam belajar, jam bermain itupun tidak boleh keluar halaman rumah, jam tidur malam dan lain-lain kegiatan yang di atur menit demi menit. Melanggar sedikit, maka sapu lidi, gayung kamar mandi dan cubitan pada paha yang berbicara. Ya, nasib.
***
Tulang tangan kananku lepas? Aduh bagaimana ini? Aku mulai panik. Bagaimana aku nanti sekolah? Bisakah aku menulis? Sebentar lagi masuk sekolah ... Liburan sebentar lagi usai. Aku paling takut jika tidak bisa sekolah. Ibuku mendidik secara disiplin dan keras agar aku selalu belajar dengan tekun, sehingga nilai-nilai pelajaranku tak pernah di bawah sembilan, lebih sering angka sepuluh. Senantiasa juara di kelas mengalahkan teman-temanku sekelas. Aku sangat malu dan merasa bersalah jika salah satu saja nilai ulangan pelajaranku di bawah angka sembilan.
Tanpa mampu aku kendalikan, tiba-tiba kedua bola mataku terasa hangat, dan semakin hangat dan akhirnya panas, membuat meleleh bulir-bulir air di dalamnya. Mataku lambat laun dibanjiri bulir-bulir itu yang semakin membanjir. Dan, akhirnya tumpah, terjun bagai air terjun di pipiku. Perasaanku teraduk-aduk antara nyeri di tangan kananku dan pedih di dalam sanubariku. Aku seperti pesakitan tertuduh atas kecerobohan dan penentanganku terhadap larangan Bapak dan Ibu tadi malam. Apalah mau dikata, akibat ini harus aku terima.
***
Imajinasi dan khayalanku menggelembung. Membuncah. Aku gelisah. Aku menatap jam dinding. Jam dua siang. Masih setengah jam lagi. Rumah sepi. Suara Ibu tak terdengar lagi. Pasti sudah lelap. Aku sudah tak bisa bertahan lagi. Seakan peraturan Ibu belum pernah kudengar. Aku menghambur keluar rumah. Mobil-mobilan truk kayu kusambar.
***
"Sholat Jum'at?" pertanyaan itu bertubi-tubi menghujani benakku. Kemana gerangan temanku si Ato itu siang-siang begini ? Apakah 'sholat Jum'at' itu sama dengan acara hari Raya di hari Jum'at ?. Siang itu menyisakan pertanyaan yang tak terjawab bagiku.
***
Aku melihat mata-mata temanku sebagian besar berbinar. Agaknya mereka mulai tergoda dengan hasutan Beni. Apalagi, Beni adalah murid terpintar di kelas kami. Beni punya kharisma tersendiri. Kata-katanya seakan-akan sihir. Akupun tanpa sadar, agak tergiur dengan wacana Beni. Aku membayangkan sepeda-sepeda motor tril berseliweran, saling kejar, saling melayang melewati tanjakan-tanjakan bergelombang dan "superbol" dengan gagah berani. Oi ! Betapa hebatnya. Kami harus menonton. Ini baru namanya tontonan para lelaki.
"Kita musti nonton! Idak ado kesempatan lagi. Kapan lagi ado balap tril, lhaa setahun sekali mungkin. Tapi sayangnya balap tril itu bukan diadakan hari Minggu. Bagaimana kalau kito idak usah masuk sekolah samo-samo besok?" racun sang penghasut Beni mulai meresap ke dalam aliran darah kami. Lalu mendidih di hati-hati kami.
***
Sekonyong-konyong aku teringat sesuatu. Aku baru sadar kalau aku ini ketua kelas 2A. Ah, rupanya aku ikut hanyut arusnya Beni. Tidak! Aku harus cegah. Aku selalu kena batunya jika teman-teman kelasku 'ngaco'
***
"Jangan, ... Nanti kito akan kena marah dan hukuman!" aku menjerit lirih, meminta belas kasihan teman-temanku yang sudah keblinger bayangan-bayangan motor tril mengudara, berakrobatik, dan kehebatan-kehebatan para pengendaranya yang gagah berani.
"Akhirnyo ambo jugo yang kena, apo idak ingek peristiwa Ibu Din ngambek?" aku mulai menyadarkan teman-temanku, melawan godaan-godaan si jenius yang absurd.
Teman-temanku menatapku.
"Kito musti kompak, kalo ado apo-apo ya kito tanggung besamo lah," Beni sok mengajak teman-temanku, seolah-olah ajakan menuju kebaikan. Menutupi dengan solidaritas pertemanan di atas pengorbanan bersama. Beni tak perduli dengan nasibku.
