Petunjuk membaca: setiap kata atau kalimat yang linknya menyala, berarti telah diposting sejarah secara rinci, biografi, atau kisahnya. Silahkan KLIK /TAP link tersebut untuk lebih lanjut membaca.
"Ya Allah, suguhkanlah minuman manis lagi segar dari mata air Salsabil di Surga untuk Abdurrahman." (Ummul Mu'minin Aisyah radhiallahu'anha)
Profil Abdurrahman bin Auf radhiallahu 'anhu
Tubuhnya tinggi tegap, berparas rupawan dengan pipi kemerah-merahan dan rambut bergelombang. Dia seorang pengusaha sukses dan kaya, namun juga seorang yang bijaksana dan mendalami ajaran agama, sangat jujur dan tulus.
Dia adalah satu dari delapan orang yang pertama-tama masuk Islam, dan satu dari sepuluh sahabat yang semasa hidupnya diberi kabar gembira dengan jaminan masuk surga (dalam sejarah Islam juga dikenal sebagai al-Asyrah al-Mubasyirah).
Dia juga sangat beruntung, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai panglima ekspedisi Daumat al-Jandal, dan dengan tangannya yang penuh berkah beliau menempatkan sorban kepemimpinan di kepalanya.
Pada usia tiga puluh ia memeluk Islam atas undangan Abu Bakar ash-Shiddiq. la juga memperoleh hak istimewa dan kehormatan karena telah berhijrah dua kali dalam kepentingan Islam -sekali ke Habasyah (Abyssynia) dan yang kedua ke Madinah (Yatsrib).
Sebelum ia menjadi muslim namanya adalah Abdu Amer. Tetapi ketika ia menerima Islam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengubah namanya menjadi Abdurrahman. Demikianlah ia seterusnya dikenal sebagai Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu. Dia begitu cerdas dan halus pekertinya sehingga ia berhenti minum minuman keras sebelum masuk Islam.
Perdagangannya
Ketika Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu berhijrah ke Madinah, ia pergi dengan tangan kosong tanpa uang atau kekayaan apa pun. Pada waktu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar setelah hijrah ke Madinah, Abdurrahman radhiallahu'anhu, dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi' al-Anshari radhiallahu'anhu.
Sa'ad radhiallahu'anhu menyambut saudara barunya dengan segenap ketulusan dan berkata kepadanya, "Allah telah begitu Baik dan Pemurah kepadaku sehingga aku termasuk orang terkaya di kalangan masyarakat Madinah. Aku punya dua kebun yang luas dan dua istri. Pilihlah kebun mana yang kau suka biar kubalik nama atas namamu. Dan istri mana yang berkenan dihatimu, aku akan menceraikannya sehingga setelah lewat iddah-nya [kurun waktu setelah perceraian (tiga bulan) atau kematian suami (empat bulan 10 hari) setelah itu seorang janda boleh dinikahi] engkau dapat menikahinya."
Semangat pengorbanan ini sangat jarang bandingnya dalam sejarah umat manusia. Tapi keluhuran budi dan harga diri Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu tidak mengijinkannya menerima tawaran ini. Dia menolak dengan halus, "Semoga Allah 'Azza wa Jalla memberkati harta dan keluargamu. Tunjukkan saja kepadaku jalan ke pasar. Aku akan mengusahakan penghidupanku sendiri, aku tidak semestinya membebani siapapun."
Kemudian, ia menapaki jalan ke pasar dan mulai berdagang. Sejak mula ia mengawali usahanya dengan niatan Lillaahi Ta'ala, sehingga ia diberkahi dengan kemakmuran dan kekayaan.
Suatu malam, ia pergi menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan parfum yang semerbak dari pakaiannya mengharumkan udara disekelilingnya.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya tentang perubahan yang terlihat dalam penampilannya, tak seperti biasanya.
Dengan hormat dan kerendahan hati, dia tersenyum dan mengatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang wanita Anshar.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya berapa mahar yang ia berikan.
Dijawabnya emas sebesar biji kurma.
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya mengadakan pesta pernikahan walaupun hanya dengan seekor kambing.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu mengakui bahwa dalam urusan dagang, Allah 'Azza wa Jalla telah memberinya kemakmuran dan kekayaan melebihi impiannya. Seolah-olah jika dia mengangkat batu, ia dapati di bawahnya tersimpan emas atau perak. Selain bisnis, dia juga menggeluti bidang pertanian dalam skala yang sangat besar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membagikan padanya lahan pertanian yang luas di Khaibar. Dengan mengolah sumber daya sendiri dengan baik, ia dapat membeli lagi lahan pertanian yang semakin luas. Dia memiliki dua puluh unta hanya untuk mengangkat air untuk mengairi kebunnya di Juref. Seiring Allah 'Azza wa Jalla menganugerahkan kekayaan pada Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu ia dengan mudahnya mengalirkan hartanya untuk amal fii sabilillaah.
Pada suatu hari, bumi Madinah bergetar karena kedatangan kafilah Abdurrahman radhiallahu'anhu yang berjumlah 700 ekor unta yang penuh muatan niaga. Iring-iringan tersebut menimbulkan suara gemuruh sehingga, Ummul Mu'minin Aisyah ash-Shiddiqah radiallahu'anha bertanya keheranan tentang suara yang tidak lazim itu.
Seseorang menjawab bahwa suara itu berasal dari iring-iringan kafilah Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu yang mengangkut barang dagangan mereka.
Saat mendengar namanya, Ummul Mu'minin radhiallahu'anha berkata bahwa dia telah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu akan memasuki surga dengan melompat, yaitu dengan mudah.
Belum sempat rombongan itu melepas lelah, seseorang menyampaikan perkataan Ummul Mu'minin ini kepada Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu.
Tak terkira riang hatinya dan langsung melompat menemui Aisyah radhiallahu'anha. Dengan sopan ia bertanya apakah beliau benar-benar mendengar sendiri kata-kata itu diucapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ketika Aisyah radhiallahu'anha membenarkannya dengan tegas, kegembiraannya meluap-luap dan meminta beliau untuk bersaksi bahwa karena kegembiraannya demi mendengar kabar baik ini ia menginfakkan seluruh unta tersebut berikut muatannya untuk kesejahteraan umat muslim dan jihad fii sabilillah.
Segala puji bagi Allah 'Azza wa Jalla, atas kekuatan iman dan keyakinan mereka! Kita harus mengorbankan diri kita untuk Allah 'Azza wa Jalla dan menghormati calon penghuni surga ini.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu membelanjakan hartanya tanpa syarat di jalan Allah 'Azza wa Jalla sejak awal mula hingga saat-saat terakhir hidupnya. Untuk ahli warisnya sendiri ia meninggalkan harta yang tak terhitung. Untuk keempat istrinya ia mewariskan 80.000 dinar kepada masing-masingnya. Belum lagi emas dan perak yang ditinggalkannya. Untuk membagi-baginya diperlukan kapak, sampai orang yang memotong-motongnya itu lecet tangannya.
Ketika ia meninggal, selain barang tak bergerak, ia meninggalkan 1.000 unta, 100 kuda dan 3.000 domba. Bukannya merasa bahagia melihat kekayaannya, dulu Abdurrahman radhiallahu'anhu justru sering merasa khawatir dan cemas.
Pada satu kesempatan ketika hendak berbuka puasa, makanan dihidangkan di hadapannya. la beruraian air mata menghadapi hidangan itu dan berkata, "Mush'ab bin Umair telah gugur, sedangkan dia lebih baik dariku. Ketika dia meninggal, tidak kita temukan kafan seperti miliknya. Bila ditutupkan kepada kakinya, kepalanya tampak, dan kalau ditutupkan kepada kepalanya, kakinya terlihat. Dunia telah menjadi sangat luas bagiku. Aku khawatir Allah 'Azza wa Jalla telah memberikan pahalaku seluruhnya di dunia dan tidak menyisakan karunia dan rahmat-Nya di alam Keabadian."
Saat memikirkan ini, ia menangis tersedu-sedu dan tidak bisa menyentuh makanannya sama sekali.
Mengharap ridha Allah 'Azza wa Jalla dengan harap-harap cemas, itulah gambaran keabadian di benak jiwa-jiwa yang mulia. Demikian pula ketika ia menangis dan meratap, seseorang melihatnya dan bertanya mengapa ia berduka dan musibah apa yang menimpanya. Mengapa ia tersedu-sedan dan tampak begitu sedih?
Dia menjawab,"Junjungan mulia kaum muslimin, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengucapkan selamat tinggal pada dunia saat beliau dalam keadaan tidak memiliki cukup makanan untuk keluarganya meski hanya makanan sederhana. Hari ini kita hidup dalam kekayaan berlimpah. Kita tidak tahu bagaimana hasil kesudahannya. Aku berdoa agar Allah 'Azza wa Jalla tidak mencampakkan kita di akhirat setelah melimpahkan semua kebaikan kepada kita di sini."
Begitu mulia Abdurrahman radhiallahu'anhu dengan sudut pandangnya yang tepat!
Pertempuran jihadnya
Meskipun usaha dagang dan pertaniannya membutuhkan perhatian, Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu selalu turut aktif dalam pertempuran jihad untuk menegakkan dan meninggikan Islam.
Dengan gagah, Abdurrahman radhiallahu'anhu melibas musuh-musuh berbahaya Islam dalam berbagai pertempuran.
Berbicara tentang Perang Badar, di mana ia telah turut ambil bagian, ia menyebutkan bagaimana dua pemuda Anshar bersaudara mendekatinya dan dengan polos bertanya siapakah Abu Jahal, dan di manakah ia berada.
Abdurrahman radhiallahu'anhu menanyakan ada perlu apa mereka dengannya.
Mereka menjawab, bahwa mereka telah mendengar ia mengingkari kerasulan Nabishallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka datang ke medan perang hari itu dengan tekad bahwa mereka akan mengirimnya ke Neraka Jahannam atau mereka sendiri yang terbunuh.
Selagi masih berbicara, Abdurrahman radhiallahu'anhu melihat Abu Jahal mendekat dengan sombong.
Abdurrahman bin Auf menunjukkannya kepada mereka dan mengatakan bahwa orang yang dimaksud sedang mendekat.
Mereka berdua menyerangnya dengan kecepatan penuh sembari melayangkan pukulan fatal hingga Abu Jahal terguling dari kudanya.
Betapa semangat jihad merasuki pemuda-pemuda ini, cinta mereka yang tak terbatas kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi mereka kekuatan layaknya manusia super. Prestasi mencengangkan mereka menghancurkan salah satu pilar terbesar musuh pada usia muda benar-benar luar biasa.
Pada tahun 6 Hijriyah, tentara muslim dikirim untuk membawa daerah Daumat al-Jandal ke bawah kendali pemerintahan Islam. Suku Bani Kaleb yang merupakan musuh Islam tinggal di sana.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menunjuk Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu sebagai panglima tentara Muslim, menempatkan sorban jenderal di kepalanya dan menyerahkan bendera kepemimpinan.
Dalam misi ini, Abdurrahman radhiallahu'anhu diperintahkan untuk terlebih dahulu mengundang suku Bani Kaleb untuk memeluk Islam. Jika mereka mau menerima, maka itulah yang diharapkan dan lebih baik bagi mereka. Tetapi, jika mereka menolak, maka pejuang Islam terpaksa harus angkat senjata. Jika sampai tindakan militer mesti diambil, para ksatria Islam tetap harus berhati-hati untuk tidak membahayakan atau membunuh orang tua, para wanita dan anak-anak.
Lalu berangkatlah Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu dan pasukannya. Mereka berhasil mencapai Daumat al-Jandal dan menerapkan arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Di sana mereka menghabiskan waktu tiga hari untuk berdialog dan mengajarkan Islam kepada penduduknya dengan cara yang bijaksana dan rasional. Mereka mengundang orang-orang untuk bergabung dalam rombongan Islam. Kepala suku, Asbagh bin Amer al-Kalbi yang fanatik Kristen, tersentuh oleh seruan dakwah kaum Muslimin dan memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.
Dipengaruhi oleh pertobatannya, sebagian besar orang-orangnya mengikutinya masuk Islam. Sedangkan penduduk yang tidak mau menerima Islam mendapat kebebasan dengan syarat membayar jizyah.
Kebahagiaan lainnya menghampiri pula Abdurrahman radhiallahu'anhu di Daumat al-Jandal. Untuk lebih mempererat tali saudara keislaman, kepala suku Bani Kaleb menikahkan putrinya dengan Abdurrahman bin Auf . Dengan demikian, daerah ini berada di pangkuan Islam dengan proses yang sangat damai dan indah.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu menghabiskan kekayaannya untuk penyebaran Islam tanpa memperhitungkan dirinya sendiri. Sumbangsihnya ini benar-benar memberi dukungan besar kepada pasukan Mujahidin.
Pada satu kesempatan, ia membeli 500 kuda terlatih untuk kepentingan jihad. Pada kesempatan lain, ia membeli 1.500 kuda keturunan asli Arab bagi Mujahidin.
Tepat sebelum kematiannya, ia memerdekakan semua budaknya dan mewasiatkan bahwa semua veteran Perang Badar yang masih hidup harus diberi bagian masing-masing 400 dinar. la juga berwasiat bahwa Ummahatul-Mu'minin harus diberi sebagian besar harta dan kekayaannya.
Aisyah radhiallahu'anha sering mendo'akannya, "Ya Allah, semoga Engkau memberikan mata air Salsabil yang manis lagi segar untuk minum Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu di Surga."
Betapa beruntung menerima begitu banyak doa yang diberkati dalam kehidupan ini. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa untuk kesejahteraannya dan memberinya kabar gembira surga.
Beliau mengikatkan surban kepanglimaan di kepalanya dengan tangannya sendiri, dan menyerahkan bendera Islam di tangannya.
Ummul Mu'minin Aisyah berdoa kepada Allah 'Azza wa Jalla untuk memuaskan dahaganya dengan air lezat Salsabil.
Sungguh itu adalah sebuah kehormatan mulia bagi Abdurrahman radhiallahu'anhu di dunia ini.
Suatu masa di musim paceklik tatkala panas panjang mendera, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengumumkan perekrutan Mujahidin untuk safari jihad ke Tabuk. Selain dibutuhkan personel pejuang untuk melawan tentara Roma yang berjumlah besar, harta dan perbekalan juga sangat mendesak untuk dihimpun. Perjalanan ke Tabuk akan sangat panjang dan melelahkan, padahal bekal mereka sangat terbatas. Kendaraan pun sangat langka untuk didapatkan. Dan akibat ketiadaan transportasi inilah banyak relawan berlinangan air mata karena nelangsa tidak dapat berpartisipasi dalam jihad ke Tabuk.
Karena kesempitan itu, maka pejuang yang diberangkatkan untuk Perang Tabuk juga disebut Jaisy al-Usrah (pasukan yang kesusahan).
Pada kesempatan ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan orang-orang untuk bersedekah membantu memperlengkapi pasukan itu. Sahabat yang berharta, saling berlomba memenuhi panggilan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Salah satu pelopornya tentu saja Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu.
Dia membawa begitu banyak pundi-pundi penuh perak.
Maha Benar Allah yang telah mempersaksikan orang-orang yang telah diridhai oleh-Nya.
Pemandangan hidup yang berlandaskan keimanan, semangat, ketulusan, keikhlasan dan kemurahan hati dapat kita saksikan dari keteladanan mereka! Tidak satupun sudut di bawah langit biru ini yang telah menyaksikan orang-orang dengan kemurnian jiwa sebegitu rupa!
Akhirnya, jadi juga pasukan itu berangkat ke Tabuk. Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu juga termasuk di dalamnya. Mereka berkemah di sebuah tempat di perjalanan, dan Abdurrahman bin
Auf radhiallahu'anhu memimpin shalat, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak nampak ketika telah masuk waktu shalat.
Ketika mereka mendapat beberapa rakaat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan ikut menjadi makmum di belakang Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu.
Adakah karunia yang lebih besar daripada seseorang yang menjadi imam atas pimpinan para nabi dan rasul?
Abdurrahman bin Auf menyertai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada kesempatan bersejarah penaklukan Makkah. Begitu pula pada kesempatan-kesempatan lain berikutnya hingga momentum Haji Wada'.
Perannya dalam setiap pergantian Khalifah
la adalah sahabat beliau yang selalu setia dan aktif dalam semua pertempuran yang diperjuangkan oleh Mujahidin. Pada tahun kesepuluh setelah Hijrah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berpulang ke hadirat Allah. Ketika timbul masalah siapa yang berhak menjadi pengganti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu memainkan juga peran penting dalam mencari solusi.
Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq berada di akhir hidupnya ia berkonsultasi dengan Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu sebelum mencalonkan Umar bin al-Khaththab Radhiallahuanhu sebagai penggantinya.
Ketika Umar ditikam saat memimpin shalat, Abdurrahman bin Auf lah yang segera menggantikannya. Setelah menyelesaikan shalat, ia tergopoh-gopoh menghampiri Khalifah Umar al-Faruq radhiallahu'anhu yang terluka dan menuju ke rumahnya.
Atas saran Abdurrahman radhiallahu'anhu, Umar radhiallahu'anhu membentuk sebuah dewan musyawarah beranggotakan enam orang untuk menjalankan urusan pemerintahan, dan memerintahkan mereka untuk memilih salah satu dari mereka dalam waktu tiga hari. Keenam orang dalam dewan itu adalah Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa'ad bin Abi Waqqash, Zubair dan Thalhah radhiallahu'anhum.
Dua hari setelah Umar bin al-Khaththab radhiallahu'anhu meninggal dan dimakamkan, diskusi terus berlanjut berkenaan siapa yang harus menjadi khalifah berikutnya. Abdurrahman bin
Auf radhiallahuanhu mengusulkan bahwa apabila calon khalifah terdiri dari enam orang maka dirasa terlalu banyak. Oleh karenanya keanggotaan harus dibatasi cukup tiga orang saja. Menyetujui usulan tersebut Thalhah meletakkan pencalonannya dan mendukung Utsman. Zubair menyerahkan posisinya mendukung Ali. Dan Sa'ad radhiallahu'anhu menyerahkan tempatnya untuk Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu . Tapi dia menolak dan menarik namanya sendiri dari pencalonan tersebut. Dengan demikian ia bisa dengan bebas memberikan pendapat kepada siapa yang dianggapnya terbaik dalam kepentingan umat.
Setelah melalui begitu banyak pertimbangan dan perenungan, Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu memberikan suara pada Utsman bin Affan dan mengumumkannya. Abdurrahman radhiallahuanhu adalah orang pertama yang bersumpah setia kepadanya. Jadi dengan cara yang sangat damai, masalah besar itu terselesaikan. Cara pandang dan kebijaksanaannya menangani setiap urusan benar-benar luar biasa.
Amir al-Mu'miniin Utsman bin Affan radhiallahu'anhu pernah membawakan kisah bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwasanya orang yang melayani dan melindungi Ummahatul Mu'minin (para Ibunda kaum mu'min) setelah kematiannya pasti akan menjadi gambaran kepercayaan, kejujuran dan kemurnian.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu berusaha meraih predikat tersebut dan melakukan tugas ini sebaik dan setulus mungkin. Selama haji, ia mengatur perbekalan dan transportasi untuk Ummahatul Mu'minin. Selama perjalanan, ia membuat pengaturan khusus untuk menjaga privasi para isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut.
Dengan penuh kesigapan dan kehormatan, istri-istri yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini dilindunginya selama menunaikan ibadah haji. Dia memenuhi kebutuhan mereka dengan usahanya yang sungguh-sungguh, jujur dan setia demi terciptanya kenyamanan dan kemudahan melebihi daripada yang mereka harapkan.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu'anhu wafat dari kehidupan ini menuju Keabadian pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan radhiallahu'anhu dan beliau radhiallahu'anhu dimakamkan di Jannat al-Baqi'. Semoga Allah meridhainya.
***
Sumber: Di Bawah Naungan Pedang - Hikayat Indah Para Panglima Islam - Penyadur: Abu Royhan Hudzaifah & Tim Assalam - Sketsa Islam (Sketsi) Publishing.
Sejarah Islam Zaman Khalifah Utsman bin Affan
Biografi Salafush Shalih
www.sketsarumah.comSederhana itu Lebih - Less is More.
Desain bukanlah menambah-nambah biar berfungsi, tetapi desain adalah menyederhanakan agar berdaya guna.
Berbagi
Posting Komentar
untuk "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengenakan sorban panglima di kepalanya"
Menjadi Penulis Terampil Hanya dari kebiasaan menulis sederhana
Posting Komentar untuk "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengenakan sorban panglima di kepalanya"