#04 Peta Gaya Bahasa Tokoh dan Penulis
Eits! sebentar ... sudah baca postingan #03 Gaya Bahasa Tokoh dan Penulis belum? Jika belum KLIK /TAP > DI SINI. Jika sudah abaikan. Yuk! lanjut baca.
Peta gaya bahasa, bukan sekedar pilihan kata atau diksi, akan tetapi lebih mendasar lagi, yaitu terkait karakter, watak dan batin seseorang. Masing-masing gaya bahasa mempunyai lawannya, sehingga kita bisa ibaratkan masing-masing terletak pada kutub-kutub yang berlawanan, yaitu:
Gaya Bahasa Liris versus Gaya Bahasa Jujur
Bahasa liris mampu membuat perasaan kita seperti terbawa arus tanpa sadar. Namun, tak semua kalimat musti begitu, terkadang perlu adanya penjelasan secara jujur dan lugas.
Gaya Bahasa Liris
Bacalah syair, puisi atau liris berikut:Sungguh milik Allah hamba-hamba yang cerdikMereka talak dunia serta takut fitnahMereka renungkan lalu mengertibahwa dunia bukan tanah air bagi kehidupanMereka jadikan dunia bak bahari
dan gunakan amal sholeh sebagai bahtera.
(terjemahan dari syair dari Kitab Riyadlush Sholihin karya Ulama Salaf Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawiy)Apa yang kita dapatkan di sana? Bukan saja pemahaman, tetapi kita dapatkan perasaan. Rasa itu muncul pada kata-kata , "cerdik - mengerti - bahari" dan "fitnah - kehidupan - bahtera". Di sana ada rima atau persamaan bunyi, permainan bunyi "i" dan "a". Hanya saja, di sana kita menemukan bahwa puisi mengungkapkan ambiguitas, makna ringkih. Ringkih dan ambigu di sini maksudnya maknanya bisa dibawa kemana saja sesuai apa yang dipahami oleh pembaca. Sedangkan rambut boleh jadi sama hitam, tetapi pikiran belum tentu sama.
Maka dari itulah bahasa liris sesuai untuk pribadi dengan karakter dan batin:
lembut, sentimentil, ambigu, sendu, rentan, bimbang, ragu, terbuka, tidak menguasai, dan tak ada kejelasan atau tak ada kepastian.
Begitu pula penulis bisa menggunakannya ketika mengungkapkan hal-hal yang bersifat atau bersuasana seperti tersebut di atas.
Sehingga, penulis tak bisa setiap saat, setiap kesempatan, setiap momen memakai gaya bahasa liris. Penulis musti melihat suasana yang akan dideskripsikan, dan melihat siapa yang melakukan dialog, baik lisan maupun batin. Jika setiap waktu dan fragmen, penulis selalu menggunakan gaya bahasa liris, jangan-jangan memang penulis sendirilah yang memmiliki pribadi yang ringkih, rentan dan tak ada kejelasan.
Kita coba nukil gaya bahasa liris dari seorang tokoh dalam mendeskripsikan suatu suasana yang sedang ringkih, tidak jelas dan tidak ada kepastian dalam suatu perjalanan naik kereta api:
Tetapi seperti ada tenaga angin yang menahan kereta ini dari kecepatan wajarnya.
Ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat membuatku terjaga. Gerak itu rasanya selalu sama sejak aku kecil: terdiri dari tujuh ketukan dan pada hitungan keempat jatuh hentakan terkuat, berasal dari gerus roda di bawah kursiku dengan sambungan rel. Dan goncangan pada gerbong yang membuat bahuku berayun kanan-kiri, juga gemretuk gelas pada meja dan sendok logam pada piring aluminium, serta ngilu menahan kencing, bau mulut yang lama mengatup adalah rasa yang abadi setiap perjalanan.
Teks ini merupakan deskripsi suasana eksterior (luar batin) untuk mengungkapkan suasana interior (batin) narator tokoh "aku" (terbaca pada frasa "kursiku") yang ringkih pula kepribadiannya.
Gaya Bahasa Jujur
Maksudnya jujur di sini adalah: lugas, apa adanya lawan dari gaya bahasa sebelumnya yaitu bahasa liris. Gaya bahasa ini tentu saja sangat cocok untuk hal-hal yang jelas dan tajam. Bahasa yang jujur, akan muncul dengan sifat hemat, tak berpanjang-panjang, Contohnya:
"Bapak sedang ngopi."
Sebaliknya, bahasa yang tidak jujur tetapi dengan penyampaian berita yang sama:
"Bapak sedang istirahat menikmati minuman kopinya."
Seringkali, kita dalam tekanan masyarakat, kita kehilangan kesanggupan untuk jujur dan apa adanya. Akhirnya kita memakai bahasa yang ruwet, berlebihan. Biasanya itu terjadi karena kita tak percaya diri lagi dengan keaslian kita. Dalam seluruh lapisan masyarakat, semakin orang ingin bersopan-santun, bertata-krama, semakin panjang kalimat-kalimatnya. Mutar-muter.
Gaya bahasa ini, cocok untuk sosok yang karakter dan batinnya:
jujur, apa adanya, bersahaja, lugu dan naif.
Namun bahasa ini juga pas untuk orang yang
bebal.
Dalam deskripsi, penulis bisa menggunakan gaya bahasa jujur untuk
suasana-suasana yang jelas, detail, rinci, tidak ambigu.
Perhatikan contoh berikut:
Sepagi ini, petugas kebersihan lapangan terbang sudah mondar-mandir seperti setrika. Aku lamat-lamat memperhatikan petugas itu. Petugas itu membawa suatu alat yang bergagang panjang dengan cabang bagian bawahnya seperti huruf T terbalik. Ya, alat pel seperti di rumah-rumah, hanya saja ini lebih besar. Petugas kebersihan itu mendorong alat pel itu dari ujung ke ujung ruang tunggu. Balik lagi, balik lagi, terus semakin mendekati dinding yang menghadap landasan pacu lapangan terbang. Dinding itu, sebenarnya bukanlah dinding dari tembok batu bata yang diplaster adukan semen dan pasir. Akan tetapi, dinding itu adalah jendela-jendela kaca yang menjulur dari plafon sampai lantai ruang tunggu selebar dinding itu dengan bingkai-bingkai alumunium yang mengkilap.
Ketika petugas itu sampai pada bagian area depan pintu keluar masuk ruang tunggu yang terbuat dari kaca juga, tongkat pelnya terhalang suatu hamparan 'keset' pembersih alas kaki yang terbuat dari sabut kelapa. Karena tongkat pelnya terhalang 'keset' itu, maka benda itu ia pindahkan ke belakang, pada bagian area yang telah dibersihkan dengan pelnya, di depan salah satu jendela kaca. Lantas, petugas melanjutkan pekerjaannya ke bagian yang belum dibersihkan.
Mataku, aku gulirkan mengikuti gerakan petugas kebersihan itu semakin menjauh dari area pintu kaca. Suara berisik lalu-lalang penumpang membungkus langit-langit ruang tunggu.
"Duuk !!!" keras sekali suara benturan tersebut terdengar mengoyak keramaian suara hilir-mudiknya para penumpang.
Suara itu terduga dari area dekat pintu kaca. Terdengar jelas oleh orang-orang yang berseliweran dan duduk di dekat area pintu kaca itu. Aku memalingkan wajah ke area itu. Seorang wanita tua paruh baya sedang berdiri sempoyongan memegang dahinya. Wanita itu berdiri di atas hamparan pembersih alas kaki dari sabut kelapa. Tangannya memegang pegangan kopor kecil beroda yang terhenti bersamaan wanita itu terhenti.
Hei! Apa yang telah terjadi?
Jelas, detail, rinci, tak ambigu, dan tak ada permainan efek bunyi dalam teks-teks di atas. Deskripsi terasa jujur dan polos. Itulah yang terbaca pada gaya bahasa kalimat-kalimat di atas. Hal itu dibutuhkan karena deskripsi dengan bobot yang sarat kognitif (nalar) untuk mengimajinasikan dalam benak pembaca tepat dengan suasana yang memang musti akurat. Semua itu agar pembaca tidak dalam suasana ambigu dan tak pasti, tetapi jelas dan rinci. Dan, jika tidak begitu, maka tidak jelas apa yang terbayang dalam pikiran para pembaca.
Begitu pula sang narator yang anak kecil, ia berkarakter masih lugu, jujur, apa adanya mencocoki dengan gaya bahasa yang jujur pula.
Gaya Bahasa Berjarak versus Gaya Bahasa Peristiwa
Kita analogikan dengan seorang wartawan atau peneliti yang sedang membuat laporan tentang bencana alam secara objektif di suatu daerah. Maka, ia akan memakai gaya bahasa yang "berjarak" karena ia bukan orang yang mengalami langsung bencana tersebut.
Gaya Bahasa Berjarak
Terkadang disebut juga gaya bahasa intelektual. Pembicara atau penulis menyadari dan menjaga jarak dari apa yang dibicarakan. Ia akan selalu mencoba untuk rasional, analitis dan intelektual. Ia akan memberi komentar, penjelasan dan keterangan. Semakin berjarak, akan semakin muncul istilah-istilah canggih dalam pemaparannya.Bahasa berjarak cocok untuk tokoh yang berkarakter:
antipati, dingin. sinis, menggurui, sok pintar, analitis dan intelek.
Dan, gaya bahasa ini tidak cocok untuk pribadi: lembut, bersimpati, berempati, lugu, naif dan kekanak-kanakan.
Berikut, kita coba hadirkan contoh dari beberapa paragraf suatu tulisan deskripsi dengan judul "Negeri Para Pemburu":
Yang sering terlihat bahkan, para penuntut ilmu agama Islam berjalan kaki dengan berbaju ghamis. Mereka membawa tas kecil atau kitab materi pelajaran. Mereka bergegas seperti penumpang takut ketinggalan kereta api. Yang sesungguhnya mereka takut ketinggalan 'ngaji' dan akhirnya tidak mendapat hikmah-hikmah kehidupan. Mereka haus akan itu.
Namun, lihatlah sekarang dimana mereka? Dimana rombongan orang-orang berghamis bergegas dan membawa kitab-kitab dan alat tulis yang sesekali melintas di jalan ini? Sepuluh tahun yang lalu, ya sepuluh tahun yang lalu! Namun, yang aku lihat kini hanya lalu-lalang beberapa sepeda motor matic dengan kencang. Mereka tidak membawa kitab-kitab, tapi bawaan-bawaan besar di samping kiri-kanan boncengan. Mereka terlihat terburu-buru. Apa yang sedang mereka kejar?
Narator dalam teks-teks di atas sangat banyak memberi komentar. Itu jelas menunjukkan bahwa ia "berjarak" dengan objek yang dideskripsikan. Ia pada saat pengisahan, merasa bukan bagian dari lingkungan yang dipaparkannya, walaupun ia pernah sepuluh tahun yang lalu merupakan bagian dari mereka. Ada kesan dingin, analitis, sok intelek dan sinis.
Gaya Bahasa Peristiwa
Gaya bahasa peristiwa pada kutub bertentangan dengan gaya bahasa berjarak. Berarti gaya bahasa ini adalah "tak berjarak". Karena tokoh langsung mengalami peristiwanya. Semakin tak ada jarak, semakin tak ada komentar, tak ada keterangan dan tak ada analisa. Dalam bahasa ini, tokoh atau penulis menceritakan peristiwa, adegan tanpa (atau sesedikit mungkin) penjelasan atau analisa.
Gaya bahasa ini sangat cocok dengan karakter:
lugu, kanak-kanak, inosen, dan untuk tokoh yang tak mampu memaknai suatu peristiwa.
Bahasa peristiwa juga bisa dipakai secara cerdas untuk
membuai para pembaca dalam suatu kejadian tanpa sempat mengambil jarak dan bertanya.
Berikut suatu contoh satu fragmen panjang yang merupakan bagian dari episode Biografi Inspiratif Ngadiman:
Aku tak tahu pukul berapa sekarang. Jangankan menengok ke arah jam yang terletak di atas meja, melirikpun aku malas. Aku melihat teman-temanku telah terkapar dalam tidurnya. Entah mereka sudah sampai di galaksi mana. Tinggal aku sendiri yang masih terjaga di alam nyata. Pikiranku menerawang entah kemana, aku ikuti saja arus pikiranku itu.
Antara sadar dan tidak sadar, entah mimpi atau bukan, lamat-lamat aku mendengar seperti suaranya sendiri, “Eh, Man lagi ngapain sih?”
Suara itu begitu menghentak sehingga aku sangat terkejut. Suara itu tidak keras tapi sungguh telah menyentakku. Aku merasa kata-kata suara itu berkonotasi bahwa aku telah melakukan hal yang sia-sia belaka. Suara itu seakan-akan memergokiku. Suara itu sepertinya adalah suaraku sendiri yang telah lama aku kenal puluhan tahun yang lalu. Sekarang ia berjumpa lagi denganku seperti perjumpaan antara dua sahabat lama.
“Kamu tanya aku?” aku berbalik bertanya setengah kurang percaya bahwa suara itu tertuju kepadaku.
“Iya, kepada siapa lagi?” jawab suara itu meyakinkan diriku.
“Lagi ngantuk, emang kenapa?” jawabku agak ketakutan.
“Aku datang menagih janji kepadamu,” suara itu mengubah arah pembicaraan. Agaknya inilah maksud dia yang sebenarnya mengapa datang kepadaku.
“Janji apa?” tanyaku terheran-heran. Agaknya aku tak pernah berjanji apa-apa kepada suara yang seperti suaraku itu. Tetapi aku berusaha mencoba mengingat-ingat kembali. Aku hanya ingat sepertinya aku pernah bertemu dengan suara itu tadi, entah berapa tahun yang lalu dan dimana.
“Bukankah kamu pernah berjanji padaku bahwa, kamu ingin menjadi dirimu yang sebenarnya?” suara itu menegaskan dan mengingatkan kepadaku.
“Apa benar aku janji seperti itu? Dimana? Kapan?” aku balas bertanya.
Suara itupun bercerita, “lima belas tahun yang lalu, di Bumi Rafflesia, komplek Nusa Indah, kilometer tiga setengah, hari Jum’at, pukul dua belas siang. Ketika itu kamu sedang bermain di halaman rumahmu setelah pulang sekolah. Kamu melihat temanmu yang tinggal di rumah bersebelahan dengan rumahmu sedang berjalan memakai sarung. Dia lewat di depan rumahmu.
Lalu kamu bertanya kepadanya, ‘Eh, endak kemano?‘ iya khan ...
Diapun menjawab singkat,‘Sholat Jum’at.’
Aku ada disana waktu itu, kemudian akupun bertanya kepadamu, ‘Mengapa kamu tidak pergi sholat Jum’at juga? khan kamu orang Islam?’
‘Mana aku tahu …,’ jawabmu merasa terpojok.
‘Sekarang aku beritahu supaya kamu tahu, bahwa orang Islam harus sholat.’
‘Oo… begitu ya, mengapa aku tidak tahu ya?‘ jawabmu lagi semakin heran.
‘Iya memang kamu tidak tahu, karena kamu dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga abangan. Bahkan sebagian saudara-saudara ibu dan ayahmu beragama Kristen. Ada juga yang beragama Kejawen, sehingga wajar kalau kamu sampai umur 9 tahun ini tidak tahu menahu tentang Islam.‘
‘Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Kemana tempat aku bertanya tentang agamaku sedangkan sekelilingku abangan semuanya,’ tanyamu seraya meminta nasehat.
‘Lakukan apa yang sanggup kamu lakukan.’
‘Tidak!’ bantahmu keras.
‘Kenapa tidak?’
‘Maksudku, aku tidak mau cukup sampai pada apa-apa yang mampu aku lakukan. Tetapi aku berjanji pada suatu saat nanti, jika Allah memberi kesempatan dan kekuatan padaku, aku akan mempelajari apa-apa yang harus aku ketahui. Dan itu merupakan keselamatan bagiku pada waktu sebelum dan setelah aku mati’ janjimu dengan berapi-api.
"Masih ingatkah kamu dengan kata hatimu yang dulu kamu telah ikrarkan kepadaku? Apakah kamu sudah lupa dengan itu semua?”suara itu bicara terus tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk membantah, bahkan bertanya sekalipun.
Lambat laun aku mulai ingat kejadian itu. Ingatanku semakin lama semakin terang benderang. Bagaikan kabut pagi hari yang mulai menipis berganti dengan terang surya. Kejadian itu seolah-olah video dokumenter yang telah lama disimpan dalam lemari besi pengaman, dan sekarang sedang diputar ulang. Jelas sekali. Kejadian itu memang telah tergores begitu dalam di sanubariku. Sehingga begitu tersingkap, seakan-akan terlihat jelas sekali di depan mata.
“Eh, kok ngelamun? Bagaimana? Mau bayar janjimu apa tidak?” tagih suara itu menghentikan perjalanan jiwaku ke masa lalu.
“Eeemm…, bagaimana ya?”
“Lho kok bagaimana? Kapan lagi? Aku sudah menunggu terlalu lama,” desak suara itu lagi.
“Tapi sepertinya aku belum siap. Mengapa kamu datang begitu tiba-tiba? Mengapa kamu tidak memberi tahu kepadaku jauh-jauh hari sebelumnya?” aku berkilah seperti orang berhutang menghindar dari wajibnya membayar hutang.
“Ingatlah bahwa kematian akan datang tiba-tiba pula,” ancam suara itu.
Tiba-tiba di belakangku ada suara lain, “Jangan hiraukan dia Man!”
Aku terkejut setengah mati. Aku berpaling ke belakang. Aku tak melihat siapa-siapa kecuali diriku sendiri yang masih terjaga dan teman-temanku yang telah terlelap. Suara itu mirip suaraku juga tetapi mempunyai nada agak kasar.
“Hai! kamu lagi…, pergi kau dari sini!” suara yang pertama datang kepadaku terperanjat mendengar suara yang kasar itu. Dia sepertinya mengenal sekali suara yang kasar itu.
“Ngadiman jangan dengarkan dia. Kalau kamu ikuti dia kamu mungkin di dunia ini akan hidup enak, tetapi setelah mati kamu akan celaka, bahkan bisa jadi selama-lamanya. Tapi kalau kamu ikuti aku, walaupun di dunia hidupmu sengsara, tapi nanti di akhirat sudah jelas dan pasti kamu akan enak selama-lamanya. Dan lagi di dunia ini kamu khan belum tahu hidupmu enak atau tidak. Yang pasti pasti aja deh!” lanjut suara yang pertama menebar pengaruh kepadaku seraya menasehatinya.
“Heh …! apa urusanmu? Ngadiman khan sahabatku selama ini, dia adalah aku dan aku adalah dia. Harusnya kamu yang enyah dari sini!” bantah suara yang kasar dengan kekasarannya yang makin kasar.
“Ngadiman kita khan sahabat. Apa kamu tega mengkhianati persahabatan yang sudah kita pupuk begitu lama. Kalau kamu terus bersamaku niscaya kamu akan enak terus. Soal kabar-kabar setelah mati belum tentu benar. Kalau mau yang pasti pasti aja, ya… ini lihat saja yang di hadapanmu. Nggak usah jauh-jauh mikirnya, kurang kerjaan!” tambah suara yang kasar berusaha lanjut mempengaruhiku.
“Tidak! sekarang aku tidak mau kalah lagi dengan kamu! Sekaranglah saatnya aku merebut yang dari awal sebenarnya milikku,” kata suara yang pertama mulai mengarah menantang berseteru.
“Silahkan kalau berani!” tantang suara yang kasar, dan menyambut aksi suara yang pertama.
“Aku berani…”
“Kurang ajar…”
“ …”
“…”
Malam semakin larut. Kantuk semakin menguasaiku. Mataku semakin berat. Kesadaranku kian lenyap.
“Ngadiman… kembali…kepadaku…,” sayup-sayup aku mendengar suara yang pertama di antara pertikaian dengan suara yang kasar. Itu yang aku dengar terakhir.
Senyap.
Teks-teks di atas, tanpa ada penjelasan mengapa ada suara-suara itu, tanpa wujud. Tetapi itulah yang dirasa Ngadiman antara sadar dan tidak dalam atmosfir ia mengantuk. Ia membawa para pembaca kepada pengalaman aneh, bawah sadar dan imajiner.
Dari keempat bahasa dalam peta gaya bahasa tersebut, pada penerapannya tidaklah kita pisahkan keempat macam bahasa tersebut. Bisa terjadi dua kemungkinan:
- Salah satu gaya bahasa lebih dominan pada karakter cerita kita. Misalkan dalam satu episode saja.
- Bisa juga terjadi, sifat teks kita bermacam-macam dalam satu cerita. Saling bekerja sama secara proposional di antara keempat gaya bahasa tersebut. Kita bisa menggunakan sesuai karakter tokoh utama dan tokoh-tokoh lainnya, itupun akan berubah ketika usia tokoh bertambah. Kita juga bisa menggunakan dalam deskripsi sesuai karakter suasana-suasana dalam pemaparan yang diinginkan.
Langsung praktik pemetaan gaya bahasa tokoh
Interupsi!: Jika Sobat menggunakan smart phone, silahkan rotasi layar 90 derajat dari potret (berdiri) menjadi lanskap (rebah) untuk kenyamanan melihat tabel berikut di bawah ini.
Domisili | Sebutan diri & orang kedua | Gaya bahasa |
---|---|---|
Magersari, Surabaya | aku, kon | Jujur, Peristiwa |
Jalan Kartini, Sidoarjo | aku, kon | Jujur, Peristiwa |
Jalan Kebon Ros (sekarang jalan Kyai Ahmad Dahlan), Bengkulu | ambo, kau | Jujur, Peristiwa |
Kompleks Perumahan Nusa Indah km 3,5, Bengkulu | ambo, kau | Jujur, Peristiwa |
Jalan Setiabudi VI Gang 4, Jakarta Selatan | gue, loe | Jujur, Peristiwa |
Jalan Rawa Selatan IV, Jakarta Pusat & Kosan Srengseng | gue, lo & ana, antum | Jujur, Peristiwa, Berjarak |
Jalan Cempaka Baru VI, Jakarta Pusat | ana, antum & saya, anda | Jujur, Peristiwa, Berjarak |
Jalan Batu, Srengseng, Jakarta Selatan | ana, antum & saya, anda | Jujur, Peristiwa, Berjarak |
Jalan Fatahillah II, Tanah Baru, Depok | ana, antum & saya, anda | Jujur, Peristiwa, Berjarak |
Kompleks Perumahan Ponpes Minhajus Sunnah, Muntilan | ana, antum & kulo, panjenengan | Jujur, Peristiwa, Berjarak |
Grenjeng, Kartasura | ana, antum & kulo, panjenengan | Jujur, Peristiwa, Berjarak |
Kebokura, Sumpiyuh | ana, antum & kulo, panjenengan | Jujur, Peristiwa, Berjarak |
Mujur, Kroya | ana, antum & kulo, panjenengan | Jujur, Peristiwa, Berjarak, Liris |
Jalan Salamsari - Kemiri, Kedu, Temanggung | ana, antum & kulo, panjenengan | Jujur, Peristiwa, Berjarak, Liris |
Posting Komentar untuk "#04 Peta Gaya Bahasa Tokoh dan Penulis"