Omong kosong! Aku tetap tidak setuju. Pelanggaran tetap pelanggaran. Mau di ubah kata-katanya dengan apapun, hakekatnya tetap sama. Ini makar namanya. Huh!
"Aku tidak setuju!" tegasku, wajahku dan rahangku mulai mengeras.
Aku tak perduli, walaupun takut juga berada di posisi berlawanan dengan Beni.
***
Tapi ada bisikan dalam hatiku, "Diman kamu di atas kebenaran, kenapa takut? Berdirilah dengan gagah membawa bendera kebenaran, walaupun engkau sendiri."
Bagaimana ini? Aku lihat jam tanganku. Jam 06.55. Lima menit lagi lonceng masuk kelas berbunyi. Aduuh, tolooong jerit dalam hatiku. Aku ingat-ingat teman-temanku kemaren kasak-kusuk. Aku masih bisa mendengar mereka akan kumpul di rumah Ndang yang di pinggir pantai sebelum ke pantai Panjang.
Tapi, jika aku ikut mereka tentu aku mengkhianati pendirianku.
***
Aku lihat mimik wajah Hendrik, terlihat raut yang memohon. Sepertinya dia butuh sekali. Untuk apa ya? Masa orang tuanya tidak memberi uang. Tapi karena kesantunan Hendrik dalam menyampaikan, maka aku tepis pertanyaan-pertanyaan dalam benakku itu. Aku kasihan.
***
Selang waktu beberapa lama, bahkan telah lama sekali, aku mulai merasa aneh dengan Hendrik ini. Setiap ada kemungkinan bertemu, berpapasan, dia selalu menghindariku. Ada apa? Aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Dan lagi, aku baru ingat, jaket hoodie parasitku belum dikembalikan kepadaku. Aku sampai lupa, berarti memang sudah lama sekali. Belum lagi, hutang yang cukup mengeruk tandas tabungankupun belum dibayar olehnya.
***
Apa karena itu semua? Ya pasti, karena itu. Terakhir terjadi perbincangan dengan Hendrik, ya soal itu. Lalu bagaimana ya? Bagaimanalah aku mau menagih jaketku dan uangku, kalau akan terjadi berpapasan saja ia menghindar. Padahal itu jaket kesayanganku, yang mungkin - untuk saat itu - belum ada yang jual di negeri Indonesia. Tapi, bukankah pertemanan itu lebih utama? Jadi bagaimana ini? Kenapa aku jadi pusing sendiri? Ah, sudahlah biarlah pikirku. Apalah artinya barang-barang mati itu? Barang hidup lebih berarti. Melihat teman senang itu lebih membahagiakan. Mungkin Hendrik masih suka pakai jaketku. Aku dengar dari kawan-kawanku, Hendrik sering masih memakai jaketku ketika ia menaiki motor trilnya. Ya sudah.
Lalu uangku bagaimana? Haruskah aku tagih? Tapi bertemu saja sulit, bagaimana menagih? Mungkin Hendrik belum ada uang untuk membayar, kasihan juga. Tapi, motor tril saja punya, masa bayar hutang yang nilainya tidak sebesar harga motor tril tidak bisa? Aku jadi berpikir kembali, dan bolak-balik pertanyaan-pertanyaan bertalu-talu di kepalaku. Duh, pening aku.
Daripada aku puyeng, sudahlah aku lupakan jaketku, uangku berikut yang pinjam. Aku lupakan Hendrik saja. Lagipula dia tak mau bertemu denganku. Jadi? Anggap saja ia tidak ada. Selesai. Plong. Tamat.
***
"Jaket itu sudah ambo hibahkan." jawabku singkat, hanya sekedar untuk menghindar desakan pertanyaan teman-teman.
"Dikasih ke siapo!!?" Kris penasaran, mungkin dia berpikir mengapa tidak dikasih ke dia, siapapun pasti mau diberi jaket itu.
Wah gawat, aku menjawab untuk menghindar malah makin runyam urusannya. Aku salah jawab rupanya. Bisa rame urusannya ini.
"Iyo siapo !?" Sarmito malah melotot.
"Hendrik," jawabku lirih dan datar. Setelah itu aku menunduk. Aku tidak ingin teman-teman melihat perubahan wajahku.
Teman-teman melihat keanehan diriku. Tentu saja aneh, mengapa pula aku menunduk.
"Kau kenapo Man?" kali ini Nano yang bertanya. Tak berapa lama dia pegang dahiku, ia angkat kepalaku. Maka terlihatlah wajahku yang seakan ingin menangis. Semua temanku menatapku.
***
"Kau telah menghina Hendrik, To ..." Aku mengingatkan agar tidak seharusnya begitu.
Sarmito malah merespon dengan arogan, "Untung bukan wajahnya yang aku ludahi!". Ups ....sangar!
***
Aku tak bisa berbuat apa-apa karena sangat terkejut. Aku juga, bukan anak yang pandai berkelahi waktu itu. Yang aku rasakan hanya takut dan takut. Aku "mengkeret" seperti baju belum disetrika.
Setelah itu, mereka pergi.
Aku dan Kris akhirnya terburu-buru pulang. Kami takut ada yang menyerang kembali. Karena, jika pun kami pandai berkelahi, kami yang seusia SMP ini bukan lawan yang setara dengan mereka yang dari tinggi badan saja sudah beda jauh.
***
Telah kita ketahui dari penjelasan di atas, bahwa watak seseorang mempunyai sifat yang lebih menetap lama dalam hati daripada perasaan seseorang. Perasaan timbul hanya pada saat-saat tertentu. Maka dari itu, untuk menyimpulkannya kita butuh mengumpulkan banyak data dari momen-momen yang tersebar dalam episode-episode suatu Biografi Inspiratif seorang tokoh.
Nah, dari data yang telah kita kumpulkan tentang kisah tokoh Ngadiman pada saat-saat dia masa kecil dan remaja, dapat kita simpulkan dia mempunyai watak:
- pendiam tetapi pikirannya sering sibuk sendiri,
- perhatian terhadap lingkungannya dan
- selalu bertanya mengapa,
- anti terhadap kemapanan atau tak mau selalu taat tetapi
- penakut,
- disiplin tidak suka pelanggaran tetapi
- mudah pula terbawa arus,
- mudah kasihan,
- masa bodoh dengan orang yang telah menzaliminya.
- Ibunya mempunyai kepribadian teratur, disiplin dan keras, sedangkan
- bapaknya memiliki kepribadian seorang petualang yang sering menjelajah ke pelosok-pelosok.
Coba perhatikan momen berikut yang singkat tetapi sangat berarti bagi garis besar watak Ngadiman:
Suatu saat, Ngadiman yang masih kecil seusia SD diajak bapaknya melakukan perjalanan dari kota ia tinggal yaitu Bengkulu menuju ke ibukota Jakarta.
Dalam perjalanan tersebut, mereka menaiki beberapa kali tukar kendaraan, salah satunya naik kereta api dari kota Palembang menuju kota Tanjung Karang.
Ketika mereka akan menaiki kereta api, di stasiun turun hujan, sehingga keadaan stasiun kereta api Palembang agak becek. Ketika mereka telah di dalam kereta api, dan duduk, keadaan kaki-kaki mereka agak kotor sedikit terkena percikan becek kotor akibat hujan tadi.
"Pak, aku cuci kaki dimana?" kemudian Ngadiman menegaskan, "Nanti dimarahi ibu kalau enggak cuci kaki."
Bapak serta merta terbahak-bahak. Tak menyuruh Ngadiman cuci kaki, malahan.
Dengan demikian dapat dikatakan watak masih dapat berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu dan bertambah usia tokoh nantinya. Karena kita tahu bahwa seseorang itu, mengalami fase-fase kehidupan, mengalami perubahan-perubahan lingkungan yang dimasukinya, memiliki teman-teman yang berbeda dalam waktu yang berbeda pula, dan lebih kompleks lagi tokoh akan mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya yang sulit diterka seperti keadaan jiwa, motivasi, hasrat, dan tujuan hidupnya.
Ini semua, mustilah dikumpulkan, dianalisis, dan diambil konklusinya. Kesimpulannya berupa batas-batas waktu dalam fase-fase kehidupan beserta perubahan-perubahan watak, motivasi, hasrat dan tujuan hidup tokoh, yang itu semua akan menjadi tema atau sinopsis pada setiap fase dalam kehidupan kisahnya.
Boleh jadi, jika mungkin setiap sinopsis akan terwujud dalam satu buku Novel Nonfiksi, dikarenakan perubahan ke hasrat hidup yang lain biasanya diakhiri oleh hasrat hidup sebelumnya. Dan, berakhirnya hasrat hidup tersebut menandakan tujuan hasrat tersebut telah tercapai, dan itu menjadi "ending" nya. Setelah itu mulailah kembali kisahnya dengan hasrat hidup yang baru, yang akan adanya pergeseran atau modifikasi watak, tanpa meninggalkan banyak watak-watak dasarnya yang terbentuk sejak kecil.
Posting Komentar untuk "#03 Bidang-bidang Deskripsi Orang yang tak tampak